#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Koteka dalam hubungannya dengan Pengertian,
Jenis, Operasi, Celana, Souvenir dan Cara Pakai sekaligus menganalisa-nya)
________________________________________________________________________
__________________
Kata Pengantar
__________________
Lewat link :
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2016/01/merak-ayam-burung-pengertian-jenis.html
Penulis mengurai mengenai "Burung Merak" Irian Jaya yang mana sekarang
ini lebih kita kenal dengan nama Papua.
Burung yang penulis uraikan di awal postingan adalah Burung dalam arti
sebenarnya atau Burung dalam arti Denotatif". yang memang cukup banyak
dan bahkan hanya ada di daerah Papua Indonesia.
Dan ini gambar Burung yang penulis maksud :
Ehem...ehem...ehem...!
Di akhir postingan penulis terbawa pada suatu pemikiran alias insiprasi
yang isinya, "Yang popoler dari Irian Jaya itu sebenarnya bukan hanya
Burung dalam arti sebenarnya, tapi juga burung dalam arti tidak
sebenarnya atau arti konotatif".
Dengan kata lain...!
Burung yang dalam istilah sekolahan disebut Penis juga cukup populer
di Irian Jaya / Papua karena mereka punya cara perawatan yang berbeda
dibandingkan "Burung-Burung masyarakat Nusantara lainnya".
Ini gambar alat perawatannya :
Para kawan dimana-pun berada...!
Jika kita menyimak pribahasa Nusantara yang berbunyi, "Lain Padang
Lain Belalang atau lain lubuk lain ikannya". dapat dikata, "Semua
penduduk Nusantara setuju pada Pribahasa tersebut.
Karena itu...!
Kita-pun tak pernah mendengar :
- Suku Jawa dan Suku Batak sedang berunding untuk menghilangkan Suku
Batak dari Nusantara ini menjadi Suku Jawa atau sebaliknya
- Suku Dayak sedang melakukan serangan habis-habisan kepada suku
Madura untuk membuat suku madura menjadi suku dayak, atau sebaliknya.
- Dll...yang intinya semua menerima perbedaan budaya di Nusantara ini.
Tapi bagaimana dengan "Suku Irian Jaya...?" yang punya belalang atau
ikan sesuai pribahasa yang berbeda jauh dengan suku-suku lainnya di
Nusantara ini, khususnya dibidang penutup anggota tubuh yang di
sebut Koteka itu...?
Menurut hemat penulis :
Koteka Irian Jaya atau Papua itu telah menjadi "Gap" bagi suku Irian
jaya untuk dapat lebih mengenal suku-suku lainnya di Nusantara.
Berikut info mengenai koteka tersebut dan diakhir tulisan, penulis
akan coba menganalisanya berdarkan tujuan perlunya dihilangkan
pemakaian koteka.
____________________________________________________________________
Sekilas info tentang Koteka dari Sumber Wikipedia, Link :
https://id.wikipedia.org/wiki/Koteka
____________________________________________________________________
* Pengertian Koteka
Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya
sebagian penduduk asli Pulau Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air,
Lagenaria siceraria.
Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara harfiah,
kata ini bermakna "pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di
Paniai. Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim.
* Hal Ukuran Koteka
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan
dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas
pengguna, hendak bekerja atau upacara.
Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan
koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang
dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
* Hal Bentuk Koteka
Namun, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Yali,
misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom
biasanya memakai dua labu.
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari. Koteka
dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kalaupun ada,
koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Di kawasan pegunungan, seperti Wamena, koteka masih dipakai. Untuk
berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong beberapa
puluh ribu rupiah. Di kawasan pantai, orang lebih sulit lagi menemukannya.
* Hal Operasi Koteka
Sejak 1950-an, para misionaris mengampanyekan penggunaan celana pendek
sebagai pengganti koteka. Ini tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem
saat itu kadang-kadang mengenakan celana, namun tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka.
Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye
antikoteka digelar.
Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan
pakaian kepada penduduk. Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian
itu akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah
terserang penyakit kulit.
______________________________________________________________________
Sekilas info tentang Koteka dari Sumber Compasiana.Com (Pelengkap
info Wikipedia Ind), Link :
http://www.kompasiana.com/titin_murtakhamah/wamena-koteka-dan-alat-vital-pada-pria_5519fe50813311d57c9de0d0
______________________________________________________________________
* Hal Perjalanan ke Wamena
Perjalanan ke Wamena hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara,
karena tidak ada transportasi darat yang cukup memadai. Saya
terbang dari Jayapura menggunakan Trigana Air yang dapat dibeli
sesaat sebelum penerbangan. Masyarakat di sana sepertinya sudah
biasa melakukan perjalanan seperti ini, wira-wiri menggunakan
pesawat layaknya naik bus.
Namun jika mendekati Hari Natal, tiket pesawat Wamena-Jayapura pp
menjadi sulit bahkan kadang harus membayar dua kali lipat di tangan
calo. Sama dengan keadaan di Jawa dan sebagian besar kota lain di
Indonesia jika menjelang hari-hari besar keagamaan.
Ini kali pertama saya berkunjung ke Wamena. Wamena adalah sebuah
distrik di Kabupaten Jayawijaya, Papua sekaligus merupakan ibu
kota kabupaten tersebut. Di Wamena terletak lapangan terbang yang
menghubungkan wilayah Jayawijaya dengan Jayapura. Wamena merupakan
satu-satunya kota terbesar yang terletak di pedalaman tengah Papua.
