#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Terorisme Dunia dalam hubungannya dengan
World Trade Center (WTC) di New York dan Terorisme Indonesia dalam
hubungannya dengan Terorisme Bali sebagai landasan dalam banyak
perobahan UU mengenai terorisme di Indonesia)
_____________________________________________________________________
_________________________
Kata pengantar
_________________________
Para kawan dimana-pun berada...!
Postingan ini adalah pendalaman dari link :
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2016/01/terorisme-1-hubungan-pemahaman-pada.html
yang mana penulis mengurai mengenai pentingnya memahami istilah
Terorisme sebagai landasan dalam antisifasinya.
Juga...!
Pendalaman dari link :
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2016/01/terorisme-2-daftar-kejadian-terorisme.html
Yang mana penulis mencoba menganalsia lewat data gambaran tentang
terorisme di Indonesia dari tahun 1981 - 2015.
Terhadap semua ini, bisa jadi anda atau kita semua, ingin tahu pula
bagaimana :
- Para terorisme ini dapat di hukum
- Cara penangkapan terorisme
- Peran intelijen
- Peran UU
- Dan sebaginya termasuk dalam hubungannya dengan HAM.
Nah...!
Berikut infonya dari wilikipedia Ind....dan...
Selamat menyimak...!
____________________________________________________________________
Sekilas info tentang Terorisme Dunia dan Pemberantasannya dari
Hasil pengalaman Terorisme World Trade Center (WTC) di New York,
____________________________________________________________________
* Pemahaman Umum
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual
terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York,
Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai
“September Kelabu”, yang memakan 3000 korban.
Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur,
melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri,
sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.
Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya
ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan
gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan
Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu,
yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang
lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh,
terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat
sebuah pembunuhan massal yang terencana.
Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers,
diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington,
189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam
pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania.
Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade
Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung
yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang
melambangkan kemakmuran ekonomi dunia.
Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430
perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang
Amerika Serikat tapi juga dunia. Amerika Serikat menduga Osama bin
Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
* Titik Tolak Perang Pada Terorisme
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik
seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi
untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional.
Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme
Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali,
tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban
sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih
dari 300 orang.
Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat
sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang
pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001,
diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah
melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan
mengeluarkan Anti Terrorism Bill.
__________________________________________________________________
Sekilas info Terorisme di Indonesia dan Pemberantasan-nya
dari hasil Pengalaman Terorisme Bali
__________________________________________________________________
* Pemahaman Umum
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu
tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh
Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban
pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme
itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa
tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.
* Dasar Pengusutan
Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur
tentang Tindak Pidana Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada
peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai
memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa
perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di
samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan,
mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat
tercipta karena:
Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat.
Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat.
Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan
pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur
dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma
dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan
undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan
khusus untuk segera menanganinya. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana
apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian
dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat
lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus
memenuhi kriteria:
bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan
oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut,
sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan
dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut. Sedangkan kriminalisasi
Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat
dilakukan melalui banyak cara, seperti:
Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk
kekhususan hukum acaranya.
Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang
kejahatan terorisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal
yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak
hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk
memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan
terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah
sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan
negara yang harus dilindungi.
Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut
harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut,
pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa
semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja,
akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan
bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum
yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk
hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara
yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan
dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada.
Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-
Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum
Acara Pidana.
Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan
asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar
penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan
erat dengan Hak Asasi Manusia.
Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka
bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan
asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur
oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian
suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di
pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan
penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa
perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga
keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup.
Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini
belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum
Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum.
Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
pasal 26 berbunyi[21]:
Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan
setiap Laporan Intelijen.
Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan
oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
* Proses Pemeriksaan
Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara
tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. Jika dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang
cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan
Penyidikan. Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang
pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah
yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan
Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan.
Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen
sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri
melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup.
Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat
untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan
suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau
pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama
dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak
setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum,
diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan
dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke
dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan
Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan.
Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang
yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan
yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak
Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan
agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya
penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan
terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang
yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena
banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan
terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat,
dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak
seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia.
Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada
penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi
pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan
kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya dalam keadaan apapun[23]. Undang-Undang Antiterorisme kini
diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary
detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru
dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses
interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat.
Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme
harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga
pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia.
Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang
yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh
justru melawan Hak Asasi Manusia.
Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan
sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga
bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.
_____________
Penutup
_____________
Demikian infonya para kawan sekalian...!
Kiranya pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kata pengantar di atas dapat
anda jawab, hingga anda-pun atau kita memperoleh gambaran proses-proses
penyelesaiannya lewat Hukum Indonesia yang memang Negara Hukum.
...dan...
Selamat malam...!
