#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Revolusi dalam hubungannya dengan sesuatu
yang harus dihindari atau didekati, Revolusi secara Umum dan
Revolusi Mental ala Pak Presiden RI).
_______________________________________________________________
____________________
Kata Pengantar
____________________
Alkisah...!
Lahirlah penulis tepat di Hari Pendidikan Nasinal 2 Mei 1967 yang
dengan sendirinya dalam keadaan suci, bersih, lembut dan lemah.
Secara pemikiran...!
Salah satu yang bersih dan suci itu adalah "Otak" penulis belum ada
isinya sama sekali, untuk kemudian sampai pada masa usia sekolah.
Sekolah SD-pun dimasuki, di salah satu SD nun jauh disana, jauh
dari Ibukota Sumatra Utara dan lebih jauh lagi dari Ibukota Negara
Republik Indonesia, yaitu di Kec. Sipirok, Tapanuli Selatan - Sumut.
Berlalu sudah sekolah SD itu, untuk kemudian masuk SMP dan lanjut
ke SMA. Usia sekolah SMA ini-pun berlalu di tahun 1987 untuk ke-
mudian merantau ke Tanah Jawa di tahun yang sama.
Para kawan diman-pun berada...!
Dimasa pendidikan SD, SMP dan SMA penulis itu, jelas adalah suatu
masa yang secara umum kita sebut "Masa Orde baru" dengan pimpinan
utamanya Alm. Soeharto sebagi Presiden RI.
Dibawah kepemimpinan beliau ini dengan sendirinya pendidkan-pun
lewat berbagai macam nama mata pelajaran dibawah kendalinya. Dan
salah satu mata pelajaran itu adalah Sejarah Indonesia yang
merupakan bagian dari yang dinamakan Ilmu Pengetahuan sosial.
Maka penulis belajar Sejarah Indonesia tersebut dengan salah
satu topik yaitu "Revolusi". Yah Revolusi...! Dan selalu
berhubungan dengan yang namnya G30S PKI.
Karena dalam setiap mata pelajaran Sejarah atau IPS selalu ada
yang namanya Revolusi dan selalu pula berhubungan dengan G30S PKI,
maka penulis-pun mengartikan Revolusi pada masa usia sekolah ini
adalah :
- Kekerasan
- Penembakan
- Penikaman
- Penyeretan
- Penculikan
- Penyanderaan
- Penyayatan
- penyincangan
- Penyusupan
...dan...
- Penguburan hidup - hidup
Pengartian-pengertian ini (=Revolusi) menjadi semakin kuat dipikiran
penulis, ketika :
- Penulis mendengar bahwa di tanah batak juga para Revolusioner
(anggota G30S PKI) ini melakukan penyiksaan dan tak jarang para
orang tua bemeberitahu bahwa dibeberapa tempat yang curam di
Tanah Batak adalah tempat orang-orang batak yang dibantai
sama Revolusioner G30S PKI tersebut. Dan tempat-tempat inisampai
sekarang tidak ada seorang-pun orang batak yang berani mendekatinya
karena kesan cerita dan keankeran yang digambarkannya.
- Penulis juga mendengar, bahwa orang-orang dekat yang menjadi kerabat
dari anggota G30S PKI ini mengalami kesulitan jika berurusan dengan
Pemerintah. Bahkan beberapa orang sama sekali tak bisa punya KTP
karena ada ponis lisan dari para penyelenggara negara masa itu
yang mengatakan seseorang adalah anggota Partai Komunis INdonesia.
- Juga menjadi semakin kuat bahwa Revolusi itu bukan sesuatu yang
baik, ketika penulis tahu bahwa tidak seorang-pun sepengetahuan
penulis orang batak ada yang namnya si Revolusi, apakah namnya si
Revolusi Siregar, Revolusi Simanjuntak atau Revolusi Situmorang.
Padahal...!
Apapun yang hebat di negara ini, tak terkecuali di dunia ini, jika
hal tersebut dilai orang batak baik, maka hal tersebut dapat menjadi
nama dari seorang anak di Tanah Batak.
Singkat kata...!
"Revolusi adalah hal yang mengerikan dan tidak perlu terjadi" itulah
konsep yang ada dipikiran penulis sampai penulis memasuki masa kuliah
di Perguruan Tinggi.
Para kawan sekalian...!
Dimasa kuliah ini penulis belajar macam cabang Ilmu yang merupakan
Naungan dari Ilmu Komunikasi antara lain, Ilmu Komunikasi itu sendiri
dalam hubungannya dengan Surat Kabar, Radio dan Media Televisi.
Penulis juga beljar tentang yang namanya Propaganda, Retorika, Perang
Urat Syaraf, Agitasi dan Indoktranasi, hinga penulis sadar bahwa,
"Peristiwa apapun yang ada dimuka bumi ini selagi bukannya dilihat
oleh mata kepala kita sendiri" buka-lah suatu hal yang "Harus benar-
benar dipercaya".
Bahkan...!
Peristiwa bukan saja dapat dimanipulasi, peristiwa juga dapat
diciptakan yang dalam bahasa penulis disebut "Spcial Event".
Dalam hubungannya dengan istilah "Revolusi", maka pengertian penulis-pun
setelah belajar komunikasi ini menjadi lebih luas dalam arti :
- Revolusi memang keras tapi tidak selalu saling membunuh
- G30 S PKI sebagai gambaran kejadian Revolusi, belum tentu seperti
apa yang ditulis di buku-buku sejarah kejadiannya, belum tentu
seperti yang ada di Film-Film tahun 70-80-an adanya. Semua itu
mungkin saja di Manipulasi, dikarang-karang sebagian kejadiannya
hingga menimbulkan efek pada orang yang melihatnya sebagai mana
direncanakan oleh pembuat film atau oleh penguasa.
Singkat kata...!
Pengertian Revolusi dimasa Kuliah ini tidaklagi se-Seram, se-kejam,
se-sadis pada saat penulis diusia seolah SMA.
Para kawan di mana-pun berada...!
Waktu-pun berlalu, Era Orde baru telah lewat untuk kemudian masuk
mada Era Reformasi dibawah kepemimpinan Presiden RI masa kini yaitu
Jokowi.
Beliau mencanangkan agar "Revolusi Mental" dilaksanakan juga di
era Reformasi ini.
Bagaimana pendapat Cle'an...!
Apakah Revolusi mental sebagaimana dimaksudkan Presiden RI saat ini
akan dapat berhasil...?
Entahlah kawan...!
Jika penulis yang harus menjawab, maka penulis ingin berkata :
"
"Penulis merasakan, Presiden RI Pak Joko Widodo, bukan saja "lagi"
merevolusi mental saya, tapi telah mencuci otak saya. Beliau
mengingkan sesuatu yang se-harus-nya di hindari (Revolusi) menjadi
sesuatu yang harus di dekati dan dilaksanakan (Revolusi juga).
Terhadap anjuran Pak Presiden Republik Indonesia ini, "Penulis
sebagai masyarakat biasa, tidak keberatan dengan Revolusi Mental
ala Pak Presiden ini atau "Cuci Otak" ala penulis ini".
Tapi...!
