Sunday, June 28, 2015

Tantangan Berpuasa Ummat Muslim asal Nusantara di Benua Erofa


#SELAMAT MALAM PARA KAUM MUSLIMIN MUSLIMAT#
(Menyimak info sekitar tantangan berpuasa bagi ummat muslim
asal Indonesia yang tinggal di luar Indonesia khususnya di
Benua Erofa seperti Rusia, Belanda Prancis, dll)
________________________________________________________________













_____________________

Kata Pengantar
_____________________



Yah begitulah banyak Judul mengenai berpuasa di Internet ini.
Banyak yang menulis atau mengatakan bahwa "Berpuasa adalah Tantangan"
padahal bukan tantangan tapi, "Perintah" sesuai firman Allah Swt yang
mengatakan :

“Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa,” (Al-Baqarah: 183)


Menurut hemat penulis, "Kalau sudah perintah bukan tantangan lagi,
karena perintah yang ditantang menjadi tak dituruti" Iyakan...?
Iyalah...! Buktinya banyak orang ngak puasa gara-gara puasa di
anggap tantangan. Aaakh....hebat kali-la kita ini...! banyak orang
mencilet-cilet untuk tidak berpuasa.

Para kaum muslimin muslimat dimanpun berada...!

Begitupun dapat-nya itu di maklumi, mungkin yang dimaksud tantangan
dalam hal ini adalah tantangan karena adanya perbedaan situasi dan
kondisi dari suatu lokasi, seperti istilah :

- Lain Lubuk Lain Ikannya
  Ikan di Lubuk Pakam berbeda dengan Ikan di Lubuk Linggau misalnya.

atau...!

- Lain Padang lain Lain Belalangnya
  Belalang di Padang Bolak berbeda dengan belalang di Padang Padang
  atau di Padang Pariaman misalnya.

atau...!

Lain borutulang lain bedaknya, lain pula cara masaknya
kalau mau bicara borutulang la kita ini yang tau masak dan yang tak
tau masak.

Ehem...!

Begini saja...!

Postingan ini berisi macam info "kutipan Berita atau tulisan" mengenai
Tantangan berpuasa ummat muslim asal Indonesia yang tinggaldi luar
Indonesia, khsusnya Benua Erofa.

Adapun tujuan menyajian informasi :

"Untuk mendapatkan gambaran sekaligus perbandingan antara keadaan puasa
di Nusantara dengan di Erofa" sehingga jika anda para pembaca suatu
saat mengalaminya juga tidak mersa kaget.

Mungkin sajakan anda pembaca tahun depan berpuasa di Erofa...?




















Selamat menyimak...!
________________________________________________

Tantangan Bepuasa Ummat Muslim di Rusia
________________________________________________












Tantangan Berpuasa Saat 'Malam Putih' di Bumi Paling Utara
Liputan6.com, St Petersburg - Masyarakat Muslim yang tinggal di bumi paling
utara yakni Kota St Petersburg dan beberapa tempat lain di Rusia menghadapi
tantangan luar biasa dalam menjalani ibadah puasa Ramadan 1436 Hijriah
atau 2015 Masehi.

Saat Ramadan di mulai, matahari di wilayah itu seakan tidak pernah benar-benar
terbenam. Kejadian yang disebut 'malam putih' berlangsung sejak akhir Mei
hingga awal Juli, di mana malam hanya berlangsung selama beberapa jam.

Meski dapat diamati di sepanjang bagian utara, Malam Putih sangat dikaitkan
dengan St Petersburg, kota paling utara berpopulasi lebih dari sejuta jiwa.

Bagi penduduk Muslim setempat, ini merupakan hal yang sulit. Al-Quran membuat
pengecualian berpuasa bagi orang-orang sakit, musafir, dan perempuan hamil
atau sedang haid. Namun, tidak ada penjelasan tentang berpuasa di bagian
bumi paling utara.

Menurut otoritas Muslim St Petersburg, waktu siang yang lebih lama di kota
tersebut tahun ini merupakan tantangan ekstra untuk umat Muslim.

"Di St Petersburg, kaum Muslim menganggapnya sebagai ujian," kata pegawai
di Regional Muslim Spiritual Centre St Petersburg dan Northwest yang
namanya tidak mau disebutkan.