Wamena berasal dari bahasa Dani yang terdiri dari dua kata Wa dan
Mena, yang berarti Babi Jinak atau babi piara??.
Kota yang terletak di lembah Baliem dan dialiri oleh sungai Baliem
serta diapit pegunungan Jayawijaya di selatannya memiliki ketinggian
sekitar 1600 meter di atas permukaan laut. Begitu mendarat di Bandara
Wamena, mata akan disuguhi pemandangan alam yang indah. Udara yang
sejuk karena belum banyak polusi, jalan-jalan dan pertokoan cukup
teratur dengan penduduk juga ramah.
Menyusuri kota Wamena paling asyik adalah dengan jalan kaki di pagi
atau sore hari, karena kita dapat secara detail mengetahui sudut-
sudut kota. Atau jika terlalu lelah berjalan, kita dapat menggunakan
becak yang banyak kita temui di sana. Menariknya, ongkos becak
ditentukan oleh berapa kepala yang naik bukan per jauh-dekat
perjalanan. Datang ke Wamena sebenarnya paling tepat adalah
bulan Agustus karena ada festifal Lembah Baliem atau perayaan
perang-perangan yang dapat kita nikmati, tentunya secara aman.
* Hal Gambaran Pemakaian Koteka di Kehidupan Sehari-Hari
Kekhasan lain dari kota ini adalah masih banyaknya laki-laki yang
berjalan di kota-kota dengan menggunakan koteka. Pertama kali
melihatnya, saya sungguh berdecak dan ingin memotretnya atau
setidaknya foto bersama. Namun seorang kawan memperingatkan untuk
tidak melakukan itu, karena disinyalir mereka yang masih berpakaian
demikian dan berjalan-jalan di kota atau nongkrong di depan warung
atau pusat-pusat keramaian memang sengaja melakukannya untuk
mencari uang.
* Hal Photo Bersama dengan Pemakai Koteka
Selesai potret bersama, mereka akan meminta uang kepada kita dengan
jumlah yang tidak tanggung-tanggung. Entahlah, tetapi saya memang
menuruti nasehat kawan saya tersebut untuk tidak secara langsung
memotretnya meski akhirnya saya berhasil juga mendapatkan gambar
laki-laki berkoteka di sekitar bandara secara sembunyi-sembunyi.
* Hal Koteka yang di perjual Belikan
Penasaran, saya sempat membelinya di toko-toko cinderamata di Biak
tahun 2005 dan mencobakannya kepada suami saya. Tentu saja, saya
tergelak sekaligus takjub dengan pemandangan lucu suami saya dengan
kotekanya. Dengan koteka, penis seperti terlihat berukuran sekitar
60 cm, berwarna kuning, melengkung ke atas dan berukiran
khas suku-suku pedalaman Papua.
Yang terakhir saya beli koteka di Jayapura berukuran sekitar 25 cm
yang pada ujungnya terdapat rambut hewan berwarna hitam untuk
saya gantungkan di pintu depan rumah saya sebagai hiasan.
* Hal Pemakai Koteka yang semakin berkurang
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari bahkan
dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Koteka banyak
dijual di toko cinderamata yang tersebar di beberapa kota di wilayah Papua.
Namun di kawasan pegunungan, seperti Wamena koteka masih dipakai.
* Hal Hubungan Pemakaian Koteka dengan Cuaca Dingin
Udara sedingin di Wamena ternyata tidak menghalangi mereka untuk tetap
mengenakan koteka. Di daerah lain yang udaranya dingin, biasanya
masyarakatnya mengenbangkan pakaian yang lebih tertutup dan hangat.
Tetapi di Wamena, ternyata itu tidak berlaku.
* Hal Gambaran Hubungan Koteka dengan Kepuasan Sek (Evolusi)
Saya jadi bertanya-tanya jangan-jangan penggunaan koteka memang erat
kaitannya dengan kepuasan laki-laki dalam merancang sendiri penisnya
daripada puas dengan hasil evolusi.
Jared Diamond dalam bukunya Mengapa Seks itu Asyik menjelaskan bahwa
koteka adalah penis palsu yang sedang ereksi dengan mencolok, yang
menunjukkan apa yang ingin dipunyai laki-laki pemakainya.
Ukuran penis hasil evolusi pada kita sayangnya dibatasi oleh panjang
vagina perempuan. Koteka menunjukkan kita akan seperti apa penis
manusia jika tidak terhambat oleh keterbatasan praktis tersebut.
Yang masih menjadi perdebatan adalah siapa yang menjadi sasaran
pengumuman kejantanan oleh penis. Kebanyakan laki-laki kiranya berasumsi
bahwa yang akan terkesan adalah perempuan.
Akan tetapi, perempuan mengatakan bahwa mereka cenderung terangsang oleh
bagian laki-laki yang lain dan bahwa penampakan penis boleh dikata tidak
menarik. Malah yang benar-benar terkesan dengan penis dan ukurannya
adalah sesama laki-laki. Di kamar mandi umum, laki-laki sering
membandingkan ukurannya.
Bahkan jika sebagian perempuan juga terkesan oleh penis yang besar
bukan berarti bahwa sinyal tersebut hanya tertuju pada satu jenis
kelamin saja.
