Sunday, November 17, 2013

Sastra Lampung : Gebyar 3 putra batak dalam sastra Lampung


#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak macam karya sastrawan batak dalam sastra lampung)
_________________________________________________________









Postingan ini adalah kelengkapan dari link :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2013/11/lampung-dalam-
hubungannya-dengan.html
____________________________

Kata pengantar
____________________________

Berikut kutipan dari sub judul "Sastra Lampung" pada uraian provinsi
Lampung di wikipedia lewat alamat :

Lampung menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan sastra, baik sastra
(berbahasa) Indonesia maupun sastra (berbahasa) Lampung. Kehidupan
sastra (Indonesia) di Lampung dapat dikatakan sangat ingar-bingar
meskipun usia dunia kesusastraan Lampung relatif masih muda.

Penyair Iwan Nurdaya-Djafar yang baru kembali ke Lampung setelah
selesai kuliah di Bandung sekitar 1980-an mengaku kepenyairan di
Lampung masih sepi. Dia baru menjumpai Isbedy Stiawan ZS,
A.M. Zulqornain, Sugandhi Putra, Djuhardi Basri, Naim Emel Prahana
dan beberapa nama lainnya.

Barulah memasuki 1990-an kemudian Lampung mulai semarak dengan
penyair-penyair seperti Iswadi Pratama, Budi P. Hatees, Panji Utama,
Udo Z. Karzi, Ahmad Yulden Erwin, Christian Heru Cahyo dan lain-lain.

Menyusul kemudian Ari Pahala Hutabarat, Budi Elpiji, Rifian A. Chepy,
Dahta Gautama dkk. Kini ada Dina Oktaviani, Alex R. Nainggolan,
Jimmy Maruli Alfian, Y. Wibowo, Inggit Putria Marga, Nersalya Renata
dan Lupita Lukman. Selain itu ada cerpenis Dyah Merta dan M. Arman AZ..
Leksikon Seniman Lampung (2005) menyebutkan tidak kurang dari 36
penyair/sastrawan Lampung yang meramaikan lembar-lembar sastra koran,
jurnal dan majalah seantero negeri.

Mengacu pada uraian diatas dapat kita ketahui, ada tiga orang pemilik
marga yang ikut berkarya dalam satra Lampung tersebut yaitu :

1. Budi P. Hatees
2. Ari Pahala Hutabarat
3. Alex R. Nainggolan

Siapa ketiga orang tersebut, dan apa saja yang jadi hasil karyanya
dalam kesusastraan Lampung adalah hal yang mau penulis sampaikan
lewat postingan ini.

Tujuannya jelas dan jelas untuk lebih mengenalkan mereka khsusnya
pada putra-putri batak yang mungkin berminat juga untuk berkarya
dibidang sastra ini, tak terkecuali sastra batak ataupun sastra
Medan kalaulah memang ada sastra Medan.

Selamat menyimak...!
__________________

1. Budi P. Hatees
__________________

*Hal sekilas otobiografi dalam hubungannya dengan sastra

Nama Budi P. Hatees lebih dikenal di dunia tulis-menulis
dibandingkan nama aslinya Budi Parlindungan Hutasuhut.
Budi P. Hatees dilahirkan di Sipirok, Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara, pada 3 Juni 1970. Budi, anak kedua dari
enam bersaudara pasangan Rencong P. Hutasuhut dan Nurhayati
S. Nainggolan, banyak menghabiskan masa kecilnya di Sipirok.

Sipirok dengan segala keindahan alamnya telah membuat Budi
jatuh cinta kepada sastra. Kecintaan Budi dengan sastra bermula
ketika Budi penasaran dengan satu desa yang bernama Desa Labu
Jelok. Desa Labu Jelok yang disebut-sebut dalam roman Azab
dan Sengsara (Balai Pustaka, 1921) karya Merari Siregar
kebetulan berdekatan dengan desa tempat Budi tinggal,
Desa Hutasuhut. Untuk menghilangkan rasa penasarannya itu,
Budi berkunjung ke desa tersebut. Ketika tiba di sana,
Budi terkesima.