Para Muslim yang berpuasa harus menunggu 21-22 jam untuk berbuka, mereka
hanya punya waktu makan selama tiga jam.

Saat ditanya soal kesulitan mengikuti jadwal yang ketat,
dia mengatakan, itu bukanlah beban untuk orang-orang beriman.
"Islam adalah jalan hidup," ujar dia, seperti dikutip dari
antara, Jumat (19/6/2015).

"Bagi kami, berpuasa sama seperti bangun pagi dan menggosok gigi."

Yelizaveta Izmailova, administrator di sekolah setempat yang berasal dari
daerah berpenduduk Muslim Ingushetia mengatakan, orangtua, saudara saudari
dan suaminya sama-sama berpuasa mengikuti jadwal yang dibagikan di masjid
agung setiap pekan.

"Bulan ini, waktu berbuka puasa sangat larut. Kami tidak makan atau minum
sejak subuh, sekitar pukul dua pagi, sampai matahari terbenam pukul 10 malam,"
kata Izmailova.

Dia menjelaskan, senja biasanya tiba pukul 10.30 malam pada Juni.
"Tentu saja, ini beban berat untuk tubuh manusia, tapi setiap Muslim
menjalankannya secara sadar," jelas dia.

Meski tidak ada angka pasti berapa banyak Muslim di St Petersburg, tahun
lalu ada 42.000 umat yang memenuhi dua masjid utama di kota itu saat Idul
Fitri. Tidak semua orang dapat masuk ke dalam masjid sehingga sebagian
harus salat di jalan. (Ant/Sun/Nrm)

Sumber :
http://ramadan.liputan6.com/read/2255190/tantangan-berpuasa-saat-malam-putih-di-bumi-paling-utara
____________________________________________

Tantangan Berpuasa ummat Muslim di Amerika
____________________________________________











REPUBLIKA.CO.ID, YOGGYAKARTA -- Ramadhan 1436 H,  di Amerika Serikat
bersamaan dengan musim panas. Sehingga waktu berpuasa cukup panjang
kurang lebih 16 jam.

"Karena di sini sedang musim panas, puasanya panjang. Subuh pukul 04:48
pagi dan Maghrib pukul 20:50 malam. Matahari baru tenggelam sebelum
jam 9 malam," kata Siti Kusujiarti PhD Department of Sociology and
Anthropology Professor of Sociology and Gender and Women's Studies
at Warren Wilson College, Asheville, North Carolina, Amerika Serikat,
kepada ROL, Selasa (23/6).

Dijelaskan Atiek -- panggilan akrab Siti Kusujiarti -- di tempat
tinggalnya suhu udaranya sangat panas sekali, mencapai 90 derajat
Fahrenheit. Sehingga bila beraktivitas di luar rumah orang akan
sangat mudah kehausan.

Selain itu, kata Atiek, tidak ada adzan sebagai pertanda berbuka puasa
atau tanda waktu shalat fardhu lainnya. Untuk mengetahui waktu Subuh
dan Magrib hanya melihat jam yang telah di susun Islamic Center setempat.

"Jadi ya hanya lihat jadwal puasa di website Islamic Center setempat,"
kata Atiek.

Kemudian untuk shalat Tarawih hanya ada di Islamic Center. Sementara
Di Kota Asheville tidak banyak masjid. "Shalat Tarawih kadang dilakukan
bersama di Islamic Center, tapi saya  biasanya hanya weekend saja.
Kalau di Islamic Centernya aktif ada taraweh setiap hari," kata
ibu seorang putri ini.

Dikatakan Atiek, ia hanya melakukan taraweh pada akhir pekan karena
siang harinya beraktivitas biasa. "Susahnya di sini, segala kegiatan
berjalan seperti biasa. Sedang taraweh biasa sampai tengah malam.
Padahal kalau tidak weekend kan paginya harus bekerja," katanya.

Untuk makan sahur, juga cukup sulit. Sebab tidak ada rumah makan
yang buka malam hari. Sehingga cara agar bisa makan sahur, membeli
makanan pada sore hari.