Ahli zoologi yang mempelajari hewan berkali-kali menemukan bahwa ornamen
seksual punya dua fungsi yakni memikat calon pasangan dari lawan jenis
dan untuk menunjukkan dominasi terhadap saingan berjenis kelamin sama.
Dengan demikian, pertanyaan mengenai fungsi sinyal pada penis laki-laki
dan sasaran sinyal tersebut (jika ada) belumlah terjawab.
Perbandingan dengan kera kerabat kita telah mengisyaratkan bahwa ukuran
penis manusia melebihi kebutuhan fungsional dasar dan bahwa kelebihan
ukuran itu boleh jadi berperan sebagai sinyal.
Panjang penis yang sedang ereksi pada gorila hanya sekitar 3 cm, pada
orang utan sekitar 4 cm dan pada manusia sekitar 12 cm, meskipun pejantan
pada kedua spesies kera tersebut tubuhnya bisa lebih besar daripada laki-laki.
Kita beranggapan bahwa fungsi penis adalah untuk mengeluarkan air kencing,
menginjeksikan sperma dan merangsang perempuan secara fisik tetapi menurut
Diamond, fungsi penis bukan hanya masalah biologis yang dapat dengan mudah
dijawab dengan percobaan biomekanis tetapi juga masalah evolusioner.
Masalah evolusioner itu tergantung dalam berlipat gandanya ukuran penis
manusia melebihi perkiraan ukuran penis leluhur selama 7 sampai 9 juta
tahun terakhir. Perubahan demikian membutuhkan tafsiran fungsional dan
historis. Penis, bagian ornamen seksual laki-laki yang kita kenal itu
ternyata masih menyisakan satu pertanyaan: kekuatan seleksi apakah yang
menyebabkan pembesaran penis manusia dan mengapa ukurannya bertahan sampai
sekarang. Kepada pembaca, silakan menjawabnya.
Dan, koteka pertama yang saya beli 7 tahun silam sudah saya berikan
kepada seorang kawan. Katanya untuk koleksi budaya, tetapi saya tidak
bilang bahwa koteka itu pernah dipakai oleh suami saya.
________________________________________________________________________
Analisa / Pendapat Pribadi Penulis pada Koteka Irian Jaya / Papua
berdasarkan Tujuan untuk di tiadakan / dihilangkan (Bukan dipertahnakan)
________________________________________________________________________
Para kawan dimanapun berada dan suku apapun anda...!
Ini yang dapat penulis sampaikan :
1. Tujuan; Lebih Mudah Menjalin Silaturrahmi
Penulis tak bisa bayangkan apa jadinya, "Jika sekelompok Masyarakat
pemakai Koteka Irian Jaya atau Papua datang ke Tanah Batak untuk
suatu acara adat karena seorang Putra batak atau putrinya telah
menikah dengan para pemakai koteka ini. Penulis yakin mereka tidak
akan diterima, kecuali mereka telah mengganti koteka mereka dengan
celana.
Anda mereka pakai cela-pun, tapi buka baju dalam suatu acara adat
masih belum tentu dapat diterima. Dan penulis yakin, hal yang sama
berlaku untuk suku lainnya yang pada umumnya menyelesaikan acara
adat dengan berpakian secara umum, bukan berpakian dalam tafsir
masyarakat pemakai koteka (Memakai koteka = Berpakian), padahal
tetap telanjang dalam tafsir umum.
Kesimpulan :
Hilangkan Koteka agar silaturrahmi antar suku
Nusantara lebih lancar
2. Tujuan; Masyarakat / Suku Nusantara sama di mata Hukum
Bisa jadi kehadiran pemakai Koteka tersebut akan menjadi pusat
perhatian yang besar kemungkinan menjadi bahan tertawaan dari
pada menjadi bahan kekaguman.
Dalam banyak hal dikehidupan ini yang dilakukan oleh banyak orang
lebih benar dari pada yang dilakukan sedikit orang.
Kesimpulan :
Hilangkan koteka, agar Hukum-Hukum Nusantara atau Aturan-Aturan
main dalam benegara lebih mudah diterapkan.
3. Tujuan; Lebih mudah dapat lapangan kerja
Dalam banyak hal semua kebudayaan di Nusantara ini dipromosikan
dengan cara ber-photo, karena dalam kebudayaan tersebut ada nilai
seni yang mungkin saja tak dapat diungkapkan, tapi dapat dirasakan.
Penulis yakin, masyarakat Nusantara di luar suku pemakai Koteka
mengalami kesulitan dalam melihat atau menilai "Nilai Seni" dari
pemakian Koteka.
Dengan kata lain...!
Suku lain di Nusantara tidak punya perbandingan dengan sukunya
sendiri (Masyarakat Batak, Jawa, Melayu, dll tidak pakai koteka),
bagimana bisa kita mengatakan bahwa koteka bernilai seni.
Kesimpulan :
Hilangkan koteka agar hidup di Nusantara ini lebih ternikmati.
Bebas kesudut mana-pun di Nusantara ini dengan tanpa koteka.
Mencari lapangan kerja lebih mudah dengan tanpa perlu membuat
koteka sebagai lapangan kerja.
4. Tujuan; Pemda Papua dan jajarannya lebih mudah sosialisasi
Masyarakat pemakai koteka ini, bisa jadi keberadaannya sekarang
ini sungguh sangat kecil, tapi tetap menjadi tolak ukur bagi
keberhasilan Pemrov.Papua. Akan sangat susah mengatakan Pemrov.
