Thursday, October 31, 2013

Dr. Uli Kuzok 1 : Peneliti aksara Batak asal Jerman dalam macam cerita



#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak cerita otobiografi Dr. Uli Kuzok serta perannya dalam
pengembangan Sastra Sastra dan Aksara Batak)
____________________________________________________________






















___________

Pengantar
___________

Para kawan...!

Malam ini saya masih tertarik untuk mengembangkan tulisan saya
sebelumnnya pada postingan ini dengan alamat :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2013/10/belajar-bahasa-batak-angkola-bahasa.html
http://angkolafacebook.blogspot.com/2013/10/belajar-bahasa-batak-angkola-2-10.html

Pada postingan dengan judul "Belajar Bahasa Batak Angkola 2 :
10 contoh penyusunan aksara Batak Angkola", penulis menemukan
satu nama yang punya peran besar dalam pengembangan Sastra
khususnya Aksara Batak yaitu Dr. Uli Kuzok.

"Siapa sebenarnya Dr. Uli Kuzok ini serta bagaimana perannya
dalam pengembangan Sastra Batak Angkola khususnya di bidang
Aksara Batak" adalah hal yang mau penulis sampaikan lewat
postingan ini.

Selamat menyimak...!
_________________________________________

Cerita Sekilas otobiografi Dr. Uli Kozok
_________________________________________

*Hal Lahir dan sekolah

Dr. Uli Kozok lahir 26 Mei 1959 di Hildesheim dan bersekolah
di kota Norden,  negara bagian Niedersachsen, di sebelah barat
laut Jerman.

*Hal Pernikahan

Beliau Dr. Uli Kuzok menikah dengan seorang wanita suku Melayu
dan dikaruniai dua anak.

*Profesi

Dr. Uli Kozok (Hildesheim, Niedersachsen, Jerman, 26 Mei 1959)
adalah seorang peneliti bahasa, budaya dan sastra Batak.

Sumber :
Wikipedia
____________________________________________

Cerita Dr. Uli Kozok sampai ke tanah Batak
____________________________________________

1. Setelah menammatkan sekolahnya di Jerman, Uli Kuzok berencana
untuk mengunjungi saudaranya di Negara Australia.

2. Sebelum berangkat ke Asrtralia, beliau terlebih dahulu melihat
peta. Dan di peta ini beliau mengetahui ada namanya Negara Indonesia.
Mengetahui hal ini, maka beliapun berencana untuk menyinggahinya
terlebih dahulu.

3. Dan akhirnya sampailah beliau di Indonesia tepatnya kota Medan
sekitar tahun 1981. Belia datang bersama kawanya dan kawannya ini
setelah sampai di Medan jatuh sakit.

4. Menunggu kesembuhan kawannya, beliapun menyempatkan diri untuk
mempelajari budaya-budaya khsusnya di kota Medan. Setelah kawannya
sembuh maka beliapun melanjutkan perjalanannya ke Australia untuk
kemudian kembali kuliah di Universitas Hamburg dengan jurusan
arkeologi.

5. Suatu saat beliau mengetahui bahwa di Kota Medan akan diadakan
simposium kebudayaan dan bahasa yang dihadiri pakar dari Jerman
dan negara lain. Dan setelah mengikutinya beliapun tertarik
untuk mengetahui macam budaya di Sumatra Utara.

6. Awalnya beliau tertarik untuk mengetahui budaya Karo, setelah
itu ingin pula mengetahui budaya Batak Toba, Pakpak, Angkola dan
Mandailing.

7. Untuk mendukung pengetahuannya ini maka beliapun memutuska
untuk pindah jurusan di Universitasnya dengan mengambil jurusan
Budaya dan Bahasa.
_____________________________________________________

Cerita Dr. Uli Kuzok saat berkunjung ke USU - Medan
_____________________________________________________

1. Pada saat berada di Sumatra Utara untuk memperdalam Ilmunya
mengenai Budaya Batak, beliaupun berkunjung ke USU dan mungkin
saja beliau juga kuliah disana.

2. Pada saat itu beliau menilai kon disi perkuliahan USU sangat
memperihatinkan “Praktis saya enggak dapat apa-apa selama belajar.
Banyak mahasiswa dan dosen yang kurang paham naskah Batak,”
katanya.

3. Kelangkaan sumber naskah Batak di Medan dan kota lain di Sumut
yang menyebabkan kondisi tersebut. “Koleksi naskah Batak di Jerman
hampir 600, di Belanda jumlahnya ribuan, sedangkan di Indonesia mungkin
hanya 200-an,” kata Uli.

___________________________________________________________

Cerita Dr. Uli Kuzok saat meneliti bilangbilang dari Batak Karo
dan andung-andung dari Mandailing
___________________________________________________________

Bahasa dan budaya Karo, yang menjadi awal ketertarikan Uli, dia teruskan
dengan meneliti bilangbilang, puisi percintaan masyarakat Karo yang
ditulis pada bambu. Ada sekitar 125 naskah dari sekitar 20 koleksi
bilangbilang di seluruh dunia.