"Mahasiswa yang tinggal di dorm, makan sahur kadang agak repot,
karena kafetaria tutup. Jadi mereka harus stok makanan sebelumnya,"
katanya.

Ketika ditanya, apakah makanan yang dibeli sore hari dingin ketika
dimakan saat sahur, Atiek mengatakan para mahasiswa membeli makanan
yang bisa dihangatkan menggunakan microwave. "Mahasiswa biasa punya
microwave di kamar, jadi nggak harus makan sahur dingin," katanya.

Selain udara panas, godaan di siang hari sangat banyak. Terutama
ketika menghadiri pertemuan selalu ada jamuan makan siang.

"Kita harus menerangkan kalau sedang puasa. Puasa di sini jauh lebih
challenging karena infrastructure dan culture di sekitar kita berbeda
dan sering kali kurang mendukung ataupun orang-orang di sekitar kita
walaupun tidak ada niat jelek, tetapi mereka tidak tahu sama sekali
tentang Ramadan," katanya.

Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/ibrah/15/06/23/nqdlnt-tantangan-berpuasa-di-amerika
____________________________________________________

Tantangan BerpuasaUmmat Muslim di (Perancis)
______________________________________________________














REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan 1436 H ini adalah kali kedua bagi
Saldhyna menjalani ibadah puasa di Tanah Napoleon. Tantangan durasi waktu
puasa yang panjang membuat Muslim di Perancis harus pandai-pandai mengatur
jadwal. “Mau tak mau, aku harus berpuasa selama kurang lebih 18 jam di Perancis.
Itu bukan waktu yang pendek jika dibandingkan dengan waktu puasa di Indonesia
yang sekitar 13 jam,” kata Saldhyna kepada ROL, Rabu (24/6).

Alumnus Jurusan Kimia, Institut Teknologi Sepuluh November itu sudah dua
tahun tinggal di Perancis. Tahun lalu, ia menjejakkan kaki di benua biru
sebagai mahasiswa master di Universite Paris-sud, Paris. Saat ini, ia
pindah kota ke Grenoble untuk menemani suami yang tengah mengambil
program doktor.

Sama seperti kebanyakan negara  Eropa lain, Ramadhan di Perancis tahun ini
jatuh pada musim panas. Saldhyna mengisahkan, sahur di Perancis berakhir
sekitar pukul 04.00, sedangkan waktu buka puasa baru sekitar pukul 21.30.
Itu belum lagi jika matahari senang berlama-lama menampakkan diri tepat di
atas kepala.

Kondisi itu mengharuskan umat Muslim di Perancis untuk pandai mengatur
waktu dan memiliki stamina yang fit. Tak jarang, ia melewatkan sahur
karena tertidur setelah menunggu waktu Isya yang baru jatuh pukul 23.30.
Untuk menyiasati hal ini, kata Saldhyna, biasanya dia melatih diri dengan
puasa Senin-Kamis sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan. Ia juga sering
mengakhirkan waktu Isya, sehingga langsung tidur setelah berbuka dan
sholat maghrib. Sekitar pukul 03.00, barulah ia bangun sholat Isya dan
sahur.

Saldhyna mengaku kadang-kadang muncul rasa khawatir dan pesimistis tak
bisa menjalani Ramadhan secara maksimal. Melalui Ramadhan satu bulan
penuh di negeri orang terasa sangat berat. Sesekali pula terbayang
pengalamannya 22 tahun menghabiskan Ramadhan di Indonesia.

Di tanah air, Ramadhan begitu semarak. Sinetron-sinetron bertema religi
sudah mulai tayang sejak sebulan sebelumnya. Para pedagang kaki lima tak
mau kalah berbaris rapi menjajakan takjil jelang buka puasa. Spanduk-spanduk
bertuliskan syiar Islam turut berkibar-kibar riang. Semua itu menjadi nostalgi
yang baru akan terasa begitu hangat saat kita telah jauh dari kampung halaman.

________________________________________________

Tantangan Berpuasa Ummat Muslim di Belanda
________________________________________________













Menjadi sorang perantau memang tidak mudah untuk bisa bertahan hidup,
terutama seorang muslim yang studi di luar negeri. Saya Mahasiswa S1
mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di Belanda tepatnya di Enschede.
Salah satu kota kecil di ujung timur negeri Kincir angin ini.