Desa Labu Jelok yang digambarkan dalam Azab dan Sengsara
sama seperti apa yang dilihatnya. Kunjungan Budi ke desa
itulah yang membuat dirinya bercita-cita untuk menulis
sebuah cerita yang berlatar kampung halamannya.

Selain itu, sastrawan-sastrawan besar yang lahir di sana,
seperti Merari Siregar, dua bersaudara Sanusi dan Armijn Pane
serta pamannya sendiri, Bokor Hutasuhut, juga ikut memacu Budi
untuk terjun ke dunia sastra.

Selain faktor lingkungan, faktor keluarga juga mempunyai
peran besar menyulut keinginan Budi untuk menjadi penulis,
terutama sang ibu. Ketika Budi P. Hatees masih kecil,
ibunya yang seorang seniman perajin kain adat di daerah Sipirok
kerap menyuruh Budi untuk menceritakan kembali semua komik
yang telah dibacanya.

Sumber :
http://paratokohlampung.blogspot.com/2008/12/budi-p-hatees.html

*Hal Photo






















Terhadap photo ini penulis ingin berkata, "Yah memang beginilah
gaya sastrawan sekarang ini. Mereka tidak lagi gondrong seperti
para sastrawan masa lampau. Begitu juga kumis, tidak terlalu
penting dibandingkan puisi atau sajak.

Oke, salam hormat untuk ipar, mohon ijin sekilas otobiografinya
pun hasil karyanya dimuat di blog ini.

*Hal macam Hasil Karya Sastra

Berikut beberapa hasil karya Budi P. Hatees tersebut :

"Cerita tentang perahu"

suatu ketika, entah terjadi kapan, ia menemukan bangkai
sebuah perahu, "ini perahu nuh," katanya. berbulan-bulan
ia perbaiki perahu itu dan hartanya ludes ke situ.

orang-orang tertawa, anak-anak mengejeknya:
"gila! gila! gila! kapan kau berlayar?"
sambil melempari perahu dengan tahi

suatu ketika, entah terjadi kapan, ia ingin marah
dan menghardik anak-anak itu. tapi ia ingat kepada nuh
sambil mengurut dada, ia berdoa:
"tuhan, beri hamba kesabaran nuh!"

tapi anak-anak lain datang dan merusak perahunya sambil
mengejek: "gila! gila! gila!"

suatu ketika, entah terjadi kapan, ia tak lagi sabar
dan akhirnya marah. tiga anak-anak ditangkap dan dihajarnya,
orang-orang marah padanya, balik menghajarnya.

suatu ketika, entah terjadi kapan, ia menemukan bangkai
perahu lain. "ini perahu nuh" katanya
suster rumah sakit jiwa menampar wajahnya dan berkata:
"tolol, ini sensor.
_________________________________

"Mulak"

Ke tapian nauli, ingatanku selalu kembali
mendengar deru angin berbaris menuruni lereng sibualbuali
menyimpan cerita tentang hutan yang asri dalam aromanya
dan meledakkanya menjadi gemericik air di air sungai
dimana kaperas menari begitu gemulai
di antara pasir, batu-batu besar, dan lumut pada batu-batu itu

semua itu seperti cerita inang-inang
selalu menyeru-nyeru datang:
"pulanglah, pulang,
amangku sayang!"

("Mulak", Budi P. Hatees)
________________________________

"Kota Ini Mengutuk Siapa Saja"

dikutuk di kota ini, tinggal sendiri
memanjakan kekufuran, mengabaikan kematian

("Kota Ini Mengutuk Siapa Saja", Budi P. Hatees)
______________________________

sudah! sudah! sudah kataku!
sudah lama ruang ini didekap gelap
hingga kita selalu meraba dan saling menabrak
kita selalu mengaduh oleh rasa sakit yang sama
nyeri yang tak terawat

