#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info 4 Tokoh Pers Wanita Indonesia dan mencoba mencari
huungangannya dengan perkembagan pers di Medan Sumatra Utara)
__________________________________________________________________
_____________________
Kata Pengantar
_____________________
Lewat link :
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2015/09/tokoh-pers-parada-harahap-sabam.html
penulis mengurai tentang 4 Tokoh Pers Pria Indonesia yang berasal
dari Medan Sumatra Utara lewat pengetahuan pada otobiografi tokoh
pers tersebut, al : Parada Harahap, Muchtar Lubis, Djaendar Muda
Harahap, A.M. Hoetasoehoet, A.M. Sipahoetar.
Penasaran dengan "Tokoh Pers Wanita Indonesia", maka penulis-pun
mencari tahu jawabannya.
Para kawan dimanapun berada....!
Penulis tidak tahu persis apa alasan atau ketentuannya untuk dpat
disebut sebagai "Tokoh Pers". Namun penulis yakin "Tak pakai alasan
sekalipun menurut UU, seseorang bisa saja mendapat pengakuan dari
masyarakat seseorang itu pantas atau tidak untk disebut "Tokoh
Pers".
Terlepas dari ketentuannya atau pengkreteriannya, inilah 4 Tokoh
Pers Wanita Populer Indonesia. Adapun hubungannya Tokoh Pers Wanita
ini dengan Perkembangan Pers di Medan akan penulis uraikan di
penutup tulisan.
Selamat menyimak...!
_____________________________________________________
Sekilas info 4 Tokoh Pers Wanita indonesia
_____________________________________________________:
1. Ani Idrus (Tokoh Pers Wanita)
* Pemaman Umum
Ani Idrus (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 25 November 1918 –
meninggal di Medan, Sumatera Utara, 9 Januari 1999 pada umur 80 tahun)
adalah seorang wartawati senior yang mendirikan Harian Waspada bersama
suaminya H. Mohamad Said pada tahun 1947.
Ani Idrus dimakamkan di Pemakaman Umum Jalan Thamrin - Medan. Terakhir
ia menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Waspada dan Majalah
Dunia Wanita di Medan.
Selain berkecimpung dalam dunia jurnalistik, ia juga mendirikan dan
memimpin lembaga pendidikan yang bernaung dalam Yayasan Pendidikan
Ani Idrus.
Pada akhir hayatnya, ia juga menjabat Ketua Umum Sekolah Sepak Bola
WASPADA, Medan, Direktur PT. Prakarsa Abadi Press, Medan, dan Ketua
Yayasan Asma Cabang Sumatera Utara.
* Pendidikan
Pendidikannya dimulai di Sekolah dasar di Sawahlunto. Kemudian melanjut
ke sekolah madrasah dan mengaji di surau. Selanjutnya, tahun 1928 ia
pindah ke Medan, melanjut di Sekolah madrasah di Jalan Antara Ujung,
Medan. Setelah itu masuk Methodist English School, Meisjeskop School,
Schakel School, Mulo (Taman Siswa) & SMA sederajat.
Kemudian tahun 1962-1965 menjadi mahasiswa pada fakultas hukum UISU
Medan. Tahun 1975 sebagai mahasiswa fisipol di UISU, serta 19 Juli
1990 menyelesaikan ujian meja hijau dalam rangka memperoleh gelar
doctoranda untuk jurusan ilmu sosial politik UISU.
* Karier
Ket :
Stamps of Indonesia, 059-04.jpg
Ia memulai profesi sebagai wartawan tahun 1930 dengan mulai menulis
di majalah Panji Pustaka Jakarta. Kemudian, tahun 1936 bekerja pada
Sinar Deli Medan sebagai pembantu pada majalah Politik Penyedar.
Selanjutnya, tahun 1938 ia menerbitkan majalah politik Seruan Kita
bersama-sama H. Moh. Said dan 1947 menerbitkan Harian Waspada juga
bersama H. Moh. Said. Dua tahun kemudian, 1949, menerbitkan majalah
'Dunia Wanita'.
Ia menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Umum Nasional
'Waspada', Majalah 'Dunia Wanita' dan edisi Koran Masuk Desa
(KMD, dan Koran Masuk Sekolah) sejak tahun 1969 sampai 1999.
Pada tahun 1988 ia menerima anugrah 'Satya Penegak Pers Pancasila
dari Menteri Penerangan R.I. (H. Harmoko), di Jakarta, dimana hanya
diberikan pada 12 tokoh pers nasional. Selain itu, tahun 1990, ia
juga menerima penghargaan dari Menteri Penerangan R.I. sebagai
wartawan yang masih aktif mengabdikan diri di atas 70 thn di
Ujung Pandang.
Pada tahun 1990 ia menyampaikan makalah pada seminar Peranan Surat
Kabar Sebagai Pers Pembangunan di Daerah yang di selenggarakan oleh
FISIPOL UISU dan diikuti mahasiswa/i dari berbagai perguruan tinggi,
dengan pembanding malah Bapak H. Yoesoef Sou'yb.
Sebagai wartawati senior, ia juga ikut mendirikan dan membina
organisasi PWI. Tahun 1951 turut mendirikan organisasi P.W.I. Medan,
dan menjadi pengurus. Tahun 1953-1963, berturut-turut menjabat
sebagai Ketua PWI Kring Medan.