Pertama kali saya menginjak negeri ini pada bulan September 2013 banyak
hal yang harus disesuaikan dari mulai kehidupan sehari –hari hingga
kegiatan akademik. Namun dari segala kegiatan sehari-hari yang harus
diadaptasikan dengan diri ini, salah satu hal yang menurut saya paling
unik adalah mengadaptasikan diri untuk menjalankan ibadah wajib dibulan
Ramadhan. Ya, berpuasa di Belanda selama 30 hari penuh adalah salah
satu pengalaman yang berharga bagi saya.

Akhirnya bulan Ramadhan itu datang, yang ditunggu-tunggu akhirnya dapat
berjumpa juga. Namun terdapat beberapa tantangan yang saya rasakan
disni. Pertama, waktu puasa yang hampir 24 jam.

saya memulai puasa pada hari pertama dengan waktu puasa kurang lebih
19 jam. Imsak dari pukul 03.00 hingga maghrib pukul 22.30 CET (Central
European Time). Membayangkannya mungkin sangat melelahkan untuk menahan
rasa dahaga, lapar dan larangan lainnya dalam berpuasa dengan durasi
seperti itu.

Namun, ketika menjalankan puasa pada hari hari berikutnya sudah sangat
terbiasa dan merasakan puasa selayaknya di Indonesia yang hanya 12 jam.
Mengapa bisa seperti itu? Karena saya mendapatkan banyak wejangan
bagaimana mengatur asupan makanan dan minuman ketika sahur dan berbuka
agar kita tetap mempertahankan stamina dengan durasi yang cukup lama
dalam berpuasa walaupun kita berkegiatan akademik seperti biasanya.
“Bisa karena terbiasa” juga menjadi jargon handal saya atau orang-orang
dalam menghadapi situasi baru yang harus dijalani.

Tantangan kedua adalah menjalankan ibadah puasa sebagai minoritas yang
dimana mayoritas orang-orang disekitar kita tidak berpuasa, disini
saya sangat belajar bagaimana diri ini harus bersikap bahwa beribadah
kepada Allah SWT tidak menjamin mendapatkan privilege didunia ketika
menjalaninya. Apalagi kita menuntut keistimewaan yang berlebihan kepada
orang-orang disekitar kita karena kita sedang beribadah kepada Allah SWT.

Dalam kasus ini adalah berpuasa. Saya puasa menjalaninya dengan biasa
saja, ketika ada teman warga belanda sedang makan siang dan minum lalu
kita diskusi bersama kala istirahat tidak ada yang saling menuntut
untuk dihormati. Baik saya maupun dirinya. Walaupun mereka heran
mengapa saya dan muslim lainnya harus berpuasa serta harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban yang bisa mereka jawab,
bukan berarti setelah itu saya menuntut mereka untuk menghormati saya
untuk tidak makan dan minum ketika ada saya yang sedang berpuasa.

Ini jelas tantangan saya dalam berpuasa, tetapi dilain sisi ini menjadi
pengalaman saya dalam memetik ilmu ketika menjadi minoritas disuatu
negara. Budaya yang seperti ini yang sebenarnya saya harapkan yang
hadir di Indonesia. Bersikap sewajarnya ketika memang ada orang lain
tidak berpuasa dihadapan kita lalu mereka makan dan minum seperti biasanya
dan sebaliknya tidak menuntut menghormati yang tidak berpuasa kepada yang
berpuasa seakan-akan disini hadir 2 kubu yang haus akan ingin dihormati.
Anggap saja itu adalah gladi resik sebelum kita berpuasa di luar negeri

Ketiga adalah, beribadah untuk tarawih berjamaah di Mesjid terdekat.
Di Belanda, tentu Mesjid sangat jarang. Setiap kota di Belanda hanya
memiliki 1 atau maksimal 3 Mesjid yang masing-masing dimiliki oleh Turki
atau Maroko.