("Lampung", Budi P. Hatees)
___________________________

"Sajak Kepada  Luka"

terima kasih untuk tidak menangis
saat aku pergi
segala duka hatimu kini kikis
dan hiduplah berseri
aku adalah belati yang gores hatimu
setiap kau kenangkan tanganku
di pundakmu atau kecupan-kecupanku
di keningmu membatu
telah aku tinggalkan puisi yang tak bisu
aku tulis pada kertas-kertas di hatimu
tetapi kita hanya menciptakan selaksa luka
jika tetap kurekatkan hatiku di hati kau punya
waktu tak akan berhasil kita rajuti
jadi mantel bagi gigil hidup sendiri
dan masing-masing sudah mengerti
kita punya hati sukar berbagi

Bandar Lampung, i–2010
______________________________________

"Cerita Sebutir Embun dan Fajar"

engkau bagiku adalah embun, sekali waktu gemerlap air di daun
tapi aku bukanlah matahari yang akan memaksa bening matamu mengatup
kala tiba siang. aku hanya fajar, jiwa yang selalu berdebar oleh getar
gerak tubuhmu di daun yang seakan jatuh senantiasa utuh
engkau bagiku adalah embun, setiap saat memaksaku menjaga butir
beningmu utuh. sepanjang waktu,  lalu hilang bersama fajar

Bandar Lampung, i–2010
_______________________________________

"Tak Aku Ingat Wajahmu"

tak aku ingat wajahmu di antara letupan-letupan hujan
butiran-butiran air itu menggiringku pada dinginnya kesendirian
lalu aku membayangkanmu muncul dengan tubuh yang basah
gelombang tubuhmu meliuk juwita
entah kali keberapa, kau datang dan aku tak mengenalimu
di antara kesendirianku. telah terlalu lama sunyi ini menemaniku
bermain-main di halaman rumah, terkadang memanjat pohon jambu klutuk
menahan dingin. adakah kau dengar geligiku gemelutuk menahan kutuk
aku selalu takut akan sesuatu yang datang menjemput
ia mengendarai angin, lesat lewat jendela yang aku kunci luput
hingga pada sosokmu pun aku takut
juga pada kenangan demi kenangan kita yang sejumput
aku sedang tak ingin kemana-mana setelah perjalanan panjang itu
setelah segala masa lalu tak tertinggal utuh
kenapa matamu begitu samar dan segalanya menjadi abu-abu
tak aku ingat lagi wajahmu, juga kenangan kita itu.

Bandar Lampung, i—2010
______________________________________

"Ketika Ingin Menemuimu"

ketika ingin menemuimu, tak kubayangkan
akan sesulit ini mengiris bola matamu dari ingatanku
hingga tak bisa aku kembali ke sudut bumi
di sebuah kota, dimana aku gemar membayangkanmu
dan jatuh cinta
ketika ingin menemuimu, aku siapkan kisah-kisah
sebuah dunia yang telah kubangun di sudut bumi.
hamparan batu cadas, ilalang seluas pandang,
dan matahari yang tak pernah henti mengucurkan cairan
magma.
ketika ingin menemuimu,  aku hasratkan tubuhmu
jelita. serupa pantai yang landai dengan ombak dan angin
yang berderai.  lalu serupa pelancong yang rindu panorama
aku potret wajahmu dan kukenangkan lingkar tanganku
di pinggangmu
setelah menemuimu, tak kubayangkan akan begitu tersiksa
oleh sepi yang menghasratkanku padamu

Bandar Lampung, i–2010

Sumber :
http://rumahdunia.com/isi/2010/04/05/puisi-puisi-budi-p-hatees/
______________________________________________

*Karya Sastra Lainnya

Tapi Budi tetap Budi, apapun kritik yang datang kepada dirinya
selalu ditanggapi dengan bijak. Selama berkarya, Budi telah
menghasilkan sejumlah karya, berikut ini beberapa di antaranya.

1. Puisi
1) ”Cuaca Buruk” Republika, 3 Januari 1998.
2) Beranda Sunyi (Antologi Puisi Tunggal). Medan: Panggung Sastra. 1995.
3) Perjalanan Sunyi (Antologi Puisi Tunggal). Medan: Panggung Sastra. 1996.
4) Graffiti Grattituted (Antologi Bersama Puisi Cyber). Bandung: Yayasan Multimedia Sastra. 2000.
5) Dua Generasi (Antologi Bersama Puisi). Lampung: Yayasan Jung. 2003.
6) Dua Wajah (Antologi Bersama Puisi). Jakarta: Masyarakat Sastra Jakarta. 2003.
7) Konser Ujung Pulau (Antologi puisi). Lampung: Dewan Kesenian Lampung. 2003
8) Sastrawan Dua Generasi (Antologi Cerpen dan Sajak). Lampung: Yayasan Jung. 2004.