Tahun 1959 mendirikan 'Yayasan Balai Wartawan' Cabang Medan, dan
dipilih sebagai Ketua, selanjutnya mendirikan 'Yayasan Akademi
Pers Indonesia' (A.P.I.) dan menjabat sebagai Wakil Ketua.
Tahun 1959 ia mendapat penghargaan dari PWI Cabang Sumut/Medan
di Grand Hotel, karena telah berkecimpung dalam dunia pers selama
kurang lebih 25 tahun. Ia mengambil alih kepemimpinan di Harian
Waspada Medan tahun 1969 setelah H. Moh. Said mengundurkan diri.
Pada 1979 ia menerima piagam Pembina Penataran Tingkat Nasional dari
BP7 Jakarta. Kemudian, tahun 1984, bersamaan dengan hari Pers
Nasional menjadi anggota KPB (Kantor Perwakilan Bersama) di
Jakarta dari tujuh Surat kabar terbesar di daerah.
Ia banyak melakukan perjalanan Jurnalistik ke Luar Negeri. Tahun
1953 ia mengunjungi Jepang sebagai wartawan Waspada bersama
rombongan missi dagang 'Fact Finding' Pemerintah R.I. yang
diketuai oleh Dr Sudarsono untuk merundingkan pembayaran Pampasan
Perang. Tahun 1954 mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok.
Tahun berikutnya, 1955 mengunjungi Belanda, Belgia, Perancis,Italia
meliputi perundingan Tunku Abdul Rahman dengan Ching Peng, pimpinan
Komunis Malaya, di Baling Malaysia. Tahun 1956 mengunjungi Amerika
Serikat, Mesir, Turki, Jepang, Hongkong, dan Thailand. Kemudian,
tahun 1961 dan 1962 mengunjungi Inggris dan Jerman Barat serta Paris.
Lalu tahun 1963 mengikuti rombongan Menteri Luar Negeri Subandrio
ke Manila, Filipina dan mengikuti perjalan Presiden R.I. ke Irian
Jaya dalam rangka penyerahan Irian Barat kepangkuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, tahun 1976 mengikuti rombongan Adam Malik menghadiri
KTT Non-Blok di Srilangka.
Ia juga mempunyai banyak pengalaman di bidang politik. Tahun 1934
ia memasuki organisasi 'Indonesia Muda', wadah perjuangan pergerakan
pemuda, dan pernah duduk sebagai Wakil Ketua. Tahun 1937 menjadi
anggota partai 'Gerakan Rakyat Indonesia' (GERINDO) di Medan.
Kemudianj 1949, menjadi anggota 'Partai Nasional Indonesia' (PNI),
beberapa kali menjabat sebagai Ketua Penerangan, dan pernah menjadi
anggota Pleno Pusat PNI di Jakarta.
Ia juga menghadiri Kongres Wanita Pertama di Jogya. Lalu, tahun 1950,
ia mendirikan 'Front Wanita Sumatera Utara' menjabat sebagai Ketua.
Kemudian menjabat Ketua Keuangan Kongres Rakyat seluruh Sumatera
Utara, menuntut pembubaran Negara Bagian 'Negara Sumatera Timur' (NST).
Selanjutnya menjadi anggota Angkatan-45 tingkat Pusat Jakarta. Ia
juga mendirikan 'Wanita Marhaeinis' dan menjadi C.P. (Komisaris Provinsi)
'Wanita Demokrat'.
1960-1967 ia menjadi anggota DPRGR Tingkat-I Provinsi Sumatera Utara
dari Golongan Wanita. Tahun 1961 menjabat sebagai Wakil Sekretaris
Jendral 'Front Nasional Sumatera Utara' yang dibentuk Pemerintah R.I.
Tahun 1967-1970 menjadi anggota DPRGR Tingkat-I Sumatera Utara untuk
Golongan Karya (Wartawan). Selanjutnya, 1984 diangkat sebagai Penasehat
'Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia'.
Selain menggumuli dunia jurnalistik dan politik, ia juga berkecimpung
dalam dunia pendidikan. Tahun 1953 mendirikan 'Taman Indria' berlokasi
di Jl. S.M. Raja 84, Medan khusus untuk Balai Penitipan Anak, Taman
Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
Pada tahun itu juga sempat mendirikan Bank Pasar Wanita selama dua
tahun berkantor di Pusat Pasar 125, Medan. Tahun 1960 mendirikan
'Yayasan Pendidikan Democratic' di Medan dengan tujuan mengembangkan
dunia pendidikan dengan mendirikan: Democratic English School di
Jl. S.M. Raja 195, Medan (kemudian dibubarkan karena adanya larangan
sekolah berbahasa asing).
Kemudian ia mendirikan S.D. Swasta 'Katlia', di Jl. S.M. Raja 84,
Medan. S.D. 'Katlia' ini kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
'Pembangunan'.
Tahun 1978 mendirikan 'Yayasan Pendidikan Democratic' dengan membuka: -
T.K., SD, SMP 'Perguruan Eria' di Jl. S.M. Raja 195. Selanjutnya, 1984
mendirikan Sekolah Pendidikan Agama Islam setingkat S.D. yaitu Madrasah
Ibtidaiyah 'Rohaniah' di Jl. Selamat Ujung Simpang Limun, serta
membangun mesjid disampingnya. Kemudian, 1987 mendirikan 'Sekolah
Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan' (STIKP) dan mendirikan 'Kursus
Komputer Komunikasi' (K-3) di Gedung Kampus STIKP.
