Wednesday, September 11, 2013

Macam lagu dan info sekitar Melayu Deli (Oleh-oleh informasi 9 pulang kampung 1434 H)

#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menikmati lagu-lagu Melayu Deli sekaligus menambah pengetahuan
seputar macam informasi mengenai Melayu Deli khususnya yang
berhubungan dengan Istana Maimun)

Oleh : Rahmat Parlindungan Siregar dan Megawati Hutasuhut
__________________________________________________________







Parakawan...!

Malam ini penulis menikmati lagu-lagu Melayu Deli dulu ba. Sekalian
memberikan informasi seputar Tanah Deli khususnya "Istana Maimun".

Bagi penulis, ini adalah oleh-oleh informasi ke-9 pulang kampung 1434 H
ini. Karena pada saat di Medan (Air Bersih / tempat tinggal tulang),
penulis bersama istri berkunjung juga ke tempat tersebut.

Berikut uraiannya :
_____________________

Lagu Perwira Ksatria
_____________________

Dengarlah wahai perwira ksatria
namamu di puja budimu di sanjung
Harum melati indah bunga mawar
sedalam lautan setinggi awan biru

Musik...!



*Sekilas sejarah Singkat Para raja-raja (Sultan) di Tanah Deli

Tahukah Anda, tradisi pergantian Raja Deli masih terus dilaksanakan
di Istana Maimoon Medan. Saat ini yang menduduki tahta adalah Raja
Deli XII bernama Sultan Azmi Perkasa Alam.

Upacara pergantian raja ini memang kurang mendapat perhatian warga,
namun tetap lestari sejak abad 16 silam. Tak bisa dibantah, sejarah
kota Medan tak terpisahkan dari kehadiran Kerajaan Melayu Deli.

Sebanyak 12 orang raja telah memimpin kerajaan ini sejak berdirinya
pada abad 16. Ketika itu, Kerajaan Aru di daerah Sungai Lalang
Deli Tua sekarang -- ditaklukkan pasukan Kerajaan Aceh di bawah
pimpinan Panglima Hisyamuddin.

Nama terakhir ini adalah seorang turunan dari negeri Shindi Hindustan.
Selanjutnya ia diangkat oleh Sultan Iskandar Muda dari Kerajaan Aceh
sebagai wakil kerajaan untuk daerah Sumatera Timur dengan gelar
Panglima Gocah Pahlawan.

Pada tahun 1632 Kerajaan Aceh selanjutnya menetapkan berdirinya Kerajaan
Deli. Panglima Gocah Pahlawan diangkat menjadi Raja Deli I dengan gelar
‘’Tuanku Panglima Gocah Pahlawan”, pada saat itu Kerajaan Deli berkedu-
dukan di Sungai Lalang.

Ia berkuasa selama 37 tahun, dan pada tahun 1669 beliau mangkat. Tampuk
pimpinan kerajaan selanjutnya dipegang Tuanku Panglima Parunggit. Raja
Deli II mulai memerintah pada tahun 1669. Kemudian ia memindahkan pusat
kerajaan ke daerah Padang Datar (Medan sekarang).

Ia memerintah di kerajaan ini selama 29 tahun. Pada tahun 1698 ia mangkat
dan diberi gelar “Marhum Kesawan”.

Selanjutnya pimpinan kerajaan diserahkan pada Tuanku Panglima Padrap
yang diangkat menjadi Raja Deli III. Ia pun sempat memindahkan pusat
kerajaan ke daerah Pulo Brayan sekarang. Beliau berkuasa hingga tahun 1728.

Tuanku Panglima Pasutan menjadi Raja Deli IV dan mulai memerintah dari
tahun 1728. Tak beda dengan pendahulunya, ia pun memindahkan lagi
Kerajaan Melayu ke Labuhan Deli serta memberi gelar “Datuk” kepada
kepala-kepala suku yang merupakan penduduk asli Kerajaan Deli.

Para kepala suku itu terkenal dengan sebutan Datuk 4 Suku. Keempat suku
(daerah) yang memperoleh gelar tersebut masing-masing daerah Sepuluh
Dua Kuta (daerah Hamparan Perak dan sekitarnya), Serbanyaman
(daerah Sunggal dan sekitarnya), Sinembah (daerah Patumbak, Tanjung
Morawa dan sekitarnya) serta Sukapiring (daerah Kampung Baru dan
Medan sekitarnya).