Papua sudah maju atau makmur selagi masyarakatnya memakaian
koteka.
Dan jika koteka suatu hal yang membanggakan, maka bukan tidak
mungkin koteka-pun akan menjadi bagian dari Logo Pemrov. Papua.
Kesimpulan :
Hilangkan koteka hingga sosialisasi dan realsisasi dalam banyak
sendi kehidupan lebih mudah dicapai.
5. Tujuan; Menghilangkan kunkungan budaya yang sudah tidak sesuai
dengan jamannya
Penulis tidak yakin bahwa setiap pemakai koteka bangga dengan
koteka-nya ketika mereka sedang berphoto dengan orang-orang
yang pakai celana. Ada kesan mimik muka para pemakai koteka itu
lebih mengarah kepada "Ketidak mengertian atau kebingungan dari
pada merasa bangga dengan koteka-nya.
Dengan kata lain...!
Semakin banyak para pemakai koteka mengetahui keberadaan penduduk
Nusantara, semakin tersiksa mereka dengan keberadaannya. Mereka
sadar berbeda, tapi mereka tidak terlalu bangga dengan perbedaannya
dan menjadi bingung ketika ruang gerak mereka dibatasi.
6. Tujuannya; Untuk lebih percaya diri menjalani hidup dan lebih
dapat menikmati pasilitas Negara indonesia.
Sungguh banyak masyarakat di Nusantara ini sudah sedemikian rapinya
berpakaian, tapi percaya diri itu tetap berkurang. Apalagi dengan
tanpa berpakian.
_________________________________________
Renungan-Renungan Pemancing Solusi
_________________________________________
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2014/10/tanku-rao-dari-danau-toba-sampai-ke.html
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2014/10/letleti-itu-itu-juga-tuanku-rao-pongki.html
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2014/10/resensi-dan-saran-buku-tuanku-rao-buku.html
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2015/04/sembilan-999-999-walisongo-asmaul-husna.html
___________________________________
Penutup (Kesimpulan dan Saran)
___________________________________
* Kesimpulan
Demikian info koteka yang dapat disampaikan lewat postingan
ini para kawan sekalian...!
Dan pada penutup tulisan ini penulis ingin berkata :
1. Norma Agama, Norma Budaya dan Norma Negara adalah hal-hal
yang harus kita jalankan di negara Indonesia ini.
2. Dari semua Norma, sanksi yang paling berat dan dapat diterima
langsung hukumannya adalah pelanggaran Norma negara / UU.
3. Norma Agama lebih menekankan sanksinya pada kehidupan akhirat
dengan tanpa menolak bahwa sanksi duniawi-nya juga tetap telihat.
4. Sanksi Norma Budaya secara umum adalah pengucilan sesaat dari
kelompok yang sama-sama menjunjung budaya tersebut.
5. Ketiga Norma ini perlu kita jaga guna kelansungan hidup kita
sendiri, hidup orang lain dan hidup Negara itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan Koteka :
"Peniadaan (Menghilangkan) pemakai Koteka di Nusantara bukan-lah
suatu pelanggaran budaya atau adat, tapi suatu persesuaian budaya
dengan budaya-budaya lainnya di Nusantara ini, termasuk persesuaian
pada pemerintah RI dan persesuaian pada ajaran-ajaran Agama Resmi
Pemerintah Indonesia.
"Akan lebih memperoleh manfaat masyarakat Pemakai koteka dengan tidak
memakai koteka lagi hidup di Nusantra ini, masa sekarang atau masa
yang akan datang". Percayalah...!
* Saran
~ Untuk Para Saudara ~
Pada para saudara, khsusnya yang ada di Irian Jaya atau Papua sekarang
ini, yang mungkin sudah lebih maju dari masyarakat pemakai koteka ini
tapi mungkin masih punya saudara yang memakai koteka :
1. Bujuk-lah kawan para saudara-nya untuk tidak memakai Koteka lagi
di Jaman sekarang ini. Budaya memang penting, tapi untuk apa
mempertahankan budaya jika membatasi diri kita untuk maju apalagi
justru menyiksa diri karena lebih banyak orang menjadi tertawa
dari pada mengaguminya.
2. Seberapa banyak-pun orang yang berkunjung ke Wamena sana untuk
melihat koteka kalian tidak akan memberi guna selagi mereka tidak
mestrafer ilmu mereka untuk kalian. Dan syarat menstrafer ilmu
modern itu adalah berpakian secara umum. Karena itu bujuk-lah
agar tidak memakai koteka lagi.
~ Untuk Pemrov/Pemkab Papua ~
Tetap-lah berusaha para Bapak Ibu Sekalian untuk menyarankan mereka-
mereka ini mengganti koteka dengan celana. Akan sangat susah bagi
Negara lain kelak untuk mengakui Negara indonesia sebagai negara yang
sudah makmur selagi masyarakatnya masih ada yang telanjang.
Selamat malam...!
Dan penulis mohon maaf jika ada diantara pembaca yang tidak menyukai
postingan ini. Sekali lagi mohon maaf. Dan musik Irian Jaya untuk anda.
Musik...!