* Karya tulis
- Buku Tahunan Wanita - 1953
- Menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci - 1974
- Wanita Dulu Sekarang dan Esok - 1980
- Terbunuhnya Indira Gandhi - 1984
- Sekilas Pengalaman dalam Pers dan Organisasi PWI di Sumatera Utara - 1985
- Doa Utama dalam Islam - 1987
2. Rohana Kudus
Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat,
20 Desember 1884 – meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur
87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Ia lahir dari ayahnya yang
bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam.
Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri
Indonesia yang pertama dan juga mak tuo (bibi) dari penyair terkenal
Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu H. Agus Salim. Rohana hidup pada
zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat
pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah perdiri surat kabar
perempuan pertama di Indonesia.
* Latar belakang
Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat
pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana
termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa
diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat
pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan.
Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya
Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun
ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda
yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan
dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai
materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda
Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda.
Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat
ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat
Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar
menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian
perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan
Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan
pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.
Pendidikan dan wirausaha
Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali
ke kampung dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang
berprofesi sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah keterampilan
khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama
Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai
keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan,
tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.
Banyak sekali rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-
citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh
dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat
Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring
dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak
sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin
dengan apa yang diperjuangkannya.
Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana juga menjalin kerjasama
dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan
kebutuhan jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping
itu juga Rohana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan
muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan
sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan
pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama
di Minangkabau.
Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana.
Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan
artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan
orang yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Rohana
menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis
di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan
perempuan pertama di Sumatera Barat.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan
pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya
menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang
diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu
merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin
redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.
Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung
lama pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya
hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester
karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi
beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya,
seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah
beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan
di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus
ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”.
Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk
menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana
School sangat terkenal muritnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi
tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup
populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai
Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya
dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin
jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir
Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya
sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi
agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar
di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan
tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran
keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan
sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal.
Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan
juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik,
sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar.
Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap
pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu
menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak
Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan
menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan
dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat
pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani
dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang
kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”.
Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan
hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi
alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi
sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan
dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Pergerakan
Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi,
Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang
membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya
dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga
mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke
Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam
sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.
Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika
merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin
surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur
surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat
kabar Cahaya Sumatera. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu
mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan
bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.
Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam
kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan
bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah
diusung Rohana. Selama hidupnya ia menerima penghargaan sebagai
Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9
Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai
Perintis Pers Indonesia. Dan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia
menganugerahkan Bintang Jasa Utama.
3. Surastri Karma Trimurti (Tokoh Pers Wanita)
* Pemahaman Umum
Surastri Karma Trimurti (lahir 11 Mei 1912 – meninggal 20 Mei 2008
pada umur 96 tahun), yang dikenal sebagai 'S. K. Trimuti ', adalah
wartawan, penulis dan guru Indonesia, yang mengambil bagian dalam
gerakan kemerdekaan Indonesia terhadap penjajahan oleh Belanda.
Dia kemudian menjabat sebagai menteri tenaga kerja pertama di Indonesia
dari tahun 1947 sampai 1948 di bawah Perdana Menteri Indonesia
Amir Sjarifuddin.
* Biografi
1. Awal Kehidupan
SK Trimurti lahir pada tanggal 11 Mei 1912 di Solo, Jawa Tengah.
Dia menghadiri ke Sekolah Guru Putri (SD School Girl).
2. Gerakan Kemerdekaan Indonesia
Dia menjadi aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia selama tahun 1930,
secara resmi bergabung dengan nasionalis Partindo (Partai Indonesia)
pada tahun 1933, tak lama setelah menyelesaikan sekolahnya di Tweede
Indlandsche School.
Trimurti memulai kariernya sebagai SD guru setelah meninggalkan Tweede
Indlandsche School. Dia mengajar di sekolah-sekolah dasar di Bandung,
Surakarta dan Banyumas pada 1930-an.
Namun, dia ditangkap oleh pemerintah Belanda pada tahun 1936 untuk
mendistribusikan anti-kolonial leaflet s. Trimuti dipenjara selama
sembilan bulan di Penjara Bulu di Semarang.
Trimurti beralih karier dari mengajar ke jurnalisme setelah dia
dibebaskan dari penjara. Dia segera menjadi terkenal di kalangan
jurnalistik dan anti-kolonial sebagai wartawan kritis.
Trimurti sering digunakan berbeda, disingkat nama samaran s dari nama
aslinya, seperti 'Trimurti atau 'Karma, dalam tulisan-tulisannya untuk
menghindari ditangkap lagi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selama karier laporannya, Trimurti bekerja untuk sejumlah surat kabar
Indonesia termasuk Pesat, Genderang, Bedung dan Pikiran Rakyat. Dia
diterbitkan Pesat bersama suaminya. Dalam era pendudukan Jepang, Pesat
dilarang oleh pemerintah militer Jepang. Dia juga ditangkap dan disiksa.
Paska Kemerdekaan
Trimurti, yang adalah seorang advokat terkenal hak-hak pekerja, diangkat
sebagai pertama di Indonesia Menteri Tenaga Kerja di bawah Perdana
Menteri Amir Sjarifuddin. Dia bertugas dalam kapasitas yang dari
tahun 1947 sampai tahun 1948. Dia berada di Eksekutif Partai Buruh
di Indonesia, dan memimpin sayap wanita nya [Depan [Working Wanita]].