_____________________________________________________________________________
Cat :
http://amzn.to/1VW0ktU
(Menyimak info sekitar Terorisme Dunia dalam hubungannya dengan
World Trade Center (WTC) di New York dan Terorisme Indonesia dalam
hubungannya dengan Terorisme Bali sebagai landasan dalam banyak
perobahan UU mengenai terorisme di Indonesia)
_____________________________________________________________________
_________________________
Kata pengantar
_________________________
Para kawan dimana-pun berada...!
Postingan ini adalah pendalaman dari link :
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2016/01/terorisme-1-hubungan-pemahaman-pada.html
yang mana penulis mengurai mengenai pentingnya memahami istilah
Terorisme sebagai landasan dalam antisifasinya.
Juga...!
Pendalaman dari link :
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2016/01/terorisme-2-daftar-kejadian-terorisme.html
Yang mana penulis mencoba menganalsia lewat data gambaran tentang
terorisme di Indonesia dari tahun 1981 - 2015.
Terhadap semua ini, bisa jadi anda atau kita semua, ingin tahu pula
bagaimana :
- Para terorisme ini dapat di hukum
- Cara penangkapan terorisme
- Peran intelijen
- Peran UU
- Dan sebaginya termasuk dalam hubungannya dengan HAM.
Nah...!
Berikut infonya dari wilikipedia Ind....dan...
Selamat menyimak...!
____________________________________________________________________
Sekilas info tentang Terorisme Dunia dan Pemberantasannya dari
Hasil pengalaman Terorisme World Trade Center (WTC) di New York,
____________________________________________________________________
* Pemahaman Umum
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual
terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York,
Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai
“September Kelabu”, yang memakan 3000 korban.
Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur,
melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri,
sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.
Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya
ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan
gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan
Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu,
yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang
lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh,
terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat
sebuah pembunuhan massal yang terencana.
Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers,
diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington,
189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam
pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania.
Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade
Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung
yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang
melambangkan kemakmuran ekonomi dunia.
Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430
perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang
Amerika Serikat tapi juga dunia. Amerika Serikat menduga Osama bin
Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
* Titik Tolak Perang Pada Terorisme
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik
seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi
untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional.
Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme
Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali,
tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban
sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih
dari 300 orang.
Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat
sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang
pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001,
diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah
melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan
mengeluarkan Anti Terrorism Bill.
__________________________________________________________________
Sekilas info Terorisme di Indonesia dan Pemberantasan-nya
dari hasil Pengalaman Terorisme Bali
__________________________________________________________________
* Pemahaman Umum
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu
tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh
Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban
pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme
itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa
tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.
* Dasar Pengusutan
Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur
tentang Tindak Pidana Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada
peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai
memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa
perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di
samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan,
mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat
tercipta karena:
Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat.
Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat.
Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan
pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur
dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma
dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan
undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan
khusus untuk segera menanganinya. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana
apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian
dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat
lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus
memenuhi kriteria:
bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan
oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut,
sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan
dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut. Sedangkan kriminalisasi
Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat
dilakukan melalui banyak cara, seperti:
Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk
kekhususan hukum acaranya.
Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang
kejahatan terorisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal
yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak
hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk
memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan
terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah
sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan
negara yang harus dilindungi.
Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut
harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut,
pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa
semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja,
akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan
bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum
yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk
hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara
yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan
dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada.
Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-
Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum
Acara Pidana.
Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan
asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar
penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan
erat dengan Hak Asasi Manusia.
Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka
bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan
asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur
oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian
suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di
pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan
penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa
perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga
keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup.
Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini
belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum
Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum.
Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
pasal 26 berbunyi[21]:
Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan
setiap Laporan Intelijen.
Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan
oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
* Proses Pemeriksaan
Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara
tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. Jika dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang
cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan
Penyidikan. Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang
pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah
yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan
Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan.
Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen
sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri
melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup.
Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat
untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan
suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau
pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama
dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak
setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum,
diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan
dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke
dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan
Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan.
Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang
yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan
yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak
Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan
agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya
penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan
terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang
yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena
banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan
terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat,
dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak
seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia.
Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada
penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi
pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan
kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya dalam keadaan apapun[23]. Undang-Undang Antiterorisme kini
diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary
detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru
dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses
interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat.
Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme
harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga
pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia.
Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang
yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh
justru melawan Hak Asasi Manusia.
Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan
sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga
bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.
_____________
Penutup
_____________
Demikian infonya para kawan sekalian...!
Kiranya pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kata pengantar di atas dapat
anda jawab, hingga anda-pun atau kita memperoleh gambaran proses-proses
penyelesaiannya lewat Hukum Indonesia yang memang Negara Hukum.
...dan...
Selamat malam...!
_____________________________________________________________________________
Cat :
http://amzn.to/1VW0ktU
No comments:
Post a Comment