2. Cerita Pendek
1) ”Astuti” Anita Cemerlang, 1988.
2) Ketika Duka Tersenyum (Antologi Bersama Cerpen). Jakarta: FBA Press. 2000.
3) Ini Sirkus Senyum (Antologi Bersama Cerpen). Yogyakarta: Penerbit Bumimanusia. 2001.
4) Cermin dan Malam Ganjil (Antologi Bersama Cerpen). Jakarta: FBA Press. 2003.
5) ”Partonun” Tabloid Nova, April 2003.
6) Accident 2 U (Antologi Bersama Cerpen). Jakarta: FBA Press. 2004.
7) Anak Sepasang Bintang (Antologi Bersama Cerpen). Jakarta: Penerbit Senayan Abadi. 2005.
8) “Sebambangan” Lampung Post, 29 Mei 2005.

Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung.
Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 19-28.
__________________________

2. Ari Pahala Hutabarat
__________________________

*Hal sekilas otobiografi dalam hubungannya dengan sastra


Ari Pahala Hutabarat, penyair berdarah Medan dan Lampung,
dilahirkan di Palembang, pada 24 Agustus 1975. Putra Arman
Hutabarat dan Ringgasui ini adalah anak pertama dari empat
bersaudara. Ayah dan ibunya bekerja di bidang wiraswasta.

Ari memulai pendidikannya di SDN Mariana di Palembang sampai
dengan kelas 5, lalu ia pindah dan melanjutkan pendidikan
dasarnya di SD Negeri di Terbanggi Agung, Lampung Tengah
hingga lulus pada tahun 1986. Pendidikan SLTP di SMP Muhammadiyah
35 Jakarta hingga kelas 2, dilanjutkan di SMP Budaya Kemiling
dan lulus pada tahun 1989.

Pendidikan SLTA lulus pada tahun 1992 dari SMAN 7 Bandarlampung.
Pada tahun 1993, ia melanjutkan studinya ke Unila Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia lulus pada tahun 2000.

*Ketertarikan Pada Sastra

Ketertarikan Ari terhadap sastra sudah timbul sejak ia duduk di
bangku sekolah dasar, tetapi mulai menulis (terutama puisi) pada
saat ia berada di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sekitar 1992.
Ia sangat menyukai sajak-sajak penyair dalam negeri, di antaranya
karya Sutardji dan Rendra.

Karya-karya luar negeri, seperti Matsuo Basho, Octavio Paz, atau
Pablo Neruda. Karya-karya itu memengaruhi pemikirannya, yang
kemudian ia jadikan pengalaman dalam setiap karya yang akan ditulis.

Menurutnya, puisi Sutardji dan Rendra memiliki dan menempatkan
pemikiran, gagasan, ide dalam pembebasan kata-kata untuk mendapatkan
pemaknaan. Untuk penyair lokalnya, adalah Isbedy Stiawan ZS dan
Iswadi Pratama.

Putra Arman Hutabarat dan Ringgasui ini mulai aktif bergelut dalam
dunia kesastraan pada awal masuk kuliah. Ia bergabung dengan UKMBS
(Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni) di Universitas Lampung.
Pada 1997, untuk pertama kalinya karyanya dimuat di Lampung Post,
mulai pada waktu itulah ia semakin produktif menulis puisi.

Puisi-puisinya pernah dimuat di Kompas, Republika, Trans Sumatra,
Lampung Post, Media Indonesia, Koran Tempo, Jurnal Kebudayaan Kalam
dan Antologi Bersama Gerimis.