Dia ikut mendirikan Gerwis, sebuah organisasi perempuan Indonesia,
pada tahun 1950, yang kemudian berganti nama sebagai Gerwani. Dia
meninggalkan organisasi pada tahun 1965. Dia kembali ke perguruan
tinggi ketika ia berusia 41 tahun. Dia belajar ekonomi di Universitas
Indonesia. Dia menolak janji untuk menjadi di Indonesia Menteri Sosial
pada tahun 1959 dalam rangka untuk menyelesaikan gelar sarjana.
Trimurti adalah anggota dan penandatangan Petisi 50 pada tahun 1980,
yang memprotes Soeharto penggunaan 's Pancasila terhadap lawan politiknya.
Para penandatangan Petisi 50 termasuk pendukung kemerdekaan Indonesia
terkemuka serta pemerintah dan pejabat militer, seperti Trimurti dan
mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
* Kematian
S. K. Trimurti meninggal pada 06:20 pada tanggal 20 Mei 2008, pada
usia 96, di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD) di Jakarta,
Indonesia setelah dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Dia telah
gagal dalam kesehatan dan terbatas ke kamarnya untuk tahun sebelumnya.
Menurut anaknya, Heru Baskoro, Trimurti meninggal karena vena yang
rusak. Dia juga telah menderita rendah hemoglobin level dan tekanan
darah tinggi.
Sebuah upacara menghormati Trimurti sebagai "pahlawan untuk kemerdekaan
Indonesia" digelar di Istana Negara di Jakarta Pusat. Dia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
* Kehidupan Pribadi
Pada tahun 1938 ia menikah dengan Muhammad Ibnu Sayuti, yang pengetik
dari Deklarasi Kemerdekaan Indonesia, yang diproklamasikan oleh Soekarno
pada 17 Agustus 1945. Trimurti banyak menghabiskan sisa hidupnya di
rumah kontrakan nya di Bekasi, Jawa Barat.
4. Maria Hartiningsih (Tokoh Pers)
Maria Margaretha Hartiningsih adalah wartawan senior harian Kompas.
Ia adalah penerima penghargaan Yap Thiam Hien untuk tahun 2003. Dewan
Juri Yap Thiam Hien Award 2003 yang diketuai Prof Soetandyo Wignjosoebroto
dengan anggota Prof Dr Azyumardi Azra, Prof. Harkristuti Harkrisnowo,
S.H., MA., PhD., dan Asmara Nababan SH menilai Maria Hartiningsih sebagai
jurnalis yang sangat konsisten dalam penulisannya memperjuangkan hak
asasi manusia. Maria juga merupakan wartawan pertama yang menerima
penghargaan tersebut.
5. Desi Anwar (Tokoh Pers Wanita)
* Pemahaman Umum
Desi Anwar lahir dari pasangan Khaidir Anwar dan Wahidar, yang
berasal dari Minangkabau. ayahnya berasal dari Lintau Buo, Tanah Datar,
sedangkan ibunya dari VII Koto Talago, Lima Puluh Kota. Kedua orang
tuanya berprofesi
sebagai akademisi dan ilmuwan. Ayahnya seorang ahli sosiolinguistik
dan pernah mengajar selama 20 tahun di Universitas London, Inggris.Karier
Desi memulai kariernya di RCTI, membawakan acara berita Seputar Indonesia,
Nuansa Pagi, Buletin Siang dan Buletin Malam. Pekerjaan ini ia lakoni
sampai tahun 1999, sampai akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke situs
portal berita Astaga.com.
Pada tahun 2000, dia kembali ke dunia redaksi televisi dan bergabung
dengan stasiun berita pertama di Indonesia, Metro TV. Di stasiun
televisi itu, kini ia menjabat sebagai GM Marketing and Business
Development. Sesekali Desi-pun tampil membawakan acara di Metro TV,
seperti Face to Face with Desi Anwar dan Economic Challenges with
Kini ia bergabung sebagai jurnalis di CNN Indonesia yang resmi
mengudara pada tanggal 17 Agustus 2015 yang trpat dengan hari
kemerdekaan Indonesia yang ke-70
Disamping sebagai seorang jurnalis, Desi juga hobi fotografi dan jalan-
jalan. Hobinya itu ia tuangkan dalam buku yang bertajuk A Romantic Journey:
* Penghargaan
- Tabloid Citra, Pembawa acara berita terbaik (1994 – 1997).
- Panasonic Award, Pembawa acara berita terbaik (1997 dan 1998).
- Asian Television Awards, kandidat Pembawa acara berita terbaik (1998).
___________________
Penutup
___________________
Demikian infonya para kawan sekalian...!
Dan jika kita mencari hubungannya dengan "Perkembangan Pers di Medan
Sumatra Utara", maka inilah yang dapat penulis sampaikan :
1. Perkembangan Pers Medan Sumatra Utara tak lepas dari Tokoh Pers
Ani Idrus
2. Beliau bersama suaminyalah yang mendirikan hari "Waspada" suatu
harian yang sudah sedemikian lengket ditelinga orang Sumatra Utara
2. Selain pernah berkerja di Harian Waspada beliau juga turut dalam
pengembangan surat kabar Harian Deli
4. Dalam rangka pengembangan Pers Sumatra Utara beliau juga mendirikan
'Yayasan Balai Wartawan' dan Yayasan Akademi Pers indonesia.
Para kawan...!
Selamat malam...!
_________________________________________________________________
Cat :
- Posting susulan 4 Oktober 2015 ; Rohana Kudus di tambahkan, sehingga
jumlahnya jadi lima (5).