___________________________________________________________________
Cat :
http://amzn.to/1VW0ktU
(Menyimak info sekitar Koteka dalam hubungannya dengan Pengertian,
Jenis, Operasi, Celana, Souvenir dan Cara Pakai sekaligus menganalisa-nya)
________________________________________________________________________
__________________
Kata Pengantar
__________________
Lewat link :
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2016/01/merak-ayam-burung-pengertian-jenis.html
Penulis mengurai mengenai "Burung Merak" Irian Jaya yang mana sekarang
ini lebih kita kenal dengan nama Papua.
Burung yang penulis uraikan di awal postingan adalah Burung dalam arti
sebenarnya atau Burung dalam arti Denotatif". yang memang cukup banyak
dan bahkan hanya ada di daerah Papua Indonesia.
Dan ini gambar Burung yang penulis maksud :
Ehem...ehem...ehem...!
Di akhir postingan penulis terbawa pada suatu pemikiran alias insiprasi
yang isinya, "Yang popoler dari Irian Jaya itu sebenarnya bukan hanya
Burung dalam arti sebenarnya, tapi juga burung dalam arti tidak
sebenarnya atau arti konotatif".
Dengan kata lain...!
Burung yang dalam istilah sekolahan disebut Penis juga cukup populer
di Irian Jaya / Papua karena mereka punya cara perawatan yang berbeda
dibandingkan "Burung-Burung masyarakat Nusantara lainnya".
Ini gambar alat perawatannya :
Para kawan dimana-pun berada...!
Jika kita menyimak pribahasa Nusantara yang berbunyi, "Lain Padang
Lain Belalang atau lain lubuk lain ikannya". dapat dikata, "Semua
penduduk Nusantara setuju pada Pribahasa tersebut.
Karena itu...!
Kita-pun tak pernah mendengar :
- Suku Jawa dan Suku Batak sedang berunding untuk menghilangkan Suku
Batak dari Nusantara ini menjadi Suku Jawa atau sebaliknya
- Suku Dayak sedang melakukan serangan habis-habisan kepada suku
Madura untuk membuat suku madura menjadi suku dayak, atau sebaliknya.
- Dll...yang intinya semua menerima perbedaan budaya di Nusantara ini.
Tapi bagaimana dengan "Suku Irian Jaya...?" yang punya belalang atau
ikan sesuai pribahasa yang berbeda jauh dengan suku-suku lainnya di
Nusantara ini, khususnya dibidang penutup anggota tubuh yang di
sebut Koteka itu...?
Menurut hemat penulis :
Koteka Irian Jaya atau Papua itu telah menjadi "Gap" bagi suku Irian
jaya untuk dapat lebih mengenal suku-suku lainnya di Nusantara.
Berikut info mengenai koteka tersebut dan diakhir tulisan, penulis
akan coba menganalisanya berdarkan tujuan perlunya dihilangkan
pemakaian koteka.
____________________________________________________________________
Sekilas info tentang Koteka dari Sumber Wikipedia, Link :
https://id.wikipedia.org/wiki/Koteka
____________________________________________________________________
* Pengertian Koteka
Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya
sebagian penduduk asli Pulau Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air,
Lagenaria siceraria.
Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara harfiah,
kata ini bermakna "pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di
Paniai. Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim.
* Hal Ukuran Koteka
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan
dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas
pengguna, hendak bekerja atau upacara.
Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan
koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang
dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
* Hal Bentuk Koteka
Namun, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Yali,
misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom
biasanya memakai dua labu.
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari. Koteka
dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kalaupun ada,
koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Di kawasan pegunungan, seperti Wamena, koteka masih dipakai. Untuk
berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong beberapa
puluh ribu rupiah. Di kawasan pantai, orang lebih sulit lagi menemukannya.
* Hal Operasi Koteka
Sejak 1950-an, para misionaris mengampanyekan penggunaan celana pendek
sebagai pengganti koteka. Ini tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem
saat itu kadang-kadang mengenakan celana, namun tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka.
Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye
antikoteka digelar.
Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan
pakaian kepada penduduk. Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian
itu akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah
terserang penyakit kulit.
______________________________________________________________________
Sekilas info tentang Koteka dari Sumber Compasiana.Com (Pelengkap
info Wikipedia Ind), Link :
http://www.kompasiana.com/titin_murtakhamah/wamena-koteka-dan-alat-vital-pada-pria_5519fe50813311d57c9de0d0
______________________________________________________________________
* Hal Perjalanan ke Wamena
Perjalanan ke Wamena hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara,
karena tidak ada transportasi darat yang cukup memadai. Saya
terbang dari Jayapura menggunakan Trigana Air yang dapat dibeli
sesaat sebelum penerbangan. Masyarakat di sana sepertinya sudah
biasa melakukan perjalanan seperti ini, wira-wiri menggunakan
pesawat layaknya naik bus.
Namun jika mendekati Hari Natal, tiket pesawat Wamena-Jayapura pp
menjadi sulit bahkan kadang harus membayar dua kali lipat di tangan
calo. Sama dengan keadaan di Jawa dan sebagian besar kota lain di
Indonesia jika menjelang hari-hari besar keagamaan.
Ini kali pertama saya berkunjung ke Wamena. Wamena adalah sebuah
distrik di Kabupaten Jayawijaya, Papua sekaligus merupakan ibu
kota kabupaten tersebut. Di Wamena terletak lapangan terbang yang
menghubungkan wilayah Jayawijaya dengan Jayapura. Wamena merupakan
satu-satunya kota terbesar yang terletak di pedalaman tengah Papua.