Dalam menulis puisi, Ari Pahala Hutabarat banyak dipengaruhi oleh
kehidupan dan lingkungan sekitarnya. Bidang studi di Bahasa dan
Seni, tempat ia menimba ilmu, adalah salah satu hal yang memengaruhi
setiap kelahiran karyanya.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Ari Pahala Hutabarat benar-benar
total berkesenian. Ia aktif di dalam setiap organisasi seni dan
budaya yang ada di Lampung. Ia merupakan salah satu pengurus di
Dewan Kesenian Lampung. Ari Pahala Hutabarat juga bergabung dalam
komunitas Berkat Yakin di Taman Budaya Lampung.

Ari Pahala Hutabarat juga bergelut di bidang teater. Sejak bergabung
dengan kelompok pecinta seni di Unila, Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang
Seni (UKMBS). Di situ dia secara total bergelut dengan seni. Ada beberapa
pementasan teater yang telah disutradarai dan dimainkannnya. Menurutnya
ekspresi diri di atas panggung adalah salah satu bentuk aktualisasi
nyata dari apa dan bagaimana yang telah dialami tokoh dalam kesehariaannya.

Hal yang sangat menggembirakan dan menjadi angin segar bagi kehidupan
budaya dan kontinuitas kesastraan di Lampung, ketika Ari berhasil
menembus media Jakarta. Menurut Ari Pahala Hutabarat, keterpusatan
media di Jakarta telah mengalami pergeseran, hal itu disebabkan adanya
perubahan perkembangan dunia baru terutama perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi informasi.

Perubahan itu juga didukung oleh situasi reformasi informasi dan kondisi
daerah Lampung sebagai pintu gerbang Jawa-Sumatera. Ari Pahala Hutabarat
juga memiliki peran dengan kapasitas sebagai individu pemerhati sastra,
yaitu dengan berbagi pengalaman melalui acara-acara kesusastaan dalam
bentuk workshop. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa pembedahan sastra,
analisis puisi, dan persoalan budaya serta lainnya. Hal tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan kreativitas individunya
dalam berkarya dan masukan bagi para pemerhati sastra. Selain itu juga
akan mempengaruhi perkembangan budaya Lampung sebagai bagian dari
perbendaharaan sastra di Indonesia.

*Hal Photo

Ini dia salah satu photonya yang menyebar di dunia maya ini :





















Terhadap photo ini penulis ingin berkarkata :

Bagaimana saya menafsir apa yang di bawa lae yang satu ini. Yang
di pegang terkesan seperti batu, sementara diatasnya bunga. Mungkinkah
beliau ingin memberi tahu bahwa bunga juga dapat tumbuh diatas batu.
Atau mungkin "Kaji" saya belum sampai kesana.

Oke...! Salam hormat untuk Ari Pahala Hutabarat, mohon ijin hasil karya
Sastranya berikut otobiog5rafinya di muat di blog ini.

*Macam Hasil Karya Ari Pahala Hutabarat.

1. Puisi

1) Daun-daun Jatuh Tunas-tunas Tumbuh (Antologi Bersama), 1995.
2) Dari Huma Lada (Antologi Bersama), 1996.
3) Menikam Senja membidik Cakrawala (Antologi Bersama), 1997.
4) Pesta Sastra Internasional TUK (Antologi Bersama), 2003.
5) Konser Penyair Ujung Pulau (Antologi Bersama), Dewan Kesenian
    Lampung, Januari 2003.
6) Gerimis (Antologi Bersama), Logung Pustaka, 2005.
7) Perjamuan Senja (Antologi Bersama, DKJ), 2005.
9) Monolog Sungai-Sungai, Buku Perjalanan, Sungai Bapak 2, Ziarah ke
    Muasal Luka, Jurnal Kalam, 2007.

2. Esai

1) “Puisi, Menangkap Makna Melalui Kata” (Radar Lampung, 2007).
2) “Citraan, Jendela dalam Puisi” (Lampung Post, 2007).