(Menyimak info 4 Tokoh Pers Wanita Indonesia dan mencoba mencari
huungangannya dengan perkembagan pers di Medan Sumatra Utara)
__________________________________________________________________
_____________________
Kata Pengantar
_____________________
Lewat link :
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2015/09/tokoh-pers-parada-harahap-sabam.html
penulis mengurai tentang 4 Tokoh Pers Pria Indonesia yang berasal
dari Medan Sumatra Utara lewat pengetahuan pada otobiografi tokoh
pers tersebut, al : Parada Harahap, Muchtar Lubis, Djaendar Muda
Harahap, A.M. Hoetasoehoet, A.M. Sipahoetar.
Penasaran dengan "Tokoh Pers Wanita Indonesia", maka penulis-pun
mencari tahu jawabannya.
Para kawan dimanapun berada....!
Penulis tidak tahu persis apa alasan atau ketentuannya untuk dpat
disebut sebagai "Tokoh Pers". Namun penulis yakin "Tak pakai alasan
sekalipun menurut UU, seseorang bisa saja mendapat pengakuan dari
masyarakat seseorang itu pantas atau tidak untk disebut "Tokoh
Pers".
Terlepas dari ketentuannya atau pengkreteriannya, inilah 4 Tokoh
Pers Wanita Populer Indonesia. Adapun hubungannya Tokoh Pers Wanita
ini dengan Perkembangan Pers di Medan akan penulis uraikan di
penutup tulisan.
Selamat menyimak...!
_____________________________________________________
Sekilas info 4 Tokoh Pers Wanita indonesia
_____________________________________________________:
1. Ani Idrus (Tokoh Pers Wanita)
* Pemaman Umum
Ani Idrus (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 25 November 1918 –
meninggal di Medan, Sumatera Utara, 9 Januari 1999 pada umur 80 tahun)
adalah seorang wartawati senior yang mendirikan Harian Waspada bersama
suaminya H. Mohamad Said pada tahun 1947.
Ani Idrus dimakamkan di Pemakaman Umum Jalan Thamrin - Medan. Terakhir
ia menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Waspada dan Majalah
Dunia Wanita di Medan.
Selain berkecimpung dalam dunia jurnalistik, ia juga mendirikan dan
memimpin lembaga pendidikan yang bernaung dalam Yayasan Pendidikan
Ani Idrus.
Pada akhir hayatnya, ia juga menjabat Ketua Umum Sekolah Sepak Bola
WASPADA, Medan, Direktur PT. Prakarsa Abadi Press, Medan, dan Ketua
Yayasan Asma Cabang Sumatera Utara.
* Pendidikan
Pendidikannya dimulai di Sekolah dasar di Sawahlunto. Kemudian melanjut
ke sekolah madrasah dan mengaji di surau. Selanjutnya, tahun 1928 ia
pindah ke Medan, melanjut di Sekolah madrasah di Jalan Antara Ujung,
Medan. Setelah itu masuk Methodist English School, Meisjeskop School,
Schakel School, Mulo (Taman Siswa) & SMA sederajat.
Kemudian tahun 1962-1965 menjadi mahasiswa pada fakultas hukum UISU
Medan. Tahun 1975 sebagai mahasiswa fisipol di UISU, serta 19 Juli
1990 menyelesaikan ujian meja hijau dalam rangka memperoleh gelar
doctoranda untuk jurusan ilmu sosial politik UISU.
* Karier
Ket :
Stamps of Indonesia, 059-04.jpg
Ia memulai profesi sebagai wartawan tahun 1930 dengan mulai menulis
di majalah Panji Pustaka Jakarta. Kemudian, tahun 1936 bekerja pada
Sinar Deli Medan sebagai pembantu pada majalah Politik Penyedar.
Selanjutnya, tahun 1938 ia menerbitkan majalah politik Seruan Kita
bersama-sama H. Moh. Said dan 1947 menerbitkan Harian Waspada juga
bersama H. Moh. Said. Dua tahun kemudian, 1949, menerbitkan majalah
'Dunia Wanita'.
Ia menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Umum Nasional
'Waspada', Majalah 'Dunia Wanita' dan edisi Koran Masuk Desa
(KMD, dan Koran Masuk Sekolah) sejak tahun 1969 sampai 1999.
Pada tahun 1988 ia menerima anugrah 'Satya Penegak Pers Pancasila
dari Menteri Penerangan R.I. (H. Harmoko), di Jakarta, dimana hanya
diberikan pada 12 tokoh pers nasional. Selain itu, tahun 1990, ia
juga menerima penghargaan dari Menteri Penerangan R.I. sebagai
wartawan yang masih aktif mengabdikan diri di atas 70 thn di
Ujung Pandang.
Pada tahun 1990 ia menyampaikan makalah pada seminar Peranan Surat
Kabar Sebagai Pers Pembangunan di Daerah yang di selenggarakan oleh
FISIPOL UISU dan diikuti mahasiswa/i dari berbagai perguruan tinggi,
dengan pembanding malah Bapak H. Yoesoef Sou'yb.
Sebagai wartawati senior, ia juga ikut mendirikan dan membina
organisasi PWI. Tahun 1951 turut mendirikan organisasi P.W.I. Medan,
dan menjadi pengurus. Tahun 1953-1963, berturut-turut menjabat
sebagai Ketua PWI Kring Medan.