Wamena berasal dari bahasa Dani yang terdiri dari dua kata Wa dan
Mena, yang berarti Babi Jinak atau babi piara??.
Kota yang terletak di lembah Baliem dan dialiri oleh sungai Baliem
serta diapit pegunungan Jayawijaya di selatannya memiliki ketinggian
sekitar 1600 meter di atas permukaan laut. Begitu mendarat di Bandara
Wamena, mata akan disuguhi pemandangan alam yang indah. Udara yang
sejuk karena belum banyak polusi, jalan-jalan dan pertokoan cukup
teratur dengan penduduk juga ramah.
Menyusuri kota Wamena paling asyik adalah dengan jalan kaki di pagi
atau sore hari, karena kita dapat secara detail mengetahui sudut-
sudut kota. Atau jika terlalu lelah berjalan, kita dapat menggunakan
becak yang banyak kita temui di sana. Menariknya, ongkos becak
ditentukan oleh berapa kepala yang naik bukan per jauh-dekat
perjalanan. Datang ke Wamena sebenarnya paling tepat adalah
bulan Agustus karena ada festifal Lembah Baliem atau perayaan
perang-perangan yang dapat kita nikmati, tentunya secara aman.
* Hal Gambaran Pemakaian Koteka di Kehidupan Sehari-Hari
Kekhasan lain dari kota ini adalah masih banyaknya laki-laki yang
berjalan di kota-kota dengan menggunakan koteka. Pertama kali
melihatnya, saya sungguh berdecak dan ingin memotretnya atau
setidaknya foto bersama. Namun seorang kawan memperingatkan untuk
tidak melakukan itu, karena disinyalir mereka yang masih berpakaian
demikian dan berjalan-jalan di kota atau nongkrong di depan warung
atau pusat-pusat keramaian memang sengaja melakukannya untuk
mencari uang.
* Hal Photo Bersama dengan Pemakai Koteka
Selesai potret bersama, mereka akan meminta uang kepada kita dengan
jumlah yang tidak tanggung-tanggung. Entahlah, tetapi saya memang
menuruti nasehat kawan saya tersebut untuk tidak secara langsung
memotretnya meski akhirnya saya berhasil juga mendapatkan gambar
laki-laki berkoteka di sekitar bandara secara sembunyi-sembunyi.
* Hal Koteka yang di perjual Belikan
Penasaran, saya sempat membelinya di toko-toko cinderamata di Biak
tahun 2005 dan mencobakannya kepada suami saya. Tentu saja, saya
tergelak sekaligus takjub dengan pemandangan lucu suami saya dengan
kotekanya. Dengan koteka, penis seperti terlihat berukuran sekitar
60 cm, berwarna kuning, melengkung ke atas dan berukiran
khas suku-suku pedalaman Papua.
Yang terakhir saya beli koteka di Jayapura berukuran sekitar 25 cm
yang pada ujungnya terdapat rambut hewan berwarna hitam untuk
saya gantungkan di pintu depan rumah saya sebagai hiasan.
* Hal Pemakai Koteka yang semakin berkurang
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari bahkan
dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Koteka banyak
dijual di toko cinderamata yang tersebar di beberapa kota di wilayah Papua.
Namun di kawasan pegunungan, seperti Wamena koteka masih dipakai.
* Hal Hubungan Pemakaian Koteka dengan Cuaca Dingin
Udara sedingin di Wamena ternyata tidak menghalangi mereka untuk tetap
mengenakan koteka. Di daerah lain yang udaranya dingin, biasanya
masyarakatnya mengenbangkan pakaian yang lebih tertutup dan hangat.
Tetapi di Wamena, ternyata itu tidak berlaku.
* Hal Gambaran Hubungan Koteka dengan Kepuasan Sek (Evolusi)
Saya jadi bertanya-tanya jangan-jangan penggunaan koteka memang erat
kaitannya dengan kepuasan laki-laki dalam merancang sendiri penisnya
daripada puas dengan hasil evolusi.
Jared Diamond dalam bukunya Mengapa Seks itu Asyik menjelaskan bahwa
koteka adalah penis palsu yang sedang ereksi dengan mencolok, yang
menunjukkan apa yang ingin dipunyai laki-laki pemakainya.
Ukuran penis hasil evolusi pada kita sayangnya dibatasi oleh panjang
vagina perempuan. Koteka menunjukkan kita akan seperti apa penis
manusia jika tidak terhambat oleh keterbatasan praktis tersebut.
Yang masih menjadi perdebatan adalah siapa yang menjadi sasaran
pengumuman kejantanan oleh penis. Kebanyakan laki-laki kiranya berasumsi
bahwa yang akan terkesan adalah perempuan.
Akan tetapi, perempuan mengatakan bahwa mereka cenderung terangsang oleh
bagian laki-laki yang lain dan bahwa penampakan penis boleh dikata tidak
menarik. Malah yang benar-benar terkesan dengan penis dan ukurannya
adalah sesama laki-laki. Di kamar mandi umum, laki-laki sering
membandingkan ukurannya.
Bahkan jika sebagian perempuan juga terkesan oleh penis yang besar
bukan berarti bahwa sinyal tersebut hanya tertuju pada satu jenis
kelamin saja.