3. Naskah Drama yang Pernah Disutradarai.
1) “Hamlet” karya William Shakespeare.
2) “Inspektur Jenderal” karya Nikolai Gogol, (2004).
3) “Rashomon” karya Ryunosuke Akutagawa, (1999) dan (2005).
4) “Gerr” karya Ari Pahala Hutabarat, (1996).
5) “Pinangan” karya Anton Chekov, (2006).
6) “Dag Dig Dug” karya Ari Pahala Hutabarat (1998).
7) “Ke” karya Ari Pahala Hutabarat (1999).
8) “Malam Jahanam” karya Motinggo Busye.
9) “Kisah Cinta Hari Rabu” karya Ari Pahala Hutabarat (2002).
10) “Wu Wei dan Siapa Nama Aslimu” karya Ari Pahala Hutabarat.

4. Lain-lain:

1) Pembacaan puisi (Lampion Sastra III “Sastra Erotis”, Tanggal
    10 November 2006).
2) Peserta Ubud Writers & Readers Festival di Bali (2006).
3) Pembacaan Puisi di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM)
    Universitas Lampung, Sabtu (9-2) pukul 19.00.
4) Sajak “Penjaga Palang Kereta, Sungai Bapak, dan Cermin”
    (Lampung Post, 2 April 2006).
5) Sajak “Di Beranda Hari Raya” (Lampung Post, 23 Oktober 2006).
6) Puisi “Perahu Ibu” sebagai 15 Terbaik (Lomba Cipta Puisi oleh
     Ministry of Culture and Tourism, Republic of Indonesia, 2006).

Sumber :
http://arahlautlepas.blogspot.com/2008/11/ari-pahala-hutabarat.html
http://yanifitri.blogspot.com/2011_05_01_archive.html
_______________________

3. Alex R. Nainggolan
__________________________

*Sekilas otobiografi dalam hubungannya dengan sastra

Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila
jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku
sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika,
Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili,
Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos,
Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire,
Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang
Riau, dll.

Alex R. Nainggolan, sejatinya penulis serba bisa. Mulai dari sajak, cerpen, esai,
resensi buku, opini hingga artikel ilmiah pernah ditulisnya. Media massa yang
pernah memuat karya-karyanya, antara lain Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi,
Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar
Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya
Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off,

Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net,
Majalah Sagang Riau, dan lain-lain. Keandalannya dalam menulis tak disangsikan
lagi.

*Hal Photo

Ini dia salah satu photonya yang menyebar di dunia maya ini :






















Terhadap photo ini penulis ingin berkarkata :

Hebat nian tatapan  lae yang satu ini.
entah apa yang ada di pikirannya
sungguh aku tak tahu meski aku mencari tahu

Hahahaha...Salam hormat juga untuk Lae...!
Mohon ijin sekilas otobiografinya pun hasil karyanya
di posting di blog ini

*Hal Macam Hasil Karya Sastra

Berikut beberapa hasil Alex R. Nainggolan tersebut :

Jam Gadang yang Berdentang
bagaimana bisa kuhapus seluruh wajah kotamu?
bahkan ketika getar gempa menghadang
dan jam gadang terus berdentang
seperti sebuah remang
yang melulu singgah dalam lukisan
lalu kotamu membeku
seperti bongkah batu
lalu kaupun membaca hikayat si malin kundang

ah, lupakan saja sekejap ihwal anak durhana itu
tubuhnya telah liat oleh cuaca
ia yang membatu dan seperti suara setubuh
yang dibangunkan orang-orang pada setiap jerit kalimat
namun kotamu terus apik
semacam menanam rindu
untuk pulang lagi
jam gadang yang berdentang
adakah ia menyimpan rahasia?
saat gegas langkah menderap singgah
memecah linu pejalan kaki
lalu ia merasa cuma sekadar penanda

“Semacam waktu yang gugur, tak pernah sempat untuk dikubur.”

menelusup di kenangan pada buku waktu
ketika disibak halaman demi halaman
bersidekap pada silang kota
dan membelah segala gelisah
seperti dirawatnya luka orang-orang
seperti didengarnya tangis kanak-kanak
seperti dijemputnya binar harapan
dan ia tumbuh senantiasa
persis kecambah pada pepohon
yang liuk menekuk rimbun daun
dan ia berbunyi
seperti gema saung
menempuh subuh jauh
di antara bakan orang manatiang piriang
lalu disusun agenda
jam gadang terpejam
didengarnya detak dari detik
seperti degup tubuh yang dipenuhi sauh
ia berlayar bersama waktu
kerap bergetar dan melingkar
bertahun-tahun jam itu kukuh di sana
setia menjaga kota
juga ingatan remang yang pendar cahaya
sembul gedung
bayangan rumah gadang
harum kopi kawa
dengan batok kelapa kering