Tahun 1959 mendirikan 'Yayasan Balai Wartawan' Cabang Medan, dan
dipilih sebagai Ketua, selanjutnya mendirikan 'Yayasan Akademi
Pers Indonesia' (A.P.I.) dan menjabat sebagai Wakil Ketua.
Tahun 1959 ia mendapat penghargaan dari PWI Cabang Sumut/Medan
di Grand Hotel, karena telah berkecimpung dalam dunia pers selama
kurang lebih 25 tahun. Ia mengambil alih kepemimpinan di Harian
Waspada Medan tahun 1969 setelah H. Moh. Said mengundurkan diri.
Pada 1979 ia menerima piagam Pembina Penataran Tingkat Nasional dari
BP7 Jakarta. Kemudian, tahun 1984, bersamaan dengan hari Pers
Nasional menjadi anggota KPB (Kantor Perwakilan Bersama) di
Jakarta dari tujuh Surat kabar terbesar di daerah.
Ia banyak melakukan perjalanan Jurnalistik ke Luar Negeri. Tahun
1953 ia mengunjungi Jepang sebagai wartawan Waspada bersama
rombongan missi dagang 'Fact Finding' Pemerintah R.I. yang
diketuai oleh Dr Sudarsono untuk merundingkan pembayaran Pampasan
Perang. Tahun 1954 mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok.
Tahun berikutnya, 1955 mengunjungi Belanda, Belgia, Perancis,Italia
meliputi perundingan Tunku Abdul Rahman dengan Ching Peng, pimpinan
Komunis Malaya, di Baling Malaysia. Tahun 1956 mengunjungi Amerika
Serikat, Mesir, Turki, Jepang, Hongkong, dan Thailand. Kemudian,
tahun 1961 dan 1962 mengunjungi Inggris dan Jerman Barat serta Paris.
Lalu tahun 1963 mengikuti rombongan Menteri Luar Negeri Subandrio
ke Manila, Filipina dan mengikuti perjalan Presiden R.I. ke Irian
Jaya dalam rangka penyerahan Irian Barat kepangkuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, tahun 1976 mengikuti rombongan Adam Malik menghadiri
KTT Non-Blok di Srilangka.
Ia juga mempunyai banyak pengalaman di bidang politik. Tahun 1934
ia memasuki organisasi 'Indonesia Muda', wadah perjuangan pergerakan
pemuda, dan pernah duduk sebagai Wakil Ketua. Tahun 1937 menjadi
anggota partai 'Gerakan Rakyat Indonesia' (GERINDO) di Medan.
Kemudianj 1949, menjadi anggota 'Partai Nasional Indonesia' (PNI),
beberapa kali menjabat sebagai Ketua Penerangan, dan pernah menjadi
anggota Pleno Pusat PNI di Jakarta.
Ia juga menghadiri Kongres Wanita Pertama di Jogya. Lalu, tahun 1950,
ia mendirikan 'Front Wanita Sumatera Utara' menjabat sebagai Ketua.
Kemudian menjabat Ketua Keuangan Kongres Rakyat seluruh Sumatera
Utara, menuntut pembubaran Negara Bagian 'Negara Sumatera Timur' (NST).
Selanjutnya menjadi anggota Angkatan-45 tingkat Pusat Jakarta. Ia
juga mendirikan 'Wanita Marhaeinis' dan menjadi C.P. (Komisaris Provinsi)
'Wanita Demokrat'.
1960-1967 ia menjadi anggota DPRGR Tingkat-I Provinsi Sumatera Utara
dari Golongan Wanita. Tahun 1961 menjabat sebagai Wakil Sekretaris
Jendral 'Front Nasional Sumatera Utara' yang dibentuk Pemerintah R.I.
Tahun 1967-1970 menjadi anggota DPRGR Tingkat-I Sumatera Utara untuk
Golongan Karya (Wartawan). Selanjutnya, 1984 diangkat sebagai Penasehat
'Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia'.
Selain menggumuli dunia jurnalistik dan politik, ia juga berkecimpung
dalam dunia pendidikan. Tahun 1953 mendirikan 'Taman Indria' berlokasi
di Jl. S.M. Raja 84, Medan khusus untuk Balai Penitipan Anak, Taman
Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
Pada tahun itu juga sempat mendirikan Bank Pasar Wanita selama dua
tahun berkantor di Pusat Pasar 125, Medan. Tahun 1960 mendirikan
'Yayasan Pendidikan Democratic' di Medan dengan tujuan mengembangkan
dunia pendidikan dengan mendirikan: Democratic English School di
Jl. S.M. Raja 195, Medan (kemudian dibubarkan karena adanya larangan
sekolah berbahasa asing).
Kemudian ia mendirikan S.D. Swasta 'Katlia', di Jl. S.M. Raja 84,
Medan. S.D. 'Katlia' ini kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
'Pembangunan'.
Tahun 1978 mendirikan 'Yayasan Pendidikan Democratic' dengan membuka: -
T.K., SD, SMP 'Perguruan Eria' di Jl. S.M. Raja 195. Selanjutnya, 1984
mendirikan Sekolah Pendidikan Agama Islam setingkat S.D. yaitu Madrasah
Ibtidaiyah 'Rohaniah' di Jl. Selamat Ujung Simpang Limun, serta
membangun mesjid disampingnya. Kemudian, 1987 mendirikan 'Sekolah
Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan' (STIKP) dan mendirikan 'Kursus
Komputer Komunikasi' (K-3) di Gedung Kampus STIKP.