Tuanku Panglima Pasutan berkuasa sampai tahun 1761. Pada tahun itu juga,
Raja Deli berganti lagi. Di bawah kekuasaan Tuanku Panglima Gandar
Wahid selaku Raja Deli V, kedudukan Datuk Empat Suku semakin kokoh.
Gandar Wahid mangkat tahun 1805.

Tampuk kekuasaan selanjutnya diwariskan pada putra ketiga Panglima
Gandar Wahid, yaitu Sultan Amaludin Mengedar Alam. Ia tercatat sebagai
Raja Melayu VI. Pada masa pemerintahannya, hubungan Kerajaan Melayu sudah
lebih dekat dengan Kerajaan Siak ketimbang Kerajaan Aceh.
Ia sendiri memerintah sampai tahun 1850.

Selanjutnya Sultan Osman Perkasa Alamsyah naik tahta. Raja yang satu ini
hanya berkuasa selama delapan tahun. Namun meskipun singkat, di bawah
kekuasaannya Kerajaan Deli bisa kembali dekat dengan Kerajaan Aceh.
Hal ini ditandai dengan pemberian Pedang Bawar dan Cap Sembilan.

Pada tahun 1858, Raja Deli VIII dipegang Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa
Alamsyah. Sultan ini memerintah hingga tahun 1873, dan kerjasama dengan
Belanda mulai dijalinnya. Hal ini ditandai dengan pembukaan lahan
tembakau di daerah Kerajaan Deli.

Kedekatan kerajaan dengan Belanda makin erat setelah naiknya
Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Boleh dibilang, ini adalah
era keemasan Kerajaan Melayu Deli. Di bawah kekuasaannya perdagangan
tembakau semakin makmur dan mencapai puncaknya.

Ia kemudian memindahkan pusat kerajaan kembali ke Medan dan mendirikan
Istana Maimoon pada tanggal 26 Agustus 1888 dan diresmikan pada
18 Mei 1891. Ia juga mendirikan bangunan lain seperti Mesjid Raya
Al Mahsun pada tahun 1907, serta beberapa bangunan bersejarah lainnya.
Ma’mun memimpin kerajaan sampai tahun 1924.

Pemerintahan selanjutnya diteruskan Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa
Alamsyah dari tahun 1924 hingga 1945. Pada masa pemerintahannya,
hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di nusantara terjalin dengan
baik. Ini terbukti dengan adanya pengembangan pelabuhan laut.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan, dan Pemerintah Kesultanan Deli mengakui kedaulatan Negara
Republik Indonesia.

Kedudukan sultan-sultan selanjutnya diubah menjadi Penguasa Adat
Istiadat dan Kebudayaan Melayu Deli. Pada tahun 1945, Sultan Amaluddin
Al Sani Perkasa Alam menyerahkan kedudukannya kepada putra tertuanya,
Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam yang memerintah hingga tahun 1965.

Sejak Tahun 1965, Kerajaan Deli dipimpin oleh Penguasa Tertinggi Adat
Melayu yang juga merupakan putra Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam,
yaitu Sultan Azmi Perkasa Alam. Sultan terakhir ini masih berkuasa
sampai sekarang.

Tradisi pergantian raja di Istana Maimoon masih dilakukan dengan
khidmat, meski pemerintahan modern telah lama dikenal di negeri ini.
Ibarat pepatah Melayu, “Takkan hilang Melayu ditelan bumi”.

Pada masa mendatang, Sultan Melayu akan tetap ada walau kekuasaannya tak
lagi sehebat dulu.

Sumber :
http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=830&go=Para-Penguasa-Kerajaan-Deli-

Photo pendukung :























___________________

Lagu Penyejuk Jiwa
___________________

Engkaulah sayang pujaan hati
hanya dirimu kurindu selama ini
usah biarkan kusendirian
diburu mimpiku di dalam kebimbangan

Musik...!



* Sekilas mengenai Istana Maimun

Istana Maimun adalah istana kebesaran Kesultanan Deli dengan warna kuningnya
(kuning merupakan warna kerajaan Melayu) dan khas gaya seni bina Melayu di
pesisir timur.