Mohon mamaf pada Pak Presiden RI termasuk wakilnya atau siapa saja
masyarakat Nusantara ini yang mendukung "Revolusi Mental" ala Pak
Joko Widodo :
Revolusi Mental atau Revolusi apa-pun namanya di Nusantara ini,
selagi ada kata "Revolusi-nya" akan sangat susah dilaksanakan,
khsusnya bagi penulis dan masyarakat Indonesia lainnya yang
mengalami masa pendidkan formal di masa Orde baru.
"32 Tahun sudah masyarakat Indonesia mengartikan Revolusi sebagai
sesuatu yang harus di hindari, bagaimana mungkin pak Jakowi yang
masih dalam 1 periode ini dapat berhasil menerapkan Revolusi
sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Tidak-kah cukup logis
jika perlu waktu 32 tahun juga untuk merobah pengertian ini".
Para kawan dimana-pun juga...!
- Jika dilihat atau ditinjau secara Intelektual, apalagi dengan
intelektualnya masa sekarang ini, masa dimana calon pimimpin
negara RI saat ini sedang jadi Mahasiswa/i, penulis mendukung
"Revolusi Mental" ala pak Presiden RI ini.
Tapi...!
- Jika Revolusi Mental ini ditujukan pada siapa saja yang mencicipi
pendidkan formal masa Orde baru yang mungkin saat berada pada
usia 45 - 55 Tahun, istilah "Revolusi Mental" harus diganti
dengan istilah lainnya yang lebih lembut.
Dan istilah pilihan penulis adalah :
- Perbaikan Mental
- Service mental
- Mentalitas baja
...atau...
- Berpikir dan Berjiwa Besar saja
Demikian opini penulis pada istilah "Revolusi" dan "Cuci Otak" di kata
pengantar postingan ini. Semoga memberi manfaat pada pihak-pihak yang
berkepentingan.
...dan...
Berikut kutipan info sekilas tentang ;
1. Revolusi secara Umum
2. Revolusi Ala Partai Komunis Indonesia
3. Revolusi ala Presiden RI, Joko Widodo
....dan...
Selamat menyimak...!
__________________________________________________________________
1. Sekilas info tentang Revolusi secara Umum
___________________________________________________________________
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan
masyarakat.
Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau
tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa
kekerasan atau melalui kekerasan.
Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi
pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris
yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena
mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat—seperti
sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan—
yang telah berlangsung selama ratusan tahun.
Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan
membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali
baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika,
romantika, menjebol dan membangun.
Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha
menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh
beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen
perjuangan beserta sarananya.
Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan
berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa
dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-
kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran
kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya.
Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta
kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini
menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan
pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat.
Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan
dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan
revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia,
dan banyak negara lainnya.
Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti
fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta
menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya
untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi
presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk
rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan
tanah di banyak daerah di negeri itu.
Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun
yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Misalnya Revolusi Industri
yang mengubah wajah dunia menjadi modern. Dalam definisi yang lebih
sempit, revolusi umumnya dipahami sebagai perubahan politik.
Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula
pada Revolusi Perancis, kemudian Revolusi Amerika. Namun, Revolusi
Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan
kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang
bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga dengan
revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia.
Maka konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi
sosial dan revolusi nasional.
Pada abad 20, terjadi sebuah perubahan bersifat revolusi sosial yang
kemudian dikenal dengan Revolusi Rusia. Banyak pihak yang membedakan
karakter Revolusi Rusia ini dengan Revolusi Perancis, karena karakter
kerakyatannya. Sementara Revolusi Perancis kerap disebut sebagai
revolusi borjuis,
sedangkan Revolusi Rusia disebut Revolusi Bolshevik, Proletar, atau
Komunis. Model Revolusi Bolshevik kemudian ditiru dalam Perang
Saudara Tiongkok pada 1949
Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai
akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang
mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang
dianut masyarakat.
* Pemimpin
Revolusi umumnya mensyaratkan hadirnya seorang pemimpin kharismatik,
berperannya sebuah partai pelopor (avant garde), adanya sebuah
elemen ideologi.
Dalam Revolusi Rusia, misalnya, Lenin dan tokoh puncak Partai Komunis
mampu menjadi pemimpin yang kharismatik. Revolusi lain yang
mengedepankan seorang tokoh, misalnya Fidel Castro di Kuba,
Che Guevara di Amerika Selatan, Mao Tse-Tung di Republik Rakyat
Tiongkok, Ho Chi Minh di Vietnam, Ayatullah Khomeini di Iran,
Corazon Aquino di Filipina ketika Revolusi EDSA, dll.
Sumber :
Wiki Ind
_________
__________________________________________________
4. Gambaran Praktek Revolusi secara Umum
__________________________________________________
MENGARTIKAN REVOLUSI MENTAL
Perkenankan saya terlebih dulu menegaskan bahwa kehadiran saya di sini
adalah sebagai seorang undangan yang diminta untuk mengartikan istilah
“Revolusi Mental” yang dikemukakan oleh Joko Widodo (Jokowi) dan Tim.
Penegasan ini saya kemukakan karena cara kita memahami sekarang ini
diwarnai dengan kecenderungan untuk mengambil apa yang kita lihat
dan dengar hanya menurut apa yang kita suka, atau menafsirkannya
sesuai kepentingan kita. Cara pikir ini cenderung mengabaikan
substansi. Substansi inilah yang akan saya bicarakan.
* Memahami Istilah
Untuk itu, pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa istilah ‘Revolusi
Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah
politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia
Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme
maupun (Zen) Buddhisme.
Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut
cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara
berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini,
cara berperilaku dan bertindak.
Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang
tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik benda-benda
dunia. Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan
dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi
dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi.
Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan
perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan
untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak
juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan
juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas
industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb.
Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi,
melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka
menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian,
bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda,
ritual keagamaan, seni, dsb.
Kekeliruan memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya
ke kesadaran moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal
perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti
soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb. Padahal kesadaran moral,
atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat,
hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan,
struktur sosial dan pelaku. Kekeliruan itu terungkap dalam omongan
kita sehari-hari: “Wah, itu masalah mental pelakunya!”, atau: “Tidak,
itu masalah struktur!” Akibatnya, interaksi keduanya terasa putus.
Pokok ini tidak perlu diurai panjang lebar di sini. Cukuplah disebut
bahwa kesesatan itu melahirkan pandangan seakan-akan ‘kebudayaan’
berurusan hanya dengan ranah subyektif pelaku, sedangkan ‘struktur
sosial’ berurusan dengan ranah obyektif tindakan. Dan keduanya tidak
berhubungan. Itu pandangan primitif dan sesat.
Bagaimana kesesatan itu dikoreksi? Jawabnya: hubungan integral antara
“mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami
‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola caraberpikir, cara-merasa, dan
cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari
(practices, habits).
Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisi
material/ fisik/ sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental.
Keduanya saling terkait secara integral.
Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap
hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir,
merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem
dan praktik habitual ekonomi serta politik.
Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak
ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada
pada aras analitik. Pada yang politik dan ekonomi selalu terlibat
budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga punya
lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan
tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga punya lapis
fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang
melandasinya. Namun dalam praktek sehari-hari ketiganya tidak terpisah
secara tajam.
Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-
kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme
sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang
memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial.
Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena
perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek
luar negeri.
Implikasi dari kekeliruan memahami gejala yang disebut pada butir
5 dan 6 di atas sangat besar. Pernyataan-pernyataan publik seperti
pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal sehingga diperlukan jalan
kebudayaan adalah contoh kekeliruan memahami hubungan integral struktur,
kebudayaan, dan pelaku.
Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan
mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai
perkara moral bangsa – “kalau moral berubah, selesailah masalah!”.
Sungguh keliru anggapan itu.
* Operasionalisasi Revolusi Mental
Dengan paparan di atas, bagaimanakah kita mengartikan ‘Revolusi
Mental’? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan.
Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah
bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan
hidup berbangsa.
Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan
tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya.
Tetapi karena ‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa
dan bertindak, ‘revolusi mental’ tidak bisa tidak mengarah ke
transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa
dan cara-bertindak kita itu.
Kebudayaan hanya dapat “di-strategi-kan”(3) jika kita sungguh memberi
perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi
‘Revolusi Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti
dan pengertian kebudayaan ke tataran praktek hidup sehari-hari.
Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan
sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan,
atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola
cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam
tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari.
Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana
melahirkan Indonesia baru.
Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos,
yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian
ini), cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya
menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik,
sains-teknologi, seni, agama, dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas
bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-
laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai
revolusi mental. Di lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar
seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski demikian, revolusi mental
dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah.
Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk
etos warga negara (citizenship). Maka, sejak dini anak-anak sekolah
perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini
‘menubuh’. Mengapa? Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah
kewarganegaraan. Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas
prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya tertentu.
Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan kepada
siswa mulai dari usia dini. Dalam menjalankan Revolusi Mental,
pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang tidak dapat
diganti misalnya dengan pelajaran agama. Sebaliknya, pelajaran agama
membantu pendidikan kewarganegaraan.
Untuk keperluan pendidikan kewarganegaraan kita dapat menyusun pertanyaan:
(a) Keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh
siswa agar menjadi warga negara yang baik?
(b) Sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue)
apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia
yang dicita-citakan bersama?
Sebagai contoh, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan
adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah
kejujuran; jika sasarannya adalah kebinekaan, maka yang dididik adalah
pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnisitas, dll;
jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab; dst.
Tampaknya memang tidak ada yang baru dari hal-hal yang disebut di atas.
Dengan memusatkan perhatian pada perubahan kebiasaan sehari-hari yang
punyai dampak kebaikan publik, kebaruan terletak pada cara mendidik.
Proses pendidikan mesti bermuara ke corak kebiasaan bertindak. Artinya,
pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif
(discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge).
Pengetahuan diskursif tentu sangat dibutuhkan dalam mengawal secara
kritis kehidupan berbangsa-bernegara, namun biarlah sementara ini
itu jadi urusan para intelektual/cendekia. Bagi agenda ‘Revolusi
Mental’, yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan praktis –
transformasi pada tataran kebiasaan bertindak sehari-hari para warga
negara dalam lingkup dan skala seluas bangsa.
Keutamaan (virtue) adalah pengetahuan praktis. Ini berarti bahwa dalam
proses pendidikan, Revolusi Mental adalah membuat bagaimana kejujuran
dan keutamaan lain-lainnya itu menjadi suatu disposisi batin ketika
siswa berhadapan dengan situasi konkret. Ketika berhadapan dengan
kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi melihat kejujuran
sebagai hal terpisah dari dirinya.
Dia tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena
kejujuran sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi habit. Kejujuran
mengalir dari dirinya. Ibarat seseorang yang mahir berenang, dia
tidak lagi perlu memikirkan ritme gerakan tangan dan kakinya.
Gerakan itu menjadi bagian dirinya ketika dia berada di air.
Contoh lain bisa kita ambil dari Skandinavia dimana kesetaraan
(equality) diajarkan sejak anakanak. Itulah mengapa sistem welfare
state menjadi mungkin di Negara-negara Skandinavia. Kendati dikenai
pajak progresif, warga memahami arti dan keutamaannya karena kesetaraan
sudah menjadi sikap dasar (dan tentu saja juga karena penyelenggara
negara yang akuntabel dan tidak korup). Di Jepang, sikap stoic
(Jepang: gaman) sudah diajarkan sejak usia 3 – 6 tahun sampai
menjadi kebiasaan dan sikap hidup sehari-hari. Kita tentu masih
ingat reaksi tenang, rasional, terkendali dan hening masyarakat
Jepang yang banyak dibahas media internasional ketika terjadi
tragedi nuklir 2011.
* Kantung-kantung Perubahan
Pendidikan di sekolah hanyalah bagian saja dari proses pendidikan
warga negara. Padahal kalau sungguh mau dilaksanakan, Revolusi Mental
harus menjadi gerakan kolosal berskala nasional. Gerakan itu mencakup
masyarakat seluas bangsa agar perilaku sosial setiap individu menjadikan
keutamaan warga negara sebagai kebiasaan.
Untuk itu, kita tidak perlu menunggu adanya kebijakan. Silakan memulai
dengan membangun kantung-kantung perubahan dan menyusun siasat yang
berfokus pada transformasi cara hidup sehari-hari kelompok-kelompok
warga negara. Siasat itu melibatkan gerakan rutin dalam bentuk langkah-
langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak
terhadap terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara.
Jadi, ‘Revolusi Mental’ bukanlah urusan membikin panggung di mana para
selebriti mencari sorak dan puja-puji. Transformasi sejati terjadi dalam
kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin.
Hanya melalui kesetiaan inilah ‘Revolusi Mental’ akan terjadi. ‘Revolusi
Mental’ juga tidak akan terjadi hanya dengan khotbah tentang kesadaran
moral, serta tidak terjadi dengan pelbagai seminar dan pertunjukan.
Semua itu cenderung jadi panggung slogan. Agar ‘Revolusi Mental’ menjadi
siasat integral tranformasi kebudayaan, yang dibutuhkan adalah menaruh
arti dan praksis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi menyangkut
praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar
bangsa.
Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat
secara ragawi dalam memulai dan merawat revolusi mental.
Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka
inilah arti civil society yang sebenarnya: civil society adalah gerakan
para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara
berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia.
Itulah ‘Revolusi Mental’.
Catatan kaki :
1) Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
2) Apa yang saya sampaikan di sini merupakan endapan pemikiran yang
sumber-sumbernya belum saya cantumkan sehingga tulisan ini belum
memenuhi kelayakan publikasi.
3) Kebudayaan tentu bukan bidang yang dengan kaku dapat dikemas ke
dalam kotak strategi. Oleh karena itu, pengertian “strategi” di sini
lebih berfungsi sebagai semacam peta, jalan-jalan yang akan kita tempuh/
hindari untuk menjelmakan visi kebaikan hidup bersama.
Sumber :
http://www.jokowi.id/opini/mengartikan-revolusi-mental/
__________________________________________________________________
2. Sekilas info tentang Revolusi ala Partai Komunis Indonesia
___________________________________________________________________
Rahasia dibalik kata “REVOLUSI MENTAL” di Indonesia
Banyak rakyat Indonesia terpesona mendengar kata revolusi mental
yang dilontarkan salah satu capres dan cawapres 2014 di Indonesia.