* Karya tulis
- Buku Tahunan Wanita - 1953
- Menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci - 1974
- Wanita Dulu Sekarang dan Esok - 1980
- Terbunuhnya Indira Gandhi - 1984
- Sekilas Pengalaman dalam Pers dan Organisasi PWI di Sumatera Utara - 1985
- Doa Utama dalam Islam - 1987
2. Rohana Kudus
Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat,
20 Desember 1884 – meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur
87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Ia lahir dari ayahnya yang
bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam.
Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri
Indonesia yang pertama dan juga mak tuo (bibi) dari penyair terkenal
Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu H. Agus Salim. Rohana hidup pada
zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat
pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah perdiri surat kabar
perempuan pertama di Indonesia.
* Latar belakang
Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat
pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana
termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa
diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat
pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan.
Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya
Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun
ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda
yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan
dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai
materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda
Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda.
Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat
ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat
Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar
menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian
perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan
Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan
pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.
Pendidikan dan wirausaha
Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali
ke kampung dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang
berprofesi sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah keterampilan
khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama
Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai
keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan,
tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.
Banyak sekali rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-
citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh
dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat
Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring
dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak
sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin
dengan apa yang diperjuangkannya.
Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana juga menjalin kerjasama
dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan
kebutuhan jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping
itu juga Rohana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan
muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan
sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan
pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama
di Minangkabau.
Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana.
Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan
artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan
orang yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Rohana
menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis
di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan
perempuan pertama di Sumatera Barat.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan
pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya
menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang
diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu
merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin
redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.
Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung
lama pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya
hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester
karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi
beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya,
seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah
beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan
di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus
ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”.
Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk
menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana
School sangat terkenal muritnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi
tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup
populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai
Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya
dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin
jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir
Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya
sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi
agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar
di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan
tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran
keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan
sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal.
Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan
juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik,
sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar.
Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap
pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu
menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak
Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan
menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan
dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat
pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani
dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang
kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”.
Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan
hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi
alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi
sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan
dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Pergerakan
Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi,
Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang
membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya
dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga
mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke
Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam
sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.
Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika
merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin
surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur
surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat
kabar Cahaya Sumatera. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu
mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan
bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.
Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam
kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan
bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah
diusung Rohana. Selama hidupnya ia menerima penghargaan sebagai
Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9
Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai
Perintis Pers Indonesia. Dan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia
menganugerahkan Bintang Jasa Utama.
3. Surastri Karma Trimurti (Tokoh Pers Wanita)
* Pemahaman Umum
Surastri Karma Trimurti (lahir 11 Mei 1912 – meninggal 20 Mei 2008
pada umur 96 tahun), yang dikenal sebagai 'S. K. Trimuti ', adalah
wartawan, penulis dan guru Indonesia, yang mengambil bagian dalam
gerakan kemerdekaan Indonesia terhadap penjajahan oleh Belanda.
Dia kemudian menjabat sebagai menteri tenaga kerja pertama di Indonesia
dari tahun 1947 sampai 1948 di bawah Perdana Menteri Indonesia
Amir Sjarifuddin.
* Biografi
1. Awal Kehidupan
SK Trimurti lahir pada tanggal 11 Mei 1912 di Solo, Jawa Tengah.
Dia menghadiri ke Sekolah Guru Putri (SD School Girl).
2. Gerakan Kemerdekaan Indonesia
Dia menjadi aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia selama tahun 1930,
secara resmi bergabung dengan nasionalis Partindo (Partai Indonesia)
pada tahun 1933, tak lama setelah menyelesaikan sekolahnya di Tweede
Indlandsche School.
Trimurti memulai kariernya sebagai SD guru setelah meninggalkan Tweede
Indlandsche School. Dia mengajar di sekolah-sekolah dasar di Bandung,
Surakarta dan Banyumas pada 1930-an.
Namun, dia ditangkap oleh pemerintah Belanda pada tahun 1936 untuk
mendistribusikan anti-kolonial leaflet s. Trimuti dipenjara selama
sembilan bulan di Penjara Bulu di Semarang.
Trimurti beralih karier dari mengajar ke jurnalisme setelah dia
dibebaskan dari penjara. Dia segera menjadi terkenal di kalangan
jurnalistik dan anti-kolonial sebagai wartawan kritis.
Trimurti sering digunakan berbeda, disingkat nama samaran s dari nama
aslinya, seperti 'Trimurti atau 'Karma, dalam tulisan-tulisannya untuk
menghindari ditangkap lagi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selama karier laporannya, Trimurti bekerja untuk sejumlah surat kabar
Indonesia termasuk Pesat, Genderang, Bedung dan Pikiran Rakyat. Dia
diterbitkan Pesat bersama suaminya. Dalam era pendudukan Jepang, Pesat
dilarang oleh pemerintah militer Jepang. Dia juga ditangkap dan disiksa.
Paska Kemerdekaan
Trimurti, yang adalah seorang advokat terkenal hak-hak pekerja, diangkat
sebagai pertama di Indonesia Menteri Tenaga Kerja di bawah Perdana
Menteri Amir Sjarifuddin. Dia bertugas dalam kapasitas yang dari
tahun 1947 sampai tahun 1948. Dia berada di Eksekutif Partai Buruh
di Indonesia, dan memimpin sayap wanita nya [Depan [Working Wanita]].
