Friday, October 18, 2013

Toraja Batak : Melihat persamaan Suku Toraja dan Suku Batak


#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Mencari info seputar persamaan Suku Toraja dan Suku Batak)
___________________________________________________________








________________

Kata Pengantar
________________

Dalam salah satu firman Allah Swt dikatakan bahwa, "Diciptakannya
manusia ini bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling
mengenal". (Surah lengkapnya ....)

Maka penulispun mengenal yang namanya Suku Toraja dan Suku Batak
sebagai bagian dari ratusan suku di Nusantara ini.

Dalam pembicaraan sehari-hari tentunya kita semua cukup sering
mendengar bahwa suku Batak itu banyak persamaannya dengan suku
Toraja.

Mengingat hal ini menimbulkan tanda tanya bagi penulis :
"Benarkah..? dan jika benar, dimana  letak persamaannya dan
perbedaannya...?.

Dan tanda tanya ini merupakan hal pokok bagi penulis untuk dijawab
lewat macam uraian khsususnya yang berhubungan dengan wilayah,
kemasyarakatan, budaya, adat dan agama kedua suku tersebut.

Penguraiaan informasinya akan penulis buat dalam bentuk tanya
jawab antara orang Torasja dengan orang Batak, sehingga lebih
mudah melihat persamaan dan perbedaan tersebut.

Selamat menyimak...!
_______________________________________________________________

1. Hal arti kata Toraja dan Batak
_______________________________________________________________

Orang Batak :

Apa artinya "Toraja" orang Toraja...?

Orang Toraja :

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "
orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda 
menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.

Apa pula artinya "Batak" orang Batak...?

Orang Batak :

Kata Batak diambil dari bahasa Batak Kora "Mbataken". Dan dari
hasil peneltian artinya "Penunggang Kuda".
_______________________________________________

2. Hal Sejarah Asal Usul Orang Toraja dan Batak
_______________________________________________

















Orang Toraja :

Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam 
utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, 
orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. 
Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun 
akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka 
sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan 
Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah 
dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan 
sebagai kelompok yang sama. 

Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, 
ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik 
ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja"  (dari bahasa pesisir 
to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan 
sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.

Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan 
dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar 
yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan 
sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran 
misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis 
Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan 
bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.

Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku 
Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan 
pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku 
Toraja (petani di dataran tinggi).


















Orang Batak :

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan 
nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. 

Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa 
Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia 
sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum).

Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) 
yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak 
baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-
pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat 
Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-
petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga 
menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, 
Barus diserang oleh Sriwijaya. 

Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. 
Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh 
pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera 
Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. 

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan 
sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang 
bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. 

Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, 
Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. 
Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan 
animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut 
kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

___________________________________________________________

3. Wilayah tempat tinggal suku Toraja dan Batak
___________________________________________________________




Orang Toraja :

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara 
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 
juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten 
Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.

Orang Batak :

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan 
sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang 
bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. 
Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak 
Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.





_______________________________________________________

3. Hal Bahasa di Toraja dan Batak
_______________________________________________________
















Orang Toraja :

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan 
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa 
nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi 
bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , 
Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-
Polinesia dari bahasa Austronesia.

Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk 
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya 
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi 
terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang 
diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama 
dari keragaman dalam bahasa Toraja.

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang 
duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah 
membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan 
proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.

Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, 
kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis 
bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh 
dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga 
ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Orang Batak :

Kami juga punya bahasa Batak yang pada umumnya kami bagi
berdasarkan sub suku btak itu sendiri, seperti Bhs. Batak
Toba, Karo, Simalungun, Angkola dan Mandailing.



____________________________________________________________

4. Hal Filosofi orang Toraja dan orang Batak
____________________________________________________________

Orang Toraja :
Filosofi Tau)

Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam 
sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau 
dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau"
dalam bahasa toraja) 

sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki 
empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk 
menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang 
(Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana)
Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena 
memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. 
Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah 
memiliki dan hidup sebagai Tau.

Demikian gambaran filosofi kami. Bagaimana dengan orang Batak...?

Orang Batak :
(Filosofi Dalihan Natolu)

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai 
struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam 
Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. 

Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat 
Mardongan Tubu • Elek Marboru

2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora 
• Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru

3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, 
Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, 
Pakkei

4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man 
Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru

5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat 
Merdengan Tubuh • Elek Marberru

Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini 
menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-
istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang 
Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara 
laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. 
Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling 
menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling 
gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa 
terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, 
kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua 
orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada 
saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari 
suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling 
rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan 
sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. 

Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa 
diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus 
diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. 
Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. 
Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi 
Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. 

Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 
'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang 
berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata 
krama dalam sistem kekerabatan Batak. 

Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, 
Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
______________________________________________________

5. Hal Sistem Kekerabatan orang Toraja dan orang Batak
______________________________________________________

Orang Batak :

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam 
pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, 
yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan 
sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) 
terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana 
semua suku bangsa Batak memiliki marga. 

Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui 
perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. 

Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan 
sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, 
kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. 

Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis 
yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh 
terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang 
berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. 
merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan 
baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. 

Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang 
satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan 
dalam pelaksanaan Adat.
__________________________________________________________

6. Hal Agama di Toraja dan Tanah Batak
__________________________________________________________

Orang Toraja :

Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian 
menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk 
To Dolo. 

Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku 
Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai 
dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama 
resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari 
Agama Hindu Dharma.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk 
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, 
Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.

Dalam bentuk data, sbb : Protestan: 65.15%, Katolik: 16.97%, 
Islam: 5.99% dan Aluk To Dolo: 5.99%.

Orang Batak :

Kami mayoritasnya Kristen dan Islam. Kedua agama ini hampir sama
jumlahnya di Tanah Batak. Dan keberadaannyapun ada pada setiap
sub suku Batak, al; Toba, Simalungun, Karo, Angkola dan Mandailing.
Adapun agama Nenek Moyang kami yang disebut "Parmalim" sudah tak 
diketahui keberadaannya, apalagi sejak adanya peraturan Pemerintah 
yang menetapkan agama apa saja yang boleh di negeri ini. Begitu
juga dengan kepercayaan animismenya yang kami sebut "Sipelebegu"
sudah tidak terlalu diketahui keberadaannya.

Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya 
sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena 
pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa 
lain. 

Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli 
tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, 
khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam 
hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. 
Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur 
Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara 
Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus 
Pedalaman, yang dinamakan Batak. 

Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, 
umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian 
juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal 
dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari 
pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang 
melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.

Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara 
Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan 
Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar 
penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. 

Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu 
pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan 
masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari 
etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli 
(1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),[28] dan Kasus 
Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).

Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan 
Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.
__________________________________________________________

7. Perang Islam dan Krtisten di Toraja dan Tanah Batak dalam
   hubungannya dengan Belanda
__________________________________________________________

Orang Toraja :

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan 
politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). 
Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi 
tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya 
memiliki sedikit lahan yang produktif. 

Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran 
Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. 
Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang 
potensial untuk dikristenkan. 

Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan 
dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, 
Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah 
garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. 
Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim 
wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja 
status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten 
pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari 
suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan 
Toraja.[9] Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah 
secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan 
pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan 
para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut 
tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat 
itu menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. 
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda
berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan 
agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan 
Makassar yang beragama Islam. 

Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi 
Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan 
Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di 
Sulawesi. 

Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut 
menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Orang Batak :

Hal yang sama juga berlaku bagi orang Batak. Batak dari Tapanuli Selatan
pada suatu masa bersama para pejuang perang Padri menyerang wilayah
Tapanuli Utara dengan misi memasukkan agama Islam oleh para pejuang
perang Padri dan Tapanuli Selatan dengan misis balas dendamnya parmarga
Siregar lewat sejarah Dinasti Sorimangaraja dan Sisingamangaraja.

_________________________________________________________

8. Hal Pemakaman Cara agama Aluk To Dolo Toraja dan 
     Pemakaman Cara Agama Kristen dan Islam tanah Batak.
_________________________________________________________

Orang Toraja :

"Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang 
paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa 
seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. 

Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar 
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan 
biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama 
beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante 
biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain 
sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung 
padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh 
keluarga yang ditinggalkan. 

Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan 
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja 
tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang 
miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-
minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang 
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat 
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.

Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang 
dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap 
menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan 
itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan 
di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di 
desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan 
melakukan perjalanan ke Puya".

Demikian cara pemakaman kami orang Batak. Bagaimana dengan
kalian...?

Orang Batak :

Cara pemakaman kami sebenarnnya sangat dipengaruhi oleh agama
orang yang meninggal. Jika beliau beragama Kristen maka rangkaian
acaranya menurut agama Kristen. Begitu juga dengan agama Islam. 

Kami tidak mengharuskan pesta dalam kematian. Apalagi menunda
pemakamannya hanya gara-gara tidak cukup biaya. Bagi kami setiap
yang meninggalkan dimakamkan atau di kubur, tentang biayanya tidak
ada patokan. Begitupun masalah seperti ini dapat kami selesaikan
lewat istilah "Dalihan na Tolu" jika dalam adat. Dan organisasi-
organisasi keagamaan atau lembaga baik yang berhubungan dengan
gereja maupun masjid.