Padahal tanpa disadari, rakyat tidak tahu revolusi mental ke arah
manakah yang dimaksud capres dan cawapres tersebut.
Mereka (capres dan cawapres) tak pernah memaparkan tujuan dan metode
atau cara mewujudkan revolusi mental.
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.
Sedangkan mental adalah batin dan watak manusia. Jadi, singkatnya
revolusi mental adalah perubahan sosial dan kebudayaan pada watak manusia.
Di Indonesia istilah “Revousi Mental” pertama kali dikenalkan oleh
seorang pemuda asal Belitung yang bernama Ahmad Aidit anak dari
Abdullah Aidit dan kemudian mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara
Aidit (DN Aidit).
Dan ketika ayahnya bertanya kenapa namamu diganti ? Aidit menjawab
saatnya “Revolusi Mental”.
D.N Aidit yang kita kenal sebagai ketua PKI (Partai Komunis Indonesia)
mengganti hal-hal yang akan menghambat pergerakan, termasuk nama
Ahmad yang berbau agama harus dibuang.
Setelah D.N Aidit terpilih menjadi ketua PKI, dia sukses menerapkan
istilah “Revolusi Mental” kepada para kader PKI, dan ormas-ormas
PKI lainnya seperti PEMUDA RAKYAT, BARISAN TANI INDONESIA, GERWANI,
SOBSI DAN LEKRA yang dianggap simbol perlawanan kepada kaum Feodalis.
Revolusi mental ditujukan untuk perubahan sikap, perangai, dan cara
pandang terhadap sesuatu yang dianggap kuno/tradisional. Dan perubahan
itu dulu adalah perubahan kearah pandangan sosialis dan komunis
dengan menentang kapitalis sebagai wujud pandangan lama.
Hal ini diperkuat dengan adanaya pernyataan timses salah satu
capres dan cawapres yang akan menghapus kolom agama pada KTP.
http://www.nahimunkar.com/revolusi-mental-dipopulerkan-ba…/…
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi
http://kamusbahasaindonesia.org/mental/mirip
http://www.citizenjurnalism.com/…/asal-usul-kata-revolusi…/…
“Revolusi Mental” Dipopulerkan Bapak Sosialis-Komunis Karl Marx,
Diteruskan Ketua PKI DN Aidit,...
Istilah “Revolusi Mental” pertama kali dipopulerkan oleh Bapak
Sosialis-Komunis Dunia yg bernama Karl Marx, kemudian diadopsi DN
Aidit Ketua PKI, dan kini…
Sumber :
__________________________________________________________________
3. Sekilas info tentang Revolusi ala Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia (Revolusi Mental)
___________________________________________________________________
JAKARTA, KOMPAS.com — "Revolusi Mental" merupakan jargon yang diusung
presiden terpilih Joko Widodo sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014.
Namun, tak banyak penjelasan konkret muncul atas frasa itu.
Pertanyaan tentang revolusi mental pun mencuat dalam diskusi dengan tajuk
jargon tersebut di Balai Kartini, Jumat (17/10/2014). Salah satu jawaban
datang dari politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
Panda Nababan.
Jawaban itu diawali dengan pengenalan organisasi Serikat Rakyat Miskin
Kota (SRMK). Panda mempersilakan anggota organisasi itu berdiri. Lalu,
dia berkata, "Mereka ini datang dari jauh. Dulu, Pak Jokowi ini
seperti mereka."
Berikutnya, Panda mengatakan, "Tapi Pak Jokowi tidak mau menyerah. Dia
bekerja, berusaha, hingga sampai seperti saat ini." Menurut Panda,
perjalanan Jokowi dari yang semula seperti profil para anggota SMRK
tersebut hingga menjadi presiden terpilih merupakan cuplikan dari
konsep revolusi mental itu sendiri.
Jawaban Jokowi
Diskusi pada Jumat petang tersebut dipandu oleh presenter Najwa Shihab.
Jokowi juga hadir di sana. Jawaban atas pertanyaan tentang revolusi
mental pun datang dari Jokowi.
Jokowi memulai jawabannya dengan menyebutkan tentang sebuah keharusan.
Menurut dia, revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal
karakter orisinal bangsa.
Indonesia, sebut Jokowi, merupakan bangsa yang berkarakter santun,
berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dia mengatakan, karakter
tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera.
"Tapi saya juga ndak tahu kenapa, sedikit demi sedikit (karakter) itu
berubah dan kita ndak sadar. Yang lebih parah lagi ndak ada yang nge-rem.
Yang seperti itulah yang merusak mental," ujar Jokowi.
Perubahan karakter bangsa tersebut, kata Jokowi, merupakan akar dari
munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya
birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-
tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa.
"Oleh sebab itu, saya menawarkan ada sebuah revolusi mental," ujar Jokowi.
Pendidikan dan penegakan hukum
Terminologi "revolusi", kata Jokowi, tidak selalu berarti perang melawan
penjajah. Menurut dia, kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa
karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya.
"Kalau ada kerusakan di nilai kedisiplinan, ya mesti ada serangan nilai-
nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola pikir, mindset. Titik itulah yang
kita serang," ujar Jokowi.
Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana yang dia maksudkan itu,
kata Jokowi, adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata,
serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.
"Kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi
keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita," tegas Jokowi. Dia
berkeyakinan, dengan komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran
seluruh warga negara, Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik.
Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi.dan.Arti.Revolusi.Mental
_____________
Penutup
_____________
Demikian infonya para kawan sekalian...!
Dan jika mau disimpul, maka ini yang dapat penulis sampaikan :
1. Revolusi secara umum di Dunia membuktikan bahwa dunia menjadi
berobah, seperti yang ada sekarang ini. Jika Revolusi tidak terjadi
di dunia, maka dapat dipastikan keadaan sekarang ini tidak akan
terlihat seperti yang ada sekarang ini.
2. Revolusi yang paling terkenal di Indonesia adalah Revolusi G30 S PKI.
Suatu Revolusi yang secara umum dapat ditafsir, sebagai sesuatu hal
yang harus di hindari karena ada kekerasan dan kekejaman di dalam
revolusi ini.
3. Revolusi ala Pak Jokowi bukan-lah Revolusi seperti Revolusi-nya
G0 30S PKI, tapi revolusi pada mental bangsa Indonesia yang dapat
disingkat secara sederhana, membuat yang kurang baik menjadi lebih
baik, yang kurang cepat menjadi lebih cepat, dll dalam banyak sendi
kehidupan khusunya pada sendi budaya.
Dan ini mungkin yang dimaksud oleh pak Karno, yang mengatakan :
4. Dengan Revolusi mental tersebut diharpakan tujuan berbangsa dan
bernegara ini yaitu masyarakat adil dan makmur menjadi lebih
cepat tercapai.
"Hidup Revolusi Mental Indonesia"
...dan...
Selamat malam...!