Ahli zoologi yang mempelajari hewan berkali-kali menemukan bahwa ornamen
seksual punya dua fungsi yakni memikat calon pasangan dari lawan jenis
dan untuk menunjukkan dominasi terhadap saingan berjenis kelamin sama.
Dengan demikian, pertanyaan mengenai fungsi sinyal pada penis laki-laki
dan sasaran sinyal tersebut (jika ada) belumlah terjawab.
Perbandingan dengan kera kerabat kita telah mengisyaratkan bahwa ukuran
penis manusia melebihi kebutuhan fungsional dasar dan bahwa kelebihan
ukuran itu boleh jadi berperan sebagai sinyal.
Panjang penis yang sedang ereksi pada gorila hanya sekitar 3 cm, pada
orang utan sekitar 4 cm dan pada manusia sekitar 12 cm, meskipun pejantan
pada kedua spesies kera tersebut tubuhnya bisa lebih besar daripada laki-laki.
Kita beranggapan bahwa fungsi penis adalah untuk mengeluarkan air kencing,
menginjeksikan sperma dan merangsang perempuan secara fisik tetapi menurut
Diamond, fungsi penis bukan hanya masalah biologis yang dapat dengan mudah
dijawab dengan percobaan biomekanis tetapi juga masalah evolusioner.
Masalah evolusioner itu tergantung dalam berlipat gandanya ukuran penis
manusia melebihi perkiraan ukuran penis leluhur selama 7 sampai 9 juta
tahun terakhir. Perubahan demikian membutuhkan tafsiran fungsional dan
historis. Penis, bagian ornamen seksual laki-laki yang kita kenal itu
ternyata masih menyisakan satu pertanyaan: kekuatan seleksi apakah yang
menyebabkan pembesaran penis manusia dan mengapa ukurannya bertahan sampai
sekarang. Kepada pembaca, silakan menjawabnya.
Dan, koteka pertama yang saya beli 7 tahun silam sudah saya berikan
kepada seorang kawan. Katanya untuk koleksi budaya, tetapi saya tidak
bilang bahwa koteka itu pernah dipakai oleh suami saya.
________________________________________________________________________
Analisa / Pendapat Pribadi Penulis pada Koteka Irian Jaya / Papua
berdasarkan Tujuan untuk di tiadakan / dihilangkan (Bukan dipertahnakan)
________________________________________________________________________
Para kawan dimanapun berada dan suku apapun anda...!
Ini yang dapat penulis sampaikan :
1. Tujuan; Lebih Mudah Menjalin Silaturrahmi
Penulis tak bisa bayangkan apa jadinya, "Jika sekelompok Masyarakat
pemakai Koteka Irian Jaya atau Papua datang ke Tanah Batak untuk
suatu acara adat karena seorang Putra batak atau putrinya telah
menikah dengan para pemakai koteka ini. Penulis yakin mereka tidak
akan diterima, kecuali mereka telah mengganti koteka mereka dengan
celana.
Anda mereka pakai cela-pun, tapi buka baju dalam suatu acara adat
masih belum tentu dapat diterima. Dan penulis yakin, hal yang sama
berlaku untuk suku lainnya yang pada umumnya menyelesaikan acara
adat dengan berpakian secara umum, bukan berpakian dalam tafsir
masyarakat pemakai koteka (Memakai koteka = Berpakian), padahal
tetap telanjang dalam tafsir umum.
Kesimpulan :
Hilangkan Koteka agar silaturrahmi antar suku
Nusantara lebih lancar
2. Tujuan; Masyarakat / Suku Nusantara sama di mata Hukum
Bisa jadi kehadiran pemakai Koteka tersebut akan menjadi pusat
perhatian yang besar kemungkinan menjadi bahan tertawaan dari
pada menjadi bahan kekaguman.
Dalam banyak hal dikehidupan ini yang dilakukan oleh banyak orang
lebih benar dari pada yang dilakukan sedikit orang.
Kesimpulan :
Hilangkan koteka, agar Hukum-Hukum Nusantara atau Aturan-Aturan
main dalam benegara lebih mudah diterapkan.
3. Tujuan; Lebih mudah dapat lapangan kerja
Dalam banyak hal semua kebudayaan di Nusantara ini dipromosikan
dengan cara ber-photo, karena dalam kebudayaan tersebut ada nilai
seni yang mungkin saja tak dapat diungkapkan, tapi dapat dirasakan.
Penulis yakin, masyarakat Nusantara di luar suku pemakai Koteka
mengalami kesulitan dalam melihat atau menilai "Nilai Seni" dari
pemakian Koteka.
Dengan kata lain...!
Suku lain di Nusantara tidak punya perbandingan dengan sukunya
sendiri (Masyarakat Batak, Jawa, Melayu, dll tidak pakai koteka),
bagimana bisa kita mengatakan bahwa koteka bernilai seni.
Kesimpulan :
Hilangkan koteka agar hidup di Nusantara ini lebih ternikmati.
Bebas kesudut mana-pun di Nusantara ini dengan tanpa koteka.
Mencari lapangan kerja lebih mudah dengan tanpa perlu membuat
koteka sebagai lapangan kerja.
4. Tujuan; Pemda Papua dan jajarannya lebih mudah sosialisasi
Masyarakat pemakai koteka ini, bisa jadi keberadaannya sekarang
ini sungguh sangat kecil, tapi tetap menjadi tolak ukur bagi
keberhasilan Pemrov.Papua. Akan sangat susah mengatakan Pemrov.