“Hiruplah aku ketika asap masih mengepul. dan engkau
akan membawa remah biji kopi sampai ke palung mimpi.”

maka petiklah
hanya daun yang penuh getah
mengobati linumu
jauh di remah galau
setiap jarum penunjuk arah
bagai tak mau kalah
atau melompat keluar
sekadar bermimpi untuk pulang
berpalang-palang rajam untuk rumah
maka ditatanya kota itu sendirian
ia bertahan pada setiap gaduh yang tumbuh
barangkali masih sempat dijemputnya
aroma kapau dari sebuah restoran
atau teh telor yang sengat dengan susu
langkah orang-orang yang lelap di antara gagap
hingga tak mampu menjawab lidah usia
seakan menjemput tanda kerut di tubuh
ah, betapa ia tetap bertahan di sini
bahkan ketika kota ini dipenuhi guncang
lindu yang mengeras dari dalam tanah
sementara di wajah pejalan
yang menembus bandar
luka itu kerap tumbuh
tapi bukankah aku telah gadang;
bahkan ketika gempa datang?

2011

"Pasar Sungai Sariak*

sepanjang kerucut rumah gadang
remah ingatan sepotong lagu
“kampuang nan jauh di mato…”
saat harga adalah rahasia
terjebak di antara ruas jemari
dan tak ada lagi curiga
cuma rangkuman percaya
rahasia di mata
sepanjang pasar
ternak yang beranak
kelak berpindah tangan
tanpa ucap
hanya terasa degap
ketika semuanya usai
tanpa mesti ada yang sangsai
di balik selendang
jemari yang sembunyi
tanpa suara
sunyi
dengan mata berbinar
cuaca yang berdenyar
mengharap kabar
dan tinggal menghitung arah angin
akan ke mana ini berakhir
ibarat muara
cuma suara ternak yang mengucap
percuma kaugoda
semacam obral di mall besar
sebab yang tamak kelak akan sia
ditikam bayangan kota padang

2011
Diposkan oleh Alex R. Nainggolan
__________________________________

Kumpulan Puisi  Alex R. Nainggolan
Sajak yang Tak Selesai- 46 sajak

... Semua berdenting. Seirama hening. Mengukir bening
Yang abu-abu. Meski berkali bercak air mata dan sungai darah
Kau telusuri. Sajak itu tak pernah sampai, hanya kata-kata rapuh
Yang tak selesai dijaga... (Sajak yang Tak Selesai)
__________________________________

*Hal macam penghargaan

Ia pernah menyabet beberapa penghargaan dalam bidang penulisan artikel,
sajak, cerpen, dan karya ilmiah di Radar Lampung (Juara III, 2003), Majalah
Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-SumbagSel yang
digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar
CWI Jakarta(2004 & 2005), dan lainnya.

*Hal Hasil karya lainnya

Selain itu, karya-karya sastranya tergabung
dalam beberapa buku, seperti Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi
Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi
(KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI,
Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005), 5,9 Skala Ritcher (KSI
& Bentang Pustaka, 2006), Negeri Cincin Api (Lesbumi NU, 2011), Akulah Musi
(PPN V, Palembang 2011). Buku kumpulan cerita pendeknya yang telah terbit
Rumah Malam di Mata Ibu (Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012).

Sumber :
http://alexrnainggolan.blogspot.com/
_________

Penutup
_________

Demikian uraian info mengenai topik bahasan pada postingan ini.
Dan jika pembaca ingin berkata pada penulis, tentang bagaimana
pendapatnya pada uraian diatas, maka penulis ingin berkata :

*Pada hasil karya sastra

1. Sungguh luar biasa jika seseorang dapat berkarya dalam sastra
   karena sastra dipikiran penulis adalah pelampiasan emosi jiwa
   pada macam persoalan hidup baik yang dialami sastrawan itu
   sendiri maupun yang dialami orang lain.