Buka puasa mulai pada pukul 22.30, dengan begitu dimulainya tarawih
pun akan lebih larut malam. Kurang lebih pukul 23.30 sholat Tarawih
dimulai di masjid. Sholat tarawih tersebut berakhir pada pukul 01.30,
dan ketika pulang biasanya para mahasiswa Indonesia langsung melakukan
Sahur karena waktu Imsak pukul 03.00 tersebut dimana pada paginya
langsung memulai aktivitas dikampus seperti biasa. Disini kita sangat
dituntut untuk pandai mengatur waktu.

Hebatnya dengan waktu yang sempit ini, kita sangat beruntung bisa
tetap merasakan sholat Tarawih di Mesjid yang jamaahnya selalu
istiqomah penuhnya dari awal Ramadhan hingga akhir.

Keempat adalah makanan sahur dan berbuka yang sangat dirindukan layaknya
seperti di Indonesia jarang ditemukan. Terbiasanya kita dengan makanan
dan minuman khas di Indonesia ketika sedang Ramadhan sangat sulit
dijumpai disini. Bahkan hampir tidak mungkin. Sesekali rindu akan
masakan Indonesia dalam berbuka dan sahur terobati dengan mukimin
atau warga Indonesia yang telah lama menetap disini, mereka membuat
acara berbuka bersama dengan warga Indonesia yang ada di Enschede.

Disini menjadi salah satu wadah bagi para mahasiswa untuk mengobati
rindu akan makanan Indonesia. Selain itu, ketika para mahasiswa yang
sedang berpuasa terlalu sibuk dalam menyiapkan hidangan dalam berbuka,
kita tidak perlu khawatir. Mesjid yang ada di Belanda terutama di Enschede
menyediakan ta’jil dari mulai makanan ringan hingga hidangan makanan
berat gratis* kepada para muslim yang sedang berpuasa.

Menu yang disajikan memang khas dari negara tertentu yaitu khas Maroko.
Tetapi itu bukan suatu hambatan, karena bagi warga Indonesia dapat
beradaptasi dengan makanan khas mereka. Salah satu berkah yang saya
rasakan disini, setiap orang hadir dalam acara buka bersama di Mesjid
Maroko menjadi akrab walaupun datang dari berbagai latar belakang pendidikan
ataupun negara. Mengapa bisa sangat akrab karena pihak Mesjid menggunkan
sistem “satu wadah untuk bersama”. Lihat pada foto berikut

Sumber :
 http://studidibelanda.org/tantangan-berpuasa-di-negeri-van-oranje/
___________

msterdam - Bagi masyarakat Indonesia durasi puasa selama bulan Ramadan
kurang lebih 12 jam. Durasi itu terbilang pendek jika dibandingkan puasa
seorang muslim di Benua Eropa, terutama di musim panas.

Di Amsterdam, Belanda misalnya, waktu imsak di dua hari awal bulan
Ramadan pukul 03.04. Sedangkan waktu buka pukul 22.05.

Salat Isya dan tarawih baru bisa dilakukan setelah pukul 00.06 tengah
malam. Kemudian tiga jam berikutnya, sudah sahur lagi.

"Dulu pertama kali puasa di sini terasa sangat berat sekali," kata
Ade Yunita, seorang warga Indonesia yang sudah tinggal 26 tahun di
Den Haag.

Lamanya waktu puasa jelas menjadi hambatan fisik tersendiri. Selain
itu ada tantangan-tangan lain yang dihadapi muslim ketika berpuasa
di Benua Biru.

"Di sini kan bukan negara muslim ya, jadi sering banyak yang menanyakan,
mengapa harus puasa. Ya saya jelaskan pelan-pelan kepada mereka, bahwa
ini merupakan kewajiban," ujar perempuan yang menikah dengan warga
Belanda ini.

Tantangan lainnya, kata Ade, di Belanda dia menemui kendala besar untuk
dapat melakukan buka bersama dan tarawih di masjid. Waktu buka dan
tarawih yang larut malam membuat tidak memungkinkan bagi Ade untuk
dapat keluar rumah.

"Buka saja jam sepuluh malam. Susah keluar rumah untuk buka bersama.
Tapi saya masih bisa buka bersama, biasanya pada hari libur, Sabtu
atau Minggu," kata Ade.

Ade tetap bisa mendapatkan suasana buka bersama seperti di Indonesia.
Di akhir pekan itu, dia menyempatkan ke Amsterdam untuk bertemu dengan
warga Indonesia lainnya yang ada di negara tersebut.