Ia terjemahkan puisi itu dalam bahasa Jerman dan dianalisis dalam
kaitan fungsi aksara pada masyarakat Karo.

“Bilangbilang itu ditulis bukan untuk dibaca karena sangat kecil
hurufnya. Tetapi, hampir semua masyarakat Karo yang mengerti tentang
bilangbilang pasti tahu apa yang tertulis di dalamnya,” ujar Uli.

Disertasi tentang bilangbilang mengantar Uli meraih gelar Master
Artium di Universitas Hamburg tahun 1989. Pada tahun itu pula ia
menikahi teman kuliah semasa di USU, Febrina Marisa.

Uli melanjutkan studi doktoral dengan tema sama, puisi percintaan
pada masyarakat Batak. Kali ini tak hanya bilangbilang dari Karo,
tetapi ditambah andung dari Mandailing. Masa saat ia mengambil studi
doktoral ini, menurut Uli, adalah masa paling sengsara dalam hidupnya.

“Saya tidak punya pekerjaan, sementara harus menghidupi istri dan
membiayai kuliah doktoral,” katanya.

Pada saat itulah ibu angkatnya, Hildegard Peters, memperkenalkan Uli
dengan Pater Matthaus, pastor yang juga kolektor lukisan. Ibu
angkatnya adalah pelukis, yang karyanya dibeli Pater Matthaus.

“Salah satu karya ibu angkat itu lukisan saya saat masih kecil.
Sebelum bertemu Pater Matthaus, saya dapat surat dari beliau.
Dalam surat itu disertakan uang 500 DM.”

Uang itu digunakan Uli menyambung hidup selama menekuni naskah
Batak di perpustakaan KITLV Universitas Leiden, Belanda. Ia kadang
terpaksa menumpang makan kepada mahasiswa asal Indonesia, Ema Nababan.
Gelar doktor diraihnya tahun 1993.

Setahun kemudian surat lamaran Uli untuk mengajar Bahasa Indonesia
di Universitas Auckland, Selandia Baru, diterima. Itu pun kebetulan
karena dosen utamanya, seorang Belanda, langsung menerima dia
sebagai asisten.

Sumber :
http://www.silaban.net/2008/01/22/keterkaitan-uli-kozok-dengan-sastra-batak/
_____________________________________________________________

Cerita Dr. Uli Kuzok dengan proses penciptaan Font Batak di komputer
_____________________________________________________________

Tahun 1998 Uli bertemu Michael Everson, ahli linguistik sekaligus
desainer jenis huruf (font) untuk komputer dan media digital.
Michael meminta Uli membuat software agar aksara Batak bisa ditulis
dalam sebuah komputer. Ia lalu meneliti berbagai naskah dan pustaka
Batak.

Dari empat jenis aksara Batak, yakni Mandailing, Toba, Pakpak, dan
Karo, ia lalu membuat varian yang paling umum dari keempatnya.
Dengan software itu, orang yang tak mengerti aksara Batak bisa
menulis menggunakan huruf Batak di komputer.

Penelusuran yang ia lakukan dari sejarah dan penyebaran aksara Batak
mempertemukan Uli dengan naskah tua Melayu yang ditulis dengan
huruf dari rumpun yang sama, surat (huruf) Pascapalawa. Surat
Pascapalawa atau dikenal sebagai aksara Kawi ada hampir di seluruh
Sumatera, mulai dari Lampung, Rejang-Lebong, Kerinci, Minangkabau,
hingga Mandailing.

Sumber :
http://www.silaban.net/2008/01/22/keterkaitan-uli-kozok-dengan-sastra-batak/
___________________________________________

Cerita Dr. Uli Kuzok dan Sisingamangaraja XII
___________________________________________

Prof Uli Kozok Mengungkap Rahasia antara Nommensen dan
Sisingamangaraja XII  Prof. Dr.Uli Kozok, profesor dari
Universitas Hawaii di Manoa, USA, barangkali telah membuat
seratusan mahasiswa dan akademisi merasa terguncang pada hari
Kamis 27 November 2008 di Ruang VIP Gedung Serbaguna Unimed.

Sejarah Batak Toba yang selama ini diwarnai kepahlawanan
Sisingamangaraja XII dan “kesucian” misionaris Nommensen,
ia ungkap dalam perspektif yang sangat berbeda dari versi
sejarah resmi selama ini.

Ia membawa serta naskah surat-surat Sisingamangaraja yang
tersimpan selama 100 tahun di Jerman dan menulis terjemahannya
untuk mengungkap siapa dan apa sebenarnya Sisingamangaraja XII
dan Nommensen.