Begitu juga dari segi status sosial, kami tidak terlalu membedakannya
apalagi pada saat sekarang ini. Bagi kami semuanya adalah raja dan 
sudah tidak mengenal apa yang namanya keluarga bangsawan.

Orang Toraja :

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin 
berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. 
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. 

Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu 
pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya 
bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan 
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. 

Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak 
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang 
menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. 

Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat 
karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Orang Batak :

Adat dan agama kami sangat bijaksana dalam hal ini. Pemotongan
kerbau atau babi atau kambing sangat disesuaikan dengan kemampuan
orang yang meninggal. 

Jika beliau tidak mampu, maka yang lainnya akan berusaha membantu
hingga urusan dukucita dapat berjalan lancar. Dan dalam hal siapa
yang memakan daging tidak pernah menjadi persoalan dan tidak pula
pernah dianggap sebagai utang.

Orang Toraja :

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, 
atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya 
kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya 
mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. 

Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah 
seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya 
diletakkan di gua dan menghadap ke luar.
Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. 
Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan 
membuat petinya terjatuh.

Orang Batak :

Bagi kami cukup sederhana, yang mati yah di kubur. Adapun tempat
penguburannya sangat ditentukan oleh keluarga dari yang meninggal.
Biasanya kalau tidak dipemakman umum ya di pemakaman keluarga.
Dan hampir setiap kelurahan kami punya pemakaman umum. Dan kami
juga tidak memisahkan pemakaman orang dewasa dan nak- anak.
_________________________________________________________

9. Hal Fungsi dan Kegunaan Rumah Adat Toraja dan Batak
_________________________________________________________

Orang Toraja :
(Tontonan)

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas 
tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan 
kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang 
berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan 
spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga 
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka 
dengan leluhur mereka.

Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga 
dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia 
meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya 
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. 

Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan 
tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan 
pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang 
tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga 
biasa tinggal di tongkonan batu. 

Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring 
banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di 
daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa 
pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Orang Batak :
(Sopo Godang)
___________________________________________________________

10. Hal Kelompok Etnis Terdekat
___________________________________________________________

Orang Toraja :

Kelompok etnik terdekat kami adalah Bugis dan Makassar. Bagimana
dengan orang Batak...?

Orang Batak :

Suku Alas, Suku Nias, Suku Melayu, Suku Minangkabau, Suku Bugis
Suku Rimba, Suku Gayo, Suku Singkil dan Suku Aceh.
______________________________________________

11. Hal Pemberian Nama di Suku Toraja dan Batak
______________________________________________ 

Orang Toraja :

Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih 
berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman 
dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara 
kandung.

Orang Batak :

Sangat ditentukan oleh keluarga laki-laki yang bersangkutan pada
anaknya. Begitupun cukup banyak orang Batak yang memberi nama
anaknya berdasarkan sistem kekerabatan dari garis keturunan 
ayahnya. Pemberian nama seperti ini dalam istilah batak disebut
"Mambuat goar ni....(sesuai panggilan tuturnya)"
____________________

12. Hal Paraswisata
____________________

Orang Toraja :

Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, 
biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa 
hari.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka 
masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal 
tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. 
Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten 
Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. 

Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh 
antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi 
budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi 
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor 
pariwisata yang terus meningkat.

Orang Batak :

Tidak membuat pemakaman raja-raja terdahulu sebagai tempat parawisata,
begitu juga dengan pelaksanaan adat kematian, tidak dibuat acaranya
sebagai objek parawisata. Bagi orang batak, umumnya objek parawisata
adalah alam. Adapun pendukungnnya adalah cerita-cerita mengenai
sekitar objek parawisata tersebut yang terkadang disimbolkan lewat
acara kesenian yang disebut opera atau pelaksanaan tor-tor.
___________________________________________________

13. Hal Konflik Tempat Parawisata dengan Pemerintah
___________________________________________________



















Orang Toraja :

Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan 
barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana 
Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara 
pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja 
dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. 

Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan 
disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 
wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja 
dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.

"Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di 
brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.

Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan 
Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja 
dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".

Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 
150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 
turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 
40.000 orang pada tahun 1989.

Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel 
dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan 
udara baru pada tahun 1981.

Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan 
yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat 
dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. 

Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan 
ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".

Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja 
lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh 
bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. 

Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja 
dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh
 suku Toraja.

Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi 
Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. 
Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional 
sebagai "objek wisata". 

Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, 
misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman 
mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, 
karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan 
oleh pihak luar. 

Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya 
yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. 
Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk 
desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.

Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah 
ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), 
dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, 
citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah 
mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan 
tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. 

Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka 
sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu 
menikahi perempuan bangsawan.

Orang Batak :

Tidak pernah terjadi konflik. Pemerintah dan masyarakat saling
mendukung dalam memajukan tempat-tempat parawisata di tanah batak.
















____________________________________________

14. Hal Kelas sosial
____________________________________________

Orang Toraja :

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat 
dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, 
orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh 
pemerintah Hindia Belanda). 

Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk 
menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan 
untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. 

Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. 
Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih 
dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,tinggal 
di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih 
sederhana (pondok bambu yang disebut banua). 

Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik 
tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para 
bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk 
menjaga kemurnian status mereka. 

Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. 
Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada 
juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, 
seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.

Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. 
Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang 
dan membayarnya dengan cara menjadi budak. 

Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. 
Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap 
mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu 
atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau 
berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi 
pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Orang Batak :

Orang batak tidak terlalu melihat seseorang itu dari kelas sosialnya
apakah beliau anak raja atau tidak. Bagi orang Batak semua orang
itu adalah raja. Falsafah dalihan na tolunya orang batak itu
seperti lingkaran, sehingga memungkinkan semua orang menjadi raja.

Tontonan bagi orang Toraja atau bagas godang atau rumah bolon
bagi orang batak adalah rumah dari semua orang batak, tidak
ditujukan untuk raja atau segolongan orang.
_________________________________________________________

15. Hal Sistem Kepercayaan dan religi
_________________________________________________________

Orang Toraja :

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan 
animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diter
jemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja 
datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan 
oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa 
pencipta.

Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia 
manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah 
dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. 

Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat 
berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi 
adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, 
ditutupi dengan atap berbetuk pelana. 

Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), 
Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), 
Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik 
dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to 
minaa (seorang pendeta aluk). 

Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan 
dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan 
bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara 
Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum 
yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus 
dipisahkan. 

Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah 
jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.

Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris 
dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri 
atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual 
kematian.

Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, 
tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Orang Batak :

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka 
mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon 
yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya 
terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, 
yaitu: Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan 
kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. 

Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi 
meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit 
atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) 
tondi dari sombaon yang menawannya.

Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. 
Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki 
sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang 
dimiliki para raja atau hula-hula.

Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya 
sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam 
pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan 
tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan 
kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.
________________________________________________________

17. Hal Musik dan Tarian
________________________________________________________

















Orang Toraja :

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam 
upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, 
dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena 
sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. 

Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan 
lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut 
disebut Ma'badong).

Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara 
pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing 
ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. 

Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar 
dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. 
Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari 
lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, 
para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan 
mengenakan kostum baju berbulu. 

Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan 
hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, 
sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan 
tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari 
selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari 
Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku 
Toraja sedang menumbuk beras.

Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan 
oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. 
Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. 

Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. 
Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan 
kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

Orang Batak :

Sungguh sangat luas pembahasan ini bagi orang Batak. Hampir semua
kegiatan budaya ada tortor atau tarinya.


















_____________________

18.  Hal alat Musik
_____________________

















Orang Toraja :

Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. 
Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada 
tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria 
yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. 

Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang 
dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara 
pembukaan rumah.

Orang Batak :

Orang batak menyebut seperangkat alat musik ini dengan sebutan "Gondang
Sabangunan atau uning-uningan" untuk wilayah Batak Toba dan wilayah
Batak Tapsel dengan gondang sambilan. Sungguh yang namanya bermusik
sangat disukai orang batak















_________________________________________________________

19. Hal Ukiran 
_________________________________________________________




















Orang Toraja :

kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.
Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat 
ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena 
itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan 
dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air 
seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang 
melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran 
kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah 
melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu 
keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul 
dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan 
bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang 
tersimpan dalam sebuah kotak. 

Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, 
menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, 
seperti hewan yang bergerak di permukaan air. 

Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu 
untuk menghasilkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu 
Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja 
juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar 
dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri 
yang teratur.

Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan 
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat 
ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.

Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Beberapa motif ukiran Toraja.

Orang Batak :

Banyak jenisnya dengan sebagian gambaran sbb :




_________________________________________________________

20. Hal Ekonomi dan Pertanian
_________________________________________________________


















Orang Toraja :

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian 
dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan 
pendukungnya adalah singkong dan jagung. 

Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak 
kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara 
pengorbanan dan sebagai makanan.

Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, 
Kopi Toraja. Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi 
Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. 

Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka 
usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, 
banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. 

Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk 
menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini 
terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal 
pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja 
memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu 
wisata, atau menjual cinderamata. 

Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 
1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan 
pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai 
tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan 
oleh pengusaha kecil.

Orang Batak :

Orang batak juga mengandalkan hasil pertanian, tapi bukan pada tanaman
singkong dan jagung. Tapi pada tanaman padi yang sekaligus sebagai
bahan makanan pokok.

















_________

Penutup
_________





Karena tulisan ini memang bertujuan untuk mencari persamaan dan 
perbedaan suku Toraja dan Batak, maka berikut yang dapat penulis
simpulkan.

Persamaannya :

* Sama-sama memiliki rumah sebagai tempat musyawarah sekaligus
  tempat pelaksanaan macam acara adat. Orang Toraja  menyebutnya
  "Tontonan" sedangkan Batak menyebutnya, "Bagas Godang atau Sopo
  Godang".

* Sama-sama pernah perang antara agama Kristen dan Islam pada masa
  pemerintahan Belanda. Ditanah Batak agama Kristen dalam dukungan 
  Belanda dan Islam dalam dukungan para ulama dimasa perang Padri.
  Sedangkan di Toraja agama Islam dalam dukungan para Alim Ulama
  dari suku Bu gis dan Kristen tetap dalam dukungan Belanda.

* Sama-sama mengijinkan kawin sepupu. Orang toraja lebih menekankan
  pada harta agar tidak terbagi pada orang jauh. Sedangkan Batak
  menekankan pada lebih akrabnya hubungan persaudaraan. Dalam
  istilah batak hal ini disebut "Kawin Marporeban".

* Kondisi alam hampir sama. Sama-sama berada di dataran tinggi.
   Karena itu jenis tanaman yang tumbuhpun hampir sama

Persamaan lainnya dari situs :
http://sosbud.kompasiana.com/2013/04/12/nenek-moyang-bangso-batak-dari-suku-mansyuria-manchuria-550531.html
adalah photo dibawah ini :

















Perbedaannya :

* Sangat berbeda dalam segi filsafat Hidup. Orang Toraja lebih
  menekankan pada kepentingan pengejaran materi guna mendapatkan
  status sosial (Filosofi Tau). Sedangkan orang Batak lebih 
  menekankan pada kerjasama sosialnya tanpa memandang materi 
  (Dalihan Natolu).

* Sangat berbeda pengaturan adat dalam urusan Kematian. Orang
  Toraja sangat rumit acara adatnya, sedangkan Batak cukup
  mudah.

* Di Toraja Pemeluk agama Tradisonal atau animisme masih ada
  sekitar  5 %. Sedangkan Batak nyaris sudah tidak diketahui
  pemeluk agama tradisonal ini dan animisme.

* Orang Toraja membuat pemakaman para nenek moyangnnya jadi
  objek parawisata, sedangkan orang batak tidak.

* Sistem kekerabatan berbeda. Orang toraja melihat kekerabatan
   mereka cenderung berdasarkan tetangga desa. Sedangkan orang
   batak dari segi silsilah atau tarombo.

*Falsafah hidup sungguh jauh berbeda. Sangat terasa sekali falsafah
   hidup orang toraja ini lebih mengejar ke materinya. Sedangkan orang
  batak ke kerjasamanya.

Saran :

Kiranya info ini dapat menambah informasi atau pengetahuan bagi
anda saudara orang Toraja dan anda saudara orang Batak.

Dan jika semua mau disimpulkan penulis ingin berkata :

Tidak terlalu kuat alasan untuk mengatakan bahwa orang batak itu
sama dengan orang Toraja, jauh lebih banyak perbedaannya daripada
persamaannya. Begitupun Orang Toraja dan orang Batak sama
dimata Kebudayaan Nasional.

"Kebudayaan Daerah memperkaya Kebudayaan Nasional". Dan mari
sama junjung tinggi kebudayaan masing-masing dengan tetap menghargai
kebudayaan orang lain.

Pada para kawan orang Batak...! Selamat malam dan lagu
Toraja untuk anda  :

Musik...!





Pada para kawan orang Toraja...! Selamat malam juga dan lagu Batak
untuk anda  :

Musik...!



____________________________________________________
Cat. Sumber :
Pengalaman dan pengetahuan penulis
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
Sampai 2 April 2014 dilihat 662 kali.

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork

1 comment:

  1. Analisanya terlalu disederhanakan.. Utk melihat persamaan lainnya antara batak dan toraja lihat analisa berikut https://www.academia.edu/4525092/Jejak_Peninggalan_Tradisi_Megalitik_di_Kabupaten_Samosir

    ReplyDelete