"Di Den Haag juga ada masjid. Tapi kebetulan saja saya sudah akrabnya
dengan teman-teman yang di Amsterdam," kata Ade.

Itu puasa di Belanda. Puasa di negara Eropa lainnya juga kurang lebih
sama. Margono, seorang karyawan di Agen Travel yang ada di Paris,
Prancis mengatakan puasa di negerinya Napoleon Bonaparte itu cukup
menantang.

"Kalau puasa di sini, benar-benar bisa bikin langsing," ujar pria asal
Magelang Jawa Tengah ini.

Bagi Anda pembaca detikcom yang memiliki pengalaman berpuasa Ramadan
di luar negeri seperti yang dituliskan di atas, bisa menuliskan dan
mengirimkannya ke: redaksi@detik.com. Sertakan identitas lengkap,
nomor kontak yang bisa dihubungi dan foto yang mendukung kisah Anda.

Sumber :
http://news.detik.com/berita/2949553/puasa-20-jam-di-eropa-berat-dan-penuh-tantangan
__________________________________________________________

Tantangan Berpuasa di Negeri Ateis (Parnu - Estonia)
__________________________________________________________












Estonia merupakan negara ateis terbesar kedua di dunia. Di musim panas,
pukul 22.00 masih terang benderang di negeri ini. Durasi puasa mencapai 19 jam.
DIUNDANG menghadiri Parnu Film Festival  di Estonia merupakan kebanggaan
tersendiri bagi saya mengingat festival film dokumenter ini cukup popular
di tanah Eropa. Untuk tahun ini, Parnu Film Festival mengusung tema
Diskriminasi dan Hak Asasi Manusia. Tidak heran jika lebih dari 74  film
dokumenter yang dipertunjukkan pada festival ini umumnya bertema demokrasi.

Dua di antara film itu berasal dari Indonesia, Jalanan (Streetside) dan
Jakarta Disorder.  Sayangnya, tidak satupun dari kedua film itu karya
anak negeri. Keduanya karya sutradara asing yang mengangkat tema tentang
Indonesia.

Laporan tentang festival film dokumenter ini akan saya tulis dalam cerita
terpisah di media ini. Kali ini saya ingin menulis tantangan berpuasa di
Estonia karena saat festival berlangsung, umat muslim sedang menjalankan
ibadah.  Sebagai umat muslim, saya tetap menjalankan ibadah itu meski
sedang berada di negeri orang.

Namun menjalankan ibadah Ramadan di Estonia di musim panas bukanlah hal mudah.
Pasalnya,  waktu siang jauh lebih lama dibanding waktu malam.  Pada pukul 22.00,
suasana di Estonia masih terang benderang. Setengah jam kemudian barulah
matahari mulai tenggelam. Lima jam kemudian, matahari perlahan mulai
menampakkan  diri lagi. Tak heran  jika  jadwal berpuasa di Estonia lebih
lama di banding negara-negara Asia. Jika di Indonesia durasi puasa sekitar
13 jam, di Estonia mencapai  19 – 20 jam.

Umat muslim merupakan warga minoritas di negeri bekas Uni Sovyet ini.
Dari 1,3 juta populasi penduduk Estonia, hanya sekitar 1.400 orang atau
0,2 persen beragama Islam ( sensus 2013). Agama terbesar di negeri ini
adalah Nasrani.  Tapi jumlah itu masih tergolong lebih kecil di banding
mereka yang tidak beragama (ateis).

Menurut data Dentsu Communication Institute Inc, hampir 75,7 persen penduduk
Estonia  ateis. Bahkan Wikipedia menyebut Estonia sebagai negara kedua
terbesar di dunia yang rasio penduduknya ateis.  Rangking pertama masih
dipegang Tiongkok sebesar  93 persen.

Tidak heran jika ratusan gereja yang ada di negeri kawasan Baltik ini
lebih banyak kosong ketimbang didatangi jemaahnya. Ratusan gereja malah
sudah beralih menjadi kantor atau sekolah. Sedangkan gereja lainnya lebih
banyak diperuntukkan sebagai lokasi tujuan wisata,  sebab gereja-gereja

itu memiliki artistis  yang menarik dan punya nilai sejarah yang tinggi
layaknya bangunan eropa tua lainnya.