_________________________________________________________________________
Cat :
http://amzn.to/1VW0ktU
(Menyimak info sekitar Revolusi dalam hubungannya dengan sesuatu
yang harus dihindari atau didekati, Revolusi secara Umum dan
Revolusi Mental ala Pak Presiden RI).
_______________________________________________________________
____________________
Kata Pengantar
____________________
Alkisah...!
Lahirlah penulis tepat di Hari Pendidikan Nasinal 2 Mei 1967 yang
dengan sendirinya dalam keadaan suci, bersih, lembut dan lemah.
Secara pemikiran...!
Salah satu yang bersih dan suci itu adalah "Otak" penulis belum ada
isinya sama sekali, untuk kemudian sampai pada masa usia sekolah.
Sekolah SD-pun dimasuki, di salah satu SD nun jauh disana, jauh
dari Ibukota Sumatra Utara dan lebih jauh lagi dari Ibukota Negara
Republik Indonesia, yaitu di Kec. Sipirok, Tapanuli Selatan - Sumut.
Berlalu sudah sekolah SD itu, untuk kemudian masuk SMP dan lanjut
ke SMA. Usia sekolah SMA ini-pun berlalu di tahun 1987 untuk ke-
mudian merantau ke Tanah Jawa di tahun yang sama.
Para kawan diman-pun berada...!
Dimasa pendidikan SD, SMP dan SMA penulis itu, jelas adalah suatu
masa yang secara umum kita sebut "Masa Orde baru" dengan pimpinan
utamanya Alm. Soeharto sebagi Presiden RI.
Dibawah kepemimpinan beliau ini dengan sendirinya pendidkan-pun
lewat berbagai macam nama mata pelajaran dibawah kendalinya. Dan
salah satu mata pelajaran itu adalah Sejarah Indonesia yang
merupakan bagian dari yang dinamakan Ilmu Pengetahuan sosial.
Maka penulis belajar Sejarah Indonesia tersebut dengan salah
satu topik yaitu "Revolusi". Yah Revolusi...! Dan selalu
berhubungan dengan yang namnya G30S PKI.
Karena dalam setiap mata pelajaran Sejarah atau IPS selalu ada
yang namanya Revolusi dan selalu pula berhubungan dengan G30S PKI,
maka penulis-pun mengartikan Revolusi pada masa usia sekolah ini
adalah :
- Kekerasan
- Penembakan
- Penikaman
- Penyeretan
- Penculikan
- Penyanderaan
- Penyayatan
- penyincangan
- Penyusupan
...dan...
- Penguburan hidup - hidup
Pengartian-pengertian ini (=Revolusi) menjadi semakin kuat dipikiran
penulis, ketika :
- Penulis mendengar bahwa di tanah batak juga para Revolusioner
(anggota G30S PKI) ini melakukan penyiksaan dan tak jarang para
orang tua bemeberitahu bahwa dibeberapa tempat yang curam di
Tanah Batak adalah tempat orang-orang batak yang dibantai
sama Revolusioner G30S PKI tersebut. Dan tempat-tempat inisampai
sekarang tidak ada seorang-pun orang batak yang berani mendekatinya
karena kesan cerita dan keankeran yang digambarkannya.
- Penulis juga mendengar, bahwa orang-orang dekat yang menjadi kerabat
dari anggota G30S PKI ini mengalami kesulitan jika berurusan dengan
Pemerintah. Bahkan beberapa orang sama sekali tak bisa punya KTP
karena ada ponis lisan dari para penyelenggara negara masa itu
yang mengatakan seseorang adalah anggota Partai Komunis INdonesia.
- Juga menjadi semakin kuat bahwa Revolusi itu bukan sesuatu yang
baik, ketika penulis tahu bahwa tidak seorang-pun sepengetahuan
penulis orang batak ada yang namnya si Revolusi, apakah namnya si
Revolusi Siregar, Revolusi Simanjuntak atau Revolusi Situmorang.
Padahal...!
Apapun yang hebat di negara ini, tak terkecuali di dunia ini, jika
hal tersebut dilai orang batak baik, maka hal tersebut dapat menjadi
nama dari seorang anak di Tanah Batak.
Singkat kata...!
"Revolusi adalah hal yang mengerikan dan tidak perlu terjadi" itulah
konsep yang ada dipikiran penulis sampai penulis memasuki masa kuliah
di Perguruan Tinggi.
Para kawan sekalian...!
Dimasa kuliah ini penulis belajar macam cabang Ilmu yang merupakan
Naungan dari Ilmu Komunikasi antara lain, Ilmu Komunikasi itu sendiri
dalam hubungannya dengan Surat Kabar, Radio dan Media Televisi.
Penulis juga beljar tentang yang namanya Propaganda, Retorika, Perang
Urat Syaraf, Agitasi dan Indoktranasi, hinga penulis sadar bahwa,
"Peristiwa apapun yang ada dimuka bumi ini selagi bukannya dilihat
oleh mata kepala kita sendiri" buka-lah suatu hal yang "Harus benar-
benar dipercaya".
Bahkan...!
Peristiwa bukan saja dapat dimanipulasi, peristiwa juga dapat
diciptakan yang dalam bahasa penulis disebut "Spcial Event".
Dalam hubungannya dengan istilah "Revolusi", maka pengertian penulis-pun
setelah belajar komunikasi ini menjadi lebih luas dalam arti :
- Revolusi memang keras tapi tidak selalu saling membunuh
- G30 S PKI sebagai gambaran kejadian Revolusi, belum tentu seperti
apa yang ditulis di buku-buku sejarah kejadiannya, belum tentu
seperti yang ada di Film-Film tahun 70-80-an adanya. Semua itu
mungkin saja di Manipulasi, dikarang-karang sebagian kejadiannya
hingga menimbulkan efek pada orang yang melihatnya sebagai mana
direncanakan oleh pembuat film atau oleh penguasa.
Singkat kata...!
Pengertian Revolusi dimasa Kuliah ini tidaklagi se-Seram, se-kejam,
se-sadis pada saat penulis diusia seolah SMA.
Para kawan di mana-pun berada...!
Waktu-pun berlalu, Era Orde baru telah lewat untuk kemudian masuk
mada Era Reformasi dibawah kepemimpinan Presiden RI masa kini yaitu
Jokowi.
Beliau mencanangkan agar "Revolusi Mental" dilaksanakan juga di
era Reformasi ini.
Bagaimana pendapat Cle'an...!
Apakah Revolusi mental sebagaimana dimaksudkan Presiden RI saat ini
akan dapat berhasil...?
Entahlah kawan...!
Jika penulis yang harus menjawab, maka penulis ingin berkata :
"
"Penulis merasakan, Presiden RI Pak Joko Widodo, bukan saja "lagi"
merevolusi mental saya, tapi telah mencuci otak saya. Beliau
mengingkan sesuatu yang se-harus-nya di hindari (Revolusi) menjadi
sesuatu yang harus di dekati dan dilaksanakan (Revolusi juga).
Terhadap anjuran Pak Presiden Republik Indonesia ini, "Penulis
sebagai masyarakat biasa, tidak keberatan dengan Revolusi Mental
ala Pak Presiden ini atau "Cuci Otak" ala penulis ini".
Tapi...!