Dia ikut mendirikan Gerwis, sebuah organisasi perempuan Indonesia,
pada tahun 1950, yang kemudian berganti nama sebagai Gerwani. Dia
meninggalkan organisasi pada tahun 1965. Dia kembali ke perguruan
tinggi ketika ia berusia 41 tahun. Dia belajar ekonomi di Universitas
Indonesia. Dia menolak janji untuk menjadi di Indonesia Menteri Sosial
pada tahun 1959 dalam rangka untuk menyelesaikan gelar sarjana.
Trimurti adalah anggota dan penandatangan Petisi 50 pada tahun 1980,
yang memprotes Soeharto penggunaan 's Pancasila terhadap lawan politiknya.
Para penandatangan Petisi 50 termasuk pendukung kemerdekaan Indonesia
terkemuka serta pemerintah dan pejabat militer, seperti Trimurti dan
mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
* Kematian
S. K. Trimurti meninggal pada 06:20 pada tanggal 20 Mei 2008, pada
usia 96, di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD) di Jakarta,
Indonesia setelah dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Dia telah
gagal dalam kesehatan dan terbatas ke kamarnya untuk tahun sebelumnya.
Menurut anaknya, Heru Baskoro, Trimurti meninggal karena vena yang
rusak. Dia juga telah menderita rendah hemoglobin level dan tekanan
darah tinggi.
Sebuah upacara menghormati Trimurti sebagai "pahlawan untuk kemerdekaan
Indonesia" digelar di Istana Negara di Jakarta Pusat. Dia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
* Kehidupan Pribadi
Pada tahun 1938 ia menikah dengan Muhammad Ibnu Sayuti, yang pengetik
dari Deklarasi Kemerdekaan Indonesia, yang diproklamasikan oleh Soekarno
pada 17 Agustus 1945. Trimurti banyak menghabiskan sisa hidupnya di
rumah kontrakan nya di Bekasi, Jawa Barat.
4. Maria Hartiningsih (Tokoh Pers)
Maria Margaretha Hartiningsih adalah wartawan senior harian Kompas.
Ia adalah penerima penghargaan Yap Thiam Hien untuk tahun 2003. Dewan
Juri Yap Thiam Hien Award 2003 yang diketuai Prof Soetandyo Wignjosoebroto
dengan anggota Prof Dr Azyumardi Azra, Prof. Harkristuti Harkrisnowo,
S.H., MA., PhD., dan Asmara Nababan SH menilai Maria Hartiningsih sebagai
jurnalis yang sangat konsisten dalam penulisannya memperjuangkan hak
asasi manusia. Maria juga merupakan wartawan pertama yang menerima
penghargaan tersebut.
5. Desi Anwar (Tokoh Pers Wanita)
* Pemahaman Umum
Desi Anwar lahir dari pasangan Khaidir Anwar dan Wahidar, yang
berasal dari Minangkabau. ayahnya berasal dari Lintau Buo, Tanah Datar,
sedangkan ibunya dari VII Koto Talago, Lima Puluh Kota. Kedua orang
tuanya berprofesi
sebagai akademisi dan ilmuwan. Ayahnya seorang ahli sosiolinguistik
dan pernah mengajar selama 20 tahun di Universitas London, Inggris.Karier
Desi memulai kariernya di RCTI, membawakan acara berita Seputar Indonesia,
Nuansa Pagi, Buletin Siang dan Buletin Malam. Pekerjaan ini ia lakoni
sampai tahun 1999, sampai akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke situs
portal berita Astaga.com.
Pada tahun 2000, dia kembali ke dunia redaksi televisi dan bergabung
dengan stasiun berita pertama di Indonesia, Metro TV. Di stasiun
televisi itu, kini ia menjabat sebagai GM Marketing and Business
Development. Sesekali Desi-pun tampil membawakan acara di Metro TV,
seperti Face to Face with Desi Anwar dan Economic Challenges with
Kini ia bergabung sebagai jurnalis di CNN Indonesia yang resmi
mengudara pada tanggal 17 Agustus 2015 yang trpat dengan hari
kemerdekaan Indonesia yang ke-70
Disamping sebagai seorang jurnalis, Desi juga hobi fotografi dan jalan-
jalan. Hobinya itu ia tuangkan dalam buku yang bertajuk A Romantic Journey:
* Penghargaan
- Tabloid Citra, Pembawa acara berita terbaik (1994 – 1997).
- Panasonic Award, Pembawa acara berita terbaik (1997 dan 1998).
- Asian Television Awards, kandidat Pembawa acara berita terbaik (1998).
___________________
Penutup
___________________
Demikian infonya para kawan sekalian...!
Dan jika kita mencari hubungannya dengan "Perkembangan Pers di Medan
Sumatra Utara", maka inilah yang dapat penulis sampaikan :
1. Perkembangan Pers Medan Sumatra Utara tak lepas dari Tokoh Pers
Ani Idrus
2. Beliau bersama suaminyalah yang mendirikan hari "Waspada" suatu
harian yang sudah sedemikian lengket ditelinga orang Sumatra Utara
2. Selain pernah berkerja di Harian Waspada beliau juga turut dalam
pengembangan surat kabar Harian Deli
4. Dalam rangka pengembangan Pers Sumatra Utara beliau juga mendirikan
'Yayasan Balai Wartawan' dan Yayasan Akademi Pers indonesia.
Para kawan...!
Selamat malam...!
_________________________________________________________________
Cat :
- Posting susulan 4 Oktober 2015 ; Rohana Kudus di tambahkan, sehingga
jumlahnya jadi lima (5).
No comments:
Post a Comment