2. Pelampiasan emosi jiwa yang dituangkan dalam bentuk sastra
   apakah itu bernama sajak atau puisi, sesungguhnyalah bukan
   hal yang mudah untuk memahaminya.

3. Besarnya pengaruh subjektif, banyaknya penggunaan bahasa
   yang bermakna konotatif serta tidak diterapkannya penulisan
   kalimat dengan susunan SPOK adalah sebagian dari alasan
   tersebut.

4. Meski demikian, karya sastra tetap banyak disukai orang
   karena didalamnya cukup sering tergambar suatu solusi
   hidup yang bisa membawa rasa damai, nyaman, dan tentram
   karena terwakilinya emosi jiwa dari sang pembaca lewat
   karya sastra tersebut.

5. Hal lainnya, karya sastra juga cukup sering dapat memotivasi
   hidup, dapat membuat p[ekerjaan lebih cepat selesai dari yang
   seharusnya serta dapat menghilangkan rasa takut.

6. Khsus untuk hasil-hasil karya sastra Budi P. Hatees,
Alex R. Nainggolan dan Ari Pahala Hutabarat di atas, penulis
belum bisa berkomentar karena itu belum kapasitas saya.

Begitupun penulis ingin berkata, "Lanjutkan karya sastranya
para putra batak hingga ditemukan siapa putra batak seterusnya
yang jadi penerus".

*Pada calon Sastrawan Batak masa depan

1. Penulis akan sangat berterimaksih, jika anda adalah seorang
   putra batak yang pada saat ini sedang mulai merintis jalan,
   untuk terjun dalam dunia sastra, "Semoga cita-cita anda
   tercapai dan anda punya nama besar di negeri ini, seperti
   besarnya nama Rosihan Anwar, Armien Pane...Siregar, dll.

*Pada Pemda, Masyarat dan para Sastrawan Lampung

1. Tak dapat dipungkiri putra batak di kota-kota besar di
   Nusantara ini cukup banyak yang jadi pekerja Jurnalistik.

2. Salah satu hasil kerja jurnalistik tersebut bisa jadi
   bagian dari sastra di mana putra batak tersebut berkarya
   hingga cukup beralasan mengapa seorang putra batak bisa
   masuk menjadi salah seorang tokoh sastra dimana beliau
   berkarya.

3. Begitupun, dari hasil pengamatan tidak semua daerah-daerah
   atau kota-kota provinsi memasukkan nama-nama putra batak
   tersebut sebagai bagian dari tokoh sastra daerahnya meskipun
   hasil karya sastra tersebut di tujukan utuk masyarakat
   dimana beliau berkarya.

4. Provinsi Lampung ternyata tidak demikian, "Putra Batak
   yang berkarya di daerahnya tetap mendapat mengakuan sebagai
   bagian dari tokoh sastra Lampung itu paling tidak untuk
   suatu masa"

   Atas ketokohon dan pengakuan tersebut, penulis angkola
   facebook.blogspot.com mewakili masyarakat batak mengucapkan
   "Terimaksih pada Pemda dan Masyarakat Lampung atas diberikannya
   kesempatan pada para putra batak untuk berkarya di bidang
   sastra di daerahnya.

*Pada Pemda Sumatra Utara

Akan sangat bijaksana jika kita belajar dari Pemda Lampung,
untuk meberikan kesempatan pada putra-putri dari daerah
manapun untuk berkarya dibidang sastra Sumatra Utara.

Dengan terbukanya kesempatan bagi setiap orang untuk berkarya
di bidang sastra diwilayah manapun di Nusantara ini. Isya
Allah Sastra Nasional itupun akan semakin berkembang hingga
kita semua dapat memetik hikmah dari karya anak bangsa tersebut.

Para kawan sastrawan, calon sastrawan dan penikmat sastra,
"Selamat malam...!"

________________________________________________________
Cat :
*Bagi para pemilik hasil karya, jika dalam postingan ini ada yang
  salah dalam penulisan dipersilahkan untuk di ralat.


PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork

No comments:

Post a Comment