Mohon mamaf pada Pak Presiden RI termasuk wakilnya atau siapa saja
masyarakat Nusantara ini yang mendukung "Revolusi Mental" ala Pak
Joko Widodo :
Revolusi Mental atau Revolusi apa-pun namanya di Nusantara ini,
selagi ada kata "Revolusi-nya" akan sangat susah dilaksanakan,
khsusnya bagi penulis dan masyarakat Indonesia lainnya yang
mengalami masa pendidkan formal di masa Orde baru.
"32 Tahun sudah masyarakat Indonesia mengartikan Revolusi sebagai
sesuatu yang harus di hindari, bagaimana mungkin pak Jakowi yang
masih dalam 1 periode ini dapat berhasil menerapkan Revolusi
sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Tidak-kah cukup logis
jika perlu waktu 32 tahun juga untuk merobah pengertian ini".
Para kawan dimana-pun juga...!
- Jika dilihat atau ditinjau secara Intelektual, apalagi dengan
intelektualnya masa sekarang ini, masa dimana calon pimimpin
negara RI saat ini sedang jadi Mahasiswa/i, penulis mendukung
"Revolusi Mental" ala pak Presiden RI ini.
Tapi...!
- Jika Revolusi Mental ini ditujukan pada siapa saja yang mencicipi
pendidkan formal masa Orde baru yang mungkin saat berada pada
usia 45 - 55 Tahun, istilah "Revolusi Mental" harus diganti
dengan istilah lainnya yang lebih lembut.
Dan istilah pilihan penulis adalah :
- Perbaikan Mental
- Service mental
- Mentalitas baja
...atau...
- Berpikir dan Berjiwa Besar saja
Demikian opini penulis pada istilah "Revolusi" dan "Cuci Otak" di kata
pengantar postingan ini. Semoga memberi manfaat pada pihak-pihak yang
berkepentingan.
...dan...
Berikut kutipan info sekilas tentang ;
1. Revolusi secara Umum
2. Revolusi Ala Partai Komunis Indonesia
3. Revolusi ala Presiden RI, Joko Widodo
....dan...
Selamat menyimak...!
__________________________________________________________________
1. Sekilas info tentang Revolusi secara Umum
___________________________________________________________________
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan
masyarakat.
Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau
tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa
kekerasan atau melalui kekerasan.
Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi
pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris
yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena
mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat—seperti
sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan—
yang telah berlangsung selama ratusan tahun.
Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan
membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali
baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika,
romantika, menjebol dan membangun.
Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha
menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh
beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen
perjuangan beserta sarananya.
Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan
berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa
dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-
kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran
kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya.
Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta
kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini
menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan
pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat.
Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan
dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan
revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia,
dan banyak negara lainnya.
Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti
fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta
menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya
untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi
presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk
rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan
tanah di banyak daerah di negeri itu.
Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun
yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Misalnya Revolusi Industri
yang mengubah wajah dunia menjadi modern. Dalam definisi yang lebih
sempit, revolusi umumnya dipahami sebagai perubahan politik.
Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula
pada Revolusi Perancis, kemudian Revolusi Amerika. Namun, Revolusi
Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan
kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang
bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga dengan
revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia.
Maka konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi
sosial dan revolusi nasional.
Pada abad 20, terjadi sebuah perubahan bersifat revolusi sosial yang
kemudian dikenal dengan Revolusi Rusia. Banyak pihak yang membedakan
karakter Revolusi Rusia ini dengan Revolusi Perancis, karena karakter
kerakyatannya. Sementara Revolusi Perancis kerap disebut sebagai
revolusi borjuis,
sedangkan Revolusi Rusia disebut Revolusi Bolshevik, Proletar, atau
Komunis. Model Revolusi Bolshevik kemudian ditiru dalam Perang
Saudara Tiongkok pada 1949
Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai
akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang
mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang
dianut masyarakat.
* Pemimpin
Revolusi umumnya mensyaratkan hadirnya seorang pemimpin kharismatik,
berperannya sebuah partai pelopor (avant garde), adanya sebuah
elemen ideologi.
Dalam Revolusi Rusia, misalnya, Lenin dan tokoh puncak Partai Komunis
mampu menjadi pemimpin yang kharismatik. Revolusi lain yang
mengedepankan seorang tokoh, misalnya Fidel Castro di Kuba,
Che Guevara di Amerika Selatan, Mao Tse-Tung di Republik Rakyat
Tiongkok, Ho Chi Minh di Vietnam, Ayatullah Khomeini di Iran,
Corazon Aquino di Filipina ketika Revolusi EDSA, dll.
Sumber :
Wiki Ind
_________
__________________________________________________
4. Gambaran Praktek Revolusi secara Umum
__________________________________________________
MENGARTIKAN REVOLUSI MENTAL
Perkenankan saya terlebih dulu menegaskan bahwa kehadiran saya di sini
adalah sebagai seorang undangan yang diminta untuk mengartikan istilah
“Revolusi Mental” yang dikemukakan oleh Joko Widodo (Jokowi) dan Tim.
Penegasan ini saya kemukakan karena cara kita memahami sekarang ini
diwarnai dengan kecenderungan untuk mengambil apa yang kita lihat
dan dengar hanya menurut apa yang kita suka, atau menafsirkannya
sesuai kepentingan kita. Cara pikir ini cenderung mengabaikan
substansi. Substansi inilah yang akan saya bicarakan.
* Memahami Istilah
Untuk itu, pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa istilah ‘Revolusi
Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah
politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia
Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme
maupun (Zen) Buddhisme.
Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut
cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara
berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini,
cara berperilaku dan bertindak.
Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang
tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan cirri fisik benda-benda
dunia. Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan
dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi
dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi.
Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan
perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan
untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak
juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan
juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas
industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb.
Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi,
melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka
menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian,
bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda,
ritual keagamaan, seni, dsb.
Kekeliruan memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya
ke kesadaran moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal
perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti
soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb. Padahal kesadaran moral,
atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat,
hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan,
struktur sosial dan pelaku. Kekeliruan itu terungkap dalam omongan
kita sehari-hari: “Wah, itu masalah mental pelakunya!”, atau: “Tidak,
itu masalah struktur!” Akibatnya, interaksi keduanya terasa putus.
Pokok ini tidak perlu diurai panjang lebar di sini. Cukuplah disebut
bahwa kesesatan itu melahirkan pandangan seakan-akan ‘kebudayaan’
berurusan hanya dengan ranah subyektif pelaku, sedangkan ‘struktur
sosial’ berurusan dengan ranah obyektif tindakan. Dan keduanya tidak
berhubungan. Itu pandangan primitif dan sesat.
Bagaimana kesesatan itu dikoreksi? Jawabnya: hubungan integral antara
“mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami
‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola caraberpikir, cara-merasa, dan
cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari
(practices, habits).
Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisi
material/ fisik/ sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental.
Keduanya saling terkait secara integral.
Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap
hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir,
merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem
dan praktik habitual ekonomi serta politik.
Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak
ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada
pada aras analitik. Pada yang politik dan ekonomi selalu terlibat
budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga punya
lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan
tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga punya lapis
fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang
melandasinya. Namun dalam praktek sehari-hari ketiganya tidak terpisah
secara tajam.
Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-
kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme
sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang
memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial.
Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena
perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek
luar negeri.
Implikasi dari kekeliruan memahami gejala yang disebut pada butir
5 dan 6 di atas sangat besar. Pernyataan-pernyataan publik seperti
pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal sehingga diperlukan jalan
kebudayaan adalah contoh kekeliruan memahami hubungan integral struktur,
kebudayaan, dan pelaku.
Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan
mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai
perkara moral bangsa – “kalau moral berubah, selesailah masalah!”.
Sungguh keliru anggapan itu.
* Operasionalisasi Revolusi Mental
Dengan paparan di atas, bagaimanakah kita mengartikan ‘Revolusi
Mental’? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan.
Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah
bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan
hidup berbangsa.
Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan
tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya.
Tetapi karena ‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa
dan bertindak, ‘revolusi mental’ tidak bisa tidak mengarah ke
transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa
dan cara-bertindak kita itu.
Kebudayaan hanya dapat “di-strategi-kan”(3) jika kita sungguh memberi
perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi
‘Revolusi Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti
dan pengertian kebudayaan ke tataran praktek hidup sehari-hari.
Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan
sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan,
atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola
cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam
tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari.
Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana
melahirkan Indonesia baru.
Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos,
yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas (lihat butir 4 untuk pengertian
ini), cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya
menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik,
sains-teknologi, seni, agama, dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas
bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-
laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai
revolusi mental. Di lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar
seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski demikian, revolusi mental
dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah.
Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk
etos warga negara (citizenship). Maka, sejak dini anak-anak sekolah
perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini
‘menubuh’. Mengapa? Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah
kewarganegaraan. Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas
prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya tertentu.
Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan kepada
siswa mulai dari usia dini. Dalam menjalankan Revolusi Mental,
pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang tidak dapat
diganti misalnya dengan pelajaran agama. Sebaliknya, pelajaran agama
membantu pendidikan kewarganegaraan.
Untuk keperluan pendidikan kewarganegaraan kita dapat menyusun pertanyaan:
(a) Keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh
siswa agar menjadi warga negara yang baik?
(b) Sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue)
apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia
yang dicita-citakan bersama?
Sebagai contoh, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan
adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah
kejujuran; jika sasarannya adalah kebinekaan, maka yang dididik adalah
pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnisitas, dll;
jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab; dst.
Tampaknya memang tidak ada yang baru dari hal-hal yang disebut di atas.
Dengan memusatkan perhatian pada perubahan kebiasaan sehari-hari yang
punyai dampak kebaikan publik, kebaruan terletak pada cara mendidik.
Proses pendidikan mesti bermuara ke corak kebiasaan bertindak. Artinya,
pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif
(discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge).
Pengetahuan diskursif tentu sangat dibutuhkan dalam mengawal secara
kritis kehidupan berbangsa-bernegara, namun biarlah sementara ini
itu jadi urusan para intelektual/cendekia. Bagi agenda ‘Revolusi
Mental’, yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan praktis –
transformasi pada tataran kebiasaan bertindak sehari-hari para warga
negara dalam lingkup dan skala seluas bangsa.
Keutamaan (virtue) adalah pengetahuan praktis. Ini berarti bahwa dalam
proses pendidikan, Revolusi Mental adalah membuat bagaimana kejujuran
dan keutamaan lain-lainnya itu menjadi suatu disposisi batin ketika
siswa berhadapan dengan situasi konkret. Ketika berhadapan dengan
kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi melihat kejujuran
sebagai hal terpisah dari dirinya.
Dia tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena
kejujuran sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi habit. Kejujuran
mengalir dari dirinya. Ibarat seseorang yang mahir berenang, dia
tidak lagi perlu memikirkan ritme gerakan tangan dan kakinya.
Gerakan itu menjadi bagian dirinya ketika dia berada di air.
Contoh lain bisa kita ambil dari Skandinavia dimana kesetaraan
(equality) diajarkan sejak anakanak. Itulah mengapa sistem welfare
state menjadi mungkin di Negara-negara Skandinavia. Kendati dikenai
pajak progresif, warga memahami arti dan keutamaannya karena kesetaraan
sudah menjadi sikap dasar (dan tentu saja juga karena penyelenggara
negara yang akuntabel dan tidak korup). Di Jepang, sikap stoic
(Jepang: gaman) sudah diajarkan sejak usia 3 – 6 tahun sampai
menjadi kebiasaan dan sikap hidup sehari-hari. Kita tentu masih
ingat reaksi tenang, rasional, terkendali dan hening masyarakat
Jepang yang banyak dibahas media internasional ketika terjadi
tragedi nuklir 2011.
* Kantung-kantung Perubahan
Pendidikan di sekolah hanyalah bagian saja dari proses pendidikan
warga negara. Padahal kalau sungguh mau dilaksanakan, Revolusi Mental
harus menjadi gerakan kolosal berskala nasional. Gerakan itu mencakup
masyarakat seluas bangsa agar perilaku sosial setiap individu menjadikan
keutamaan warga negara sebagai kebiasaan.
Untuk itu, kita tidak perlu menunggu adanya kebijakan. Silakan memulai
dengan membangun kantung-kantung perubahan dan menyusun siasat yang
berfokus pada transformasi cara hidup sehari-hari kelompok-kelompok
warga negara. Siasat itu melibatkan gerakan rutin dalam bentuk langkah-
langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak
terhadap terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara.
Jadi, ‘Revolusi Mental’ bukanlah urusan membikin panggung di mana para
selebriti mencari sorak dan puja-puji. Transformasi sejati terjadi dalam
kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin.
Hanya melalui kesetiaan inilah ‘Revolusi Mental’ akan terjadi. ‘Revolusi
Mental’ juga tidak akan terjadi hanya dengan khotbah tentang kesadaran
moral, serta tidak terjadi dengan pelbagai seminar dan pertunjukan.
Semua itu cenderung jadi panggung slogan. Agar ‘Revolusi Mental’ menjadi
siasat integral tranformasi kebudayaan, yang dibutuhkan adalah menaruh
arti dan praksis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi menyangkut
praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar
bangsa.
Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat
secara ragawi dalam memulai dan merawat revolusi mental.
Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka
inilah arti civil society yang sebenarnya: civil society adalah gerakan
para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara
berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia.
Itulah ‘Revolusi Mental’.
Catatan kaki :
1) Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
2) Apa yang saya sampaikan di sini merupakan endapan pemikiran yang
sumber-sumbernya belum saya cantumkan sehingga tulisan ini belum
memenuhi kelayakan publikasi.
3) Kebudayaan tentu bukan bidang yang dengan kaku dapat dikemas ke
dalam kotak strategi. Oleh karena itu, pengertian “strategi” di sini
lebih berfungsi sebagai semacam peta, jalan-jalan yang akan kita tempuh/
hindari untuk menjelmakan visi kebaikan hidup bersama.
Sumber :
http://www.jokowi.id/opini/mengartikan-revolusi-mental/
__________________________________________________________________
2. Sekilas info tentang Revolusi ala Partai Komunis Indonesia
___________________________________________________________________
Rahasia dibalik kata “REVOLUSI MENTAL” di Indonesia
Banyak rakyat Indonesia terpesona mendengar kata revolusi mental
yang dilontarkan salah satu capres dan cawapres 2014 di Indonesia.