Papua sudah maju atau makmur selagi masyarakatnya memakaian
koteka.
Dan jika koteka suatu hal yang membanggakan, maka bukan tidak
mungkin koteka-pun akan menjadi bagian dari Logo Pemrov. Papua.
Kesimpulan :
Hilangkan koteka hingga sosialisasi dan realsisasi dalam banyak
sendi kehidupan lebih mudah dicapai.
5. Tujuan; Menghilangkan kunkungan budaya yang sudah tidak sesuai
dengan jamannya
Penulis tidak yakin bahwa setiap pemakai koteka bangga dengan
koteka-nya ketika mereka sedang berphoto dengan orang-orang
yang pakai celana. Ada kesan mimik muka para pemakai koteka itu
lebih mengarah kepada "Ketidak mengertian atau kebingungan dari
pada merasa bangga dengan koteka-nya.
Dengan kata lain...!
Semakin banyak para pemakai koteka mengetahui keberadaan penduduk
Nusantara, semakin tersiksa mereka dengan keberadaannya. Mereka
sadar berbeda, tapi mereka tidak terlalu bangga dengan perbedaannya
dan menjadi bingung ketika ruang gerak mereka dibatasi.
6. Tujuannya; Untuk lebih percaya diri menjalani hidup dan lebih
dapat menikmati pasilitas Negara indonesia.
Sungguh banyak masyarakat di Nusantara ini sudah sedemikian rapinya
berpakaian, tapi percaya diri itu tetap berkurang. Apalagi dengan
tanpa berpakian.
_________________________________________
Renungan-Renungan Pemancing Solusi
_________________________________________
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2014/10/tanku-rao-dari-danau-toba-sampai-ke.html
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2014/10/letleti-itu-itu-juga-tuanku-rao-pongki.html
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2014/10/resensi-dan-saran-buku-tuanku-rao-buku.html
http://angkolafacebook.blogspot.co.id/2015/04/sembilan-999-999-walisongo-asmaul-husna.html
___________________________________
Penutup (Kesimpulan dan Saran)
___________________________________
* Kesimpulan
Demikian info koteka yang dapat disampaikan lewat postingan
ini para kawan sekalian...!
Dan pada penutup tulisan ini penulis ingin berkata :
1. Norma Agama, Norma Budaya dan Norma Negara adalah hal-hal
yang harus kita jalankan di negara Indonesia ini.
2. Dari semua Norma, sanksi yang paling berat dan dapat diterima
langsung hukumannya adalah pelanggaran Norma negara / UU.
3. Norma Agama lebih menekankan sanksinya pada kehidupan akhirat
dengan tanpa menolak bahwa sanksi duniawi-nya juga tetap telihat.
4. Sanksi Norma Budaya secara umum adalah pengucilan sesaat dari
kelompok yang sama-sama menjunjung budaya tersebut.
5. Ketiga Norma ini perlu kita jaga guna kelansungan hidup kita
sendiri, hidup orang lain dan hidup Negara itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan Koteka :
"Peniadaan (Menghilangkan) pemakai Koteka di Nusantara bukan-lah
suatu pelanggaran budaya atau adat, tapi suatu persesuaian budaya
dengan budaya-budaya lainnya di Nusantara ini, termasuk persesuaian
pada pemerintah RI dan persesuaian pada ajaran-ajaran Agama Resmi
Pemerintah Indonesia.
"Akan lebih memperoleh manfaat masyarakat Pemakai koteka dengan tidak
memakai koteka lagi hidup di Nusantra ini, masa sekarang atau masa
yang akan datang". Percayalah...!
* Saran
~ Untuk Para Saudara ~
Pada para saudara, khsusnya yang ada di Irian Jaya atau Papua sekarang
ini, yang mungkin sudah lebih maju dari masyarakat pemakai koteka ini
tapi mungkin masih punya saudara yang memakai koteka :
1. Bujuk-lah kawan para saudara-nya untuk tidak memakai Koteka lagi
di Jaman sekarang ini. Budaya memang penting, tapi untuk apa
mempertahankan budaya jika membatasi diri kita untuk maju apalagi
justru menyiksa diri karena lebih banyak orang menjadi tertawa
dari pada mengaguminya.
2. Seberapa banyak-pun orang yang berkunjung ke Wamena sana untuk
melihat koteka kalian tidak akan memberi guna selagi mereka tidak
mestrafer ilmu mereka untuk kalian. Dan syarat menstrafer ilmu
modern itu adalah berpakian secara umum. Karena itu bujuk-lah
agar tidak memakai koteka lagi.
~ Untuk Pemrov/Pemkab Papua ~
Tetap-lah berusaha para Bapak Ibu Sekalian untuk menyarankan mereka-
mereka ini mengganti koteka dengan celana. Akan sangat susah bagi
Negara lain kelak untuk mengakui Negara indonesia sebagai negara yang
sudah makmur selagi masyarakatnya masih ada yang telanjang.
Selamat malam...!
Dan penulis mohon maaf jika ada diantara pembaca yang tidak menyukai
postingan ini. Sekali lagi mohon maaf. Dan musik Irian Jaya untuk anda.
Musik...!
___________________________________________________________________
Cat :
http://amzn.to/1VW0ktU
No comments:
Post a Comment