Masjid di Estonia hanya ada dua unit. Keduanya berada di Tallin, Ibu
Kota Estonia. Masjid ini dibangun oleh komunitas Islam yang berasal
dari Rusia.  Mereka adalah sekelompok muslim pendatang yang berimigrasi
ke Estonia ketika negeri itu masih bagian dari Uni Soviet di Estonia,
antara tahun 1940 dan 1991.

Meski minoritas, muslim di kawasan ini secara umum tetap cinta damai, homogen,
dan terintegrasi dengan baik ke dalam masyarakat Estonia. Masyarakat asli
Estonia sangat bersikap toleran terhadap kaum pendatang.  Tak hanya itu,
Islam juga diakui sebagai agama resmi konstitusi negara itu sejak 1928.

Namun sejak peristiwa menara kembar 11 September 2002, Pemerintah Estonia
mulai berhati-hati dengan perkembangan Islam di negeri itu. Meski tidak ada
larangan formal, namun upaya komunitas membangun masjid,  tetap mendapat hambatan.

Parnu adalah salah satu kota budaya yang paling terkenal di Estonia.  Kota
ini berada di pinggiran pantai, berbatasan langsung dengan negeri tetangga
Latvia. Parnu adalah tempat wisata sangat indah yang banyak didatangi  turis
mancanegara.  Kota sarat dengan bangunan tua bersejarah  dengan arsitektur
yang klasik.  Setiap tahun di musim panas, kota ini menjadi tuan rumah
pelaksanaan Parnu Film Festival, sebuah ajang pertunjukan khusus  film
dokumenter tingkat dunia.

Saat festival berlangsung, kota berpenduduk 50 ribu jiwa ini didatangi
banyak turis mancanegara.  Tahun ini kegiatan Parnu Film Festival berlangsung
pada 14 – 27 Juli 2014. Ada banyak film dokumenter berkelas dunia dipertunjukkan
pada festival ini. Laporannya akan saya suguhkan secara terpisah kepada pembaca.

Saya ingin berbagi pengalaman tentang betapa beratnya tantangan berpuasa di
kota ini, apalagi aura Islam sama sekali tidak terasa. Tidak ada masjid
di Parnu.  Untuk mengetahui jadwal Ramadan, saya terpaksa browsing internet,
menelusuri informasi dari berbagai sumber.

Akhirnya  jadwal berpuasa di Estonia saya dapatkan dari Muslim World League,
sebuah organisasi Islam yang berpusat di Mekkah. Belakangan saya ketahui,
ternyata ulama Estonia mencoba menselaraskan jadwal Ramadan di negeri itu
dengan jadwal Mekkah. Jadwal shalat magrib  dan berbuka puasa di Parnu
pukul 22.30, sedangkan  imsyak pukul 2.33.  Sayapun harus menjalani puasa
selama 19 jam di kota ini.

Jadwal Ramadan di Estonia tidak jauh berbeda dengan jadwal Ramadan di
negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia, Swedia  atau Denmark. Menariknya,
komunitas Islam di negara  Skandinavia itu   masih cukup kuat, sehingga
suasana Ramadan lebih semarak.  Sedangkan di Estonia, komunitas Islam nyaris
tidak dikenal, karena memang mayoritas rakyat di negara yang terpisah dari
Uni Sovyet pada 1991 ini,  tidak peduli dengan agama. ***

*Penulis sedang berada di Kota Parnu, Estonia, menghadiri Parnu Film Festival 2014.

Sumber :
http://atjehpost.co/articles/read/7853/Tantangan-Berpuasa-di-Negeri-Ateis

_______________

Penutup
_______________








Demikian yang dapat disampaikan lewat postingan ini para
kaum muslimin muslimat sekalian. Semoga dapat memperluas
wawasan Ke_Islaman kita khsusnya dibidang berbandingan
lama waktu berpuasa di bulan Ramadhan.

Wasalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh...!

Insya Allah untuk anda :




_________________________________________________________________
Cat :


PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork

No comments:

Post a Comment