Padahal tanpa disadari, rakyat tidak tahu revolusi mental ke arah
manakah yang dimaksud capres dan cawapres tersebut.
Mereka (capres dan cawapres) tak pernah memaparkan tujuan dan metode
atau cara mewujudkan revolusi mental.
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.
Sedangkan mental adalah batin dan watak manusia. Jadi, singkatnya
revolusi mental adalah perubahan sosial dan kebudayaan pada watak manusia.
Di Indonesia istilah “Revousi Mental” pertama kali dikenalkan oleh
seorang pemuda asal Belitung yang bernama Ahmad Aidit anak dari
Abdullah Aidit dan kemudian mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara
Aidit (DN Aidit).
Dan ketika ayahnya bertanya kenapa namamu diganti ? Aidit menjawab
saatnya “Revolusi Mental”.
D.N Aidit yang kita kenal sebagai ketua PKI (Partai Komunis Indonesia)
mengganti hal-hal yang akan menghambat pergerakan, termasuk nama
Ahmad yang berbau agama harus dibuang.
Setelah D.N Aidit terpilih menjadi ketua PKI, dia sukses menerapkan
istilah “Revolusi Mental” kepada para kader PKI, dan ormas-ormas
PKI lainnya seperti PEMUDA RAKYAT, BARISAN TANI INDONESIA, GERWANI,
SOBSI DAN LEKRA yang dianggap simbol perlawanan kepada kaum Feodalis.
Revolusi mental ditujukan untuk perubahan sikap, perangai, dan cara
pandang terhadap sesuatu yang dianggap kuno/tradisional. Dan perubahan
itu dulu adalah perubahan kearah pandangan sosialis dan komunis
dengan menentang kapitalis sebagai wujud pandangan lama.
Hal ini diperkuat dengan adanaya pernyataan timses salah satu
capres dan cawapres yang akan menghapus kolom agama pada KTP.
http://www.nahimunkar.com/revolusi-mental-dipopulerkan-ba…/…
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi
http://kamusbahasaindonesia.org/mental/mirip
http://www.citizenjurnalism.com/…/asal-usul-kata-revolusi…/…
“Revolusi Mental” Dipopulerkan Bapak Sosialis-Komunis Karl Marx,
Diteruskan Ketua PKI DN Aidit,...
Istilah “Revolusi Mental” pertama kali dipopulerkan oleh Bapak
Sosialis-Komunis Dunia yg bernama Karl Marx, kemudian diadopsi DN
Aidit Ketua PKI, dan kini…
Sumber :
__________________________________________________________________
3. Sekilas info tentang Revolusi ala Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia (Revolusi Mental)
___________________________________________________________________
JAKARTA, KOMPAS.com — "Revolusi Mental" merupakan jargon yang diusung
presiden terpilih Joko Widodo sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014.
Namun, tak banyak penjelasan konkret muncul atas frasa itu.
Pertanyaan tentang revolusi mental pun mencuat dalam diskusi dengan tajuk
jargon tersebut di Balai Kartini, Jumat (17/10/2014). Salah satu jawaban
datang dari politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
Panda Nababan.
Jawaban itu diawali dengan pengenalan organisasi Serikat Rakyat Miskin
Kota (SRMK). Panda mempersilakan anggota organisasi itu berdiri. Lalu,
dia berkata, "Mereka ini datang dari jauh. Dulu, Pak Jokowi ini
seperti mereka."
Berikutnya, Panda mengatakan, "Tapi Pak Jokowi tidak mau menyerah. Dia
bekerja, berusaha, hingga sampai seperti saat ini." Menurut Panda,
perjalanan Jokowi dari yang semula seperti profil para anggota SMRK
tersebut hingga menjadi presiden terpilih merupakan cuplikan dari
konsep revolusi mental itu sendiri.
Jawaban Jokowi
Diskusi pada Jumat petang tersebut dipandu oleh presenter Najwa Shihab.
Jokowi juga hadir di sana. Jawaban atas pertanyaan tentang revolusi
mental pun datang dari Jokowi.
Jokowi memulai jawabannya dengan menyebutkan tentang sebuah keharusan.
Menurut dia, revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal
karakter orisinal bangsa.
Indonesia, sebut Jokowi, merupakan bangsa yang berkarakter santun,
berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dia mengatakan, karakter
tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera.
"Tapi saya juga ndak tahu kenapa, sedikit demi sedikit (karakter) itu
berubah dan kita ndak sadar. Yang lebih parah lagi ndak ada yang nge-rem.
Yang seperti itulah yang merusak mental," ujar Jokowi.
Perubahan karakter bangsa tersebut, kata Jokowi, merupakan akar dari
munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya
birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-
tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa.
"Oleh sebab itu, saya menawarkan ada sebuah revolusi mental," ujar Jokowi.
Pendidikan dan penegakan hukum
Terminologi "revolusi", kata Jokowi, tidak selalu berarti perang melawan
penjajah. Menurut dia, kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa
karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya.
"Kalau ada kerusakan di nilai kedisiplinan, ya mesti ada serangan nilai-
nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola pikir, mindset. Titik itulah yang
kita serang," ujar Jokowi.
Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana yang dia maksudkan itu,
kata Jokowi, adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata,
serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.
"Kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi
keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita," tegas Jokowi. Dia
berkeyakinan, dengan komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran
seluruh warga negara, Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik.
Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi.dan.Arti.Revolusi.Mental
_____________
Penutup
_____________
Demikian infonya para kawan sekalian...!
Dan jika mau disimpul, maka ini yang dapat penulis sampaikan :
1. Revolusi secara umum di Dunia membuktikan bahwa dunia menjadi
berobah, seperti yang ada sekarang ini. Jika Revolusi tidak terjadi
di dunia, maka dapat dipastikan keadaan sekarang ini tidak akan
terlihat seperti yang ada sekarang ini.
2. Revolusi yang paling terkenal di Indonesia adalah Revolusi G30 S PKI.
Suatu Revolusi yang secara umum dapat ditafsir, sebagai sesuatu hal
yang harus di hindari karena ada kekerasan dan kekejaman di dalam
revolusi ini.
3. Revolusi ala Pak Jokowi bukan-lah Revolusi seperti Revolusi-nya
G0 30S PKI, tapi revolusi pada mental bangsa Indonesia yang dapat
disingkat secara sederhana, membuat yang kurang baik menjadi lebih
baik, yang kurang cepat menjadi lebih cepat, dll dalam banyak sendi
kehidupan khusunya pada sendi budaya.
Dan ini mungkin yang dimaksud oleh pak Karno, yang mengatakan :
4. Dengan Revolusi mental tersebut diharpakan tujuan berbangsa dan
bernegara ini yaitu masyarakat adil dan makmur menjadi lebih
cepat tercapai.
"Hidup Revolusi Mental Indonesia"
...dan...
Selamat malam...!
_________________________________________________________________________
Cat :
http://amzn.to/1VW0ktU
No comments:
Post a Comment