Dari hasil penelitian Uli Kozok terhadap 3 lembar surat
Sisingamangaraja kepada Nommensen, terungkap bahwa raja yang
mengklaim diri sebagai penguasa Batak dan Sumatera itu, tidak
pernah menulis sendiri surat-suratnya. Surat-surat tersebut
ditulis oleh dua juru tulisnya yang merupakan bekas murid sekolah
guru yang didirikan misionaris di Tanah Batak.

Keduanya adalah orang yang kemungkinan kecewa karena tidak
diluluskan menjadi guru (ini menurut perkiraan Prof. Bungaran
Simanjuntak), lalu menyeberang memihak Sisingamangaraja XII
yang saat itu berseteru dengan Pemerintah Belanda.

“Kemungkinan paling logis, Sisingamangaraja XII tidak bisa
menulis dan membaca dalam aksara Batak. Pada saat itu, aksara
Batak memang hanya beredar di antara datu-datu (orang sakti),
jadi bukan hal yang aneh keluarga bangsawan tak belajar aksara
Batak,” jelasnya.

Dalam surat-suratnya kepada Nommensen, Sisingamangaraja XII
menganggap misionaris utusan Rheinische Missions-Gesselschaft
(RMG) dari Jerman itu adalah bawahan atau kaki tangan Pemerintah
Belanda yang ia anggap tidak sopan karena datang ke Tanah Batak
tanpa melapor dulu padanya.

Surat-surat itu selalu dibubuhi cap yang berbeda antara satu
surat dengan surat yang lain. Bentuknya bulat dengan sisi luar
yang dihiasi gerigi. Setiap cap memiliki jumlah gerigi yang
berbeda, masing-masing 10, 11 dan 12. “Inti dari surat-surat
Sisingamangaraja XII adalah merintis upaya perdamaian dengan
pihak Belanda, di mana Nommensen sebagai perantaranya.

Di dalam surat-surat itu, ia tidak pernah setuju untuk tunduk
pada Belanda karena ia merasa sebagai Raja Batak dan mengklaim
diri sebagai penguasa Sumatera,” kata Uli Kozok.

Islam atau Parmalim Uniknya, cap di surat Sisingamangaraja XII
menggunakan kata-kata “tahun hijrah nabi” yang merujuk pada
istilah Islam, tapi angka tahun yang dibubuhkannya tidak terlalu
jelas. Selain memakai aksara Batak di bagian tengah, cap itu
juga berisi tulisan Arab Melayu. Meski berisi simbol-simbol
Islam yang kental, tapi Uli Kozok tidak lantas menyimpulkan bahwa
Sisingamangaraja XII sebagai pemeluk Islam.

Menurutnya, Parmalim sebagai agama asli orang Batak memang banyak
dipengaruhi oleh Islam dan Kristen. “Parmalim adalah agama yang
berkembang dan sangat sinkretis. Orang Batak Toba sejak lama
mendapat banyak inspirasi dari Barus dan Minangkabau. Kedua tempat
itu berulang-ulang disebut dalam pustaha Batak atau dalam tonggo-tonggo
(doa),” papar Uli Kozok.

Prof Uli Kozok juga mengkritisi buku sejarah “Ahu Sisingamangaraja”
yang disusun Prof. Dr. WB. Sidjabat yang selama ini menjadi pegangan
utama sejarah Batak. “Almarhum Sidjabat adalah penulis sejarah Batak
yang detil, tapi sepertinya beliau meninggalkan fakta-fakta penting
yang berkaitan dengan Nommensen.

Saya tidak tahu apakah itu disengaja atau tidak. Saya pernah berupaya
untuk mewawancarai beliau di Jakarta, tapi rupanya ia sudah meninggal
dunia sebelum kami bertemu. Beliau tidak pernah mengungkapkan bahwa
Nommensen-lah sebenarnya yang meminta militer Belanda untuk menyerang
Sisingamangaraja untuk keleluasaan tugas misionarisnya di Tanah Batak.

Padahal ini informasi penting. Untuk tindakannya tersebut, suratkabar
Belanda pada saat itu telah menyalahkan sikap Nommensen terhadap
orang Batak. Mereka menyebut Nommensen meninggalkan orang Batak,
yakni umat yang seharusnya dilayaninya.

Dan ini tidak tertulis dalam buku Profesor Sidjabat,” katanya.
Uli Kozok lebih jauh juga mengungkapkan bahwa misionaris di Tanah
Batak telah bekerjasama dengan Belanda untuk menghalang-halangi
orang Batak melakukan kontak dengan luar, sebab mereka khawatir
pengaruh Islam dari pesisir akan masuk ke Tanah Batak.

Sumber :
http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=751&go=Prof-Uli-
Kozok-Mengungkap-Rahasia-antara-Nommensen-dan-Sisingamangaraja-XII-
________

Penutup
________

Demikian cerita yang dapat disajikan malam ini, semoga kedepan dapat
lebih meningspirasi kita semua untuk dapat lebih mencintai budaya,
Sastra, Bahasa atau Aksara Batak itu.

Selamat malam...!

______________________________________________________
Cat :

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork

No comments:

Post a Comment