Ia merupakan salah satu mercu tanda yang terkenal di Medan, ibu kota Sumatera
Utara, Indonesia. Istana ini sebenarnya dirancang oleh seorang arkitek Itali
dan disiapkan pada tahun 1888 semasa pemerintahan Sultan Makmun Al Rasyid
Perkasa Alamsyah. Ia mempunyai keluasan 2,772 meter persegi, dan mempunyai
30 bilik. Binaan Istana Maimun menarik minat ramai pelancong kerana ia
mempunyai binaan yang dipengaruhi pelbagai kebudayaan, dari kebudayaan Melayu,
Islam, Sepanyol, India, dan Itali.

Ketika ini istana tersebut masih didiami oleh keluarga–keluarga sultan. Ruangan
pertemuan, foto–foto keluarga kerajaan Deli, perabot rumah tangga Belanda kuno
dan pelbagai senjata, terbuka bagi masyarakat yang ingin mengunjunginya.

Di istana ini pula terdapat Meriam Puntung yang merupakan peninggalan sejarah
daripada kerajaan Deli.

Satu blok dari istana Maimun kearah timur, berdiri Mesjid Raya dengan arkitek
yang menawan merupakan daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Medan dan
sangat mengagumkan.

Sumber :
http://ms.wikipedia.org/wiki/Istana_Maimun
__________________________________


Lagu Selasih kusangka mayang
__________________________________

Masih membasah lukaku
yang kau cipta dulu
begitu pedihnya
kini kau ulang kembali
kau sayat di atas duka lama

Musik...!





* Sekilas mengenai Putri Hijau dalam hubungannya dengan 
   Ular Simangombusdan Meriam Puntung


Abad 15 dan 16 adalah periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh,
Sumatera Timur, dan semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai,
berkonspirasi, dan saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada
zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka.

Di tengah kecamuk perebutan kue ekonomi itu, pada tepian sungai Deli–tepatnya
sekitar 9 km dari Labuhan Deli–lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau.

Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosa kata kecantikan,
bertahan hingga kini dalam dua versi.

Versi pertama berasal dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang
di masyarakat Melayu Deli.

Versi kedua adalah hikayat dari masyarakat Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan
sekali saling berlomba menonjolkan identitas dan ego suku masing-masing.

Dari versi lisan Melayu, konon pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita
di desa Siberaya, dekat hulu sungai Petani (sungai Deli). Kecantikannya memancarkan
warna kehijauan yang berkilau dan menjadi kesohor ke berbagai pelosok negeri, mulai
dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa.

Ia kemudian dinamai Puteri Hijau. Dalam hikayatnya, Sang Puteri memiliki dua saudara
kembar yang dipercaya adalah seekor naga bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam
bernama Meriam Puntung.

Alkisah, Ular Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan
seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan
makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya memutuskan
pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal
dengan nama Deli Tua.

Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu
cepat makmur.

Kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu
ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas kepincut dan mengirim bala tentara
untuk meminang Puteri Hijau.

Utusan langsung dikirim. Pantun bersahut-sahutan. Tapi pinangan ini ditolak dan
membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina
sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau.

Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.
Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-
panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan
ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang.

Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas
dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara
Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.

Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri
Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi
panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke Desa
Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe.

Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana
Maimoon Medan.

Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya,
menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan
(Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka.

Dan hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar
laut di sekitar Pulau Berhala.

Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap.
Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk
seterusnya dibawa ke Aceh.

Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara
untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan
berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.

Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat,
disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya,
Ular Simangombus, yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung.

Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau
Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia
sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga.

Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing
penceritanya.

Kabarnya, setelah di bawa pergi oleh Saudaranya, Ulat Simangombus. Sang raja Aceh
membawa sebagian hartanya dan orang orang kepercayaannya. Namun, saat sang Raja pulang.
Sang Raja Aceh tidak membawa harta dan para prajurit pilihannya.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Putri_Hijau

_______________

Lagu Ilusi
_______________

Waktu kududuk sendiri
kupandang awan memutih
berkuak berarak lalu
mengusik menyentuh kalbu

Musik...!





*Sekilas tentang Kerajaan Haru (aru) dalam 
hubungannya dengan Tanah Deli


Untuk penggunaan lain istilah Aru, lihat Aru (disambiguasi).
Kerajaan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri
di wilayah pantai timur Sumatera Utara sekarang.

Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton (1336) dalam teks Jawa
Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa) yang berbunyi sebagai
berikut “Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa,
sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa,
lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru,
ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana
ingsun amukti palapa” Bila dialih-bahasakan mempunyai arti :
“Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan
puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai)
Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan
Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.

Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama (1365)
sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf
1 dan 2.

Sementara itu dalam Suma Oriental [3] disebutkan bahwa kerajaan ini
merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang
memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang
ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires
juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru
yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui
Selat Melaka pada masa itu.

Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara
kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.

Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah
ditemukan di Kota Cina dan Kota Rantang.

Hal beda pendapat tentang wilayah kerajaan Haru

Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan
Haru.[4] Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri
kemudian, namun ada pula yang berpendapat Haru berpusat di
muara Sungai Panai.

Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di
muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat
Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru
berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat). [5]

Hal Marcopolo dengan Kerajaan Haru 

Dalam perjalanan Marco Polo di tahun 1292 Kerajaan Aru tidak disebutkan,
diindikasikan adanya 8 (delapan) kerajaan di Pulau Sumatera yang
seluruh penduduknya penyembah berhala.

Kunjungan ini bertepatan dengan pembentukan negara-negara pelabuhan
Islam pertama. Beberapa kerajaan yang disebutkan Ferlec (Perlak),
Fansur (Barus),Basman (Peusangan)-di daerah Bireuen sekarang- ,
Samudera (kemudian dikenal Pasai) dan Dagroian (Pidie).

Tiga kerajaan lainnya tidak disebutkan. Sumber lain menambahkan
Lambri (Lamuri) dan Battas (Batak).

Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang
menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina
pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara
penguasa Haru pada 1295.

 Hal Kerajaan Haru dan agama Islam

Islam masuk ke kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-13.
Kemungkinan Haru lebih dulu memeluk agama Islam daripada Pasai,
seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh
Tome Pires[4].

Sementara peduduknya masih belum semua memeluk Islam, sebagaimana
dalam catatan d'Albuquerque (Afonso de Albuquerque) (Commentarios,
1511, BabXVIII) dinyatakan bahwa penguasa kerajaan-kerajaan kecil
di Sumatera bagian Utara dan Sultan Malaka biasa memiliki orang
kanibal sebagai algojo dari sebuah negeri yang bernama Aru.[8]

Juga dalam catatan Mendes Pinto (1539), dinyatakan adanya masyarakat
'Aaru' di pesisir Timur Laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang
muslim, sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah
mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-
orang kanibal penganut paganisme.

Namun tidak ditemukan pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber
Tionghoa zaman itu.

Terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo,
seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang
mengandung nama dan marga Karo.

Pada abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa
"Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina
tahun 1411.

Hal Kerajaan Haru dan Laksamana Chen Ho 

Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho.
Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru,
namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina.

Pada masa ini Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai
kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini
dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun
dalam Sejarah Melayu.

Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di
Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka,
serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke
Bintan.

Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan
mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya.

Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya,
dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan raja Haru,
Sultan Husain.

Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526
Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi
Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak.

Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan
sekitar masa itu raja Haru Sultan Ali Boncar terbunuh oleh pasukan
Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada
Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus
Kesultanan Malaka dan Bintan).

Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat
bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang
dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa.

Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak
dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.

Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam
surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan,
bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor gajah dan sejumlah besar
persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan peperangan-
peperangan di Aru.

Hal bergantinya nama Haru jadi Deli

Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli.
Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669,
dengan nama Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam
pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan
dibentuknya Kesultanan Serdang di tahun 1723.
Sosial, Ekonomi, dan Budaya[sunting]

Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana
disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang
ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya .

Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu disebutkan
kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir
Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera
Pasai pada pertengahan abad ke-13.

Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa adat istiadat seperti
perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa, pertukangan, dan
hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa.

Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan
bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu
sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya
berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti
kemenyan.

Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya
juga sudah mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka
membawa panah beracun untuk perlindungan diri.

Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain,
sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter dengan
barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera,
manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96) [5].

Peninggalan arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki
hubungan dagang dengan Cina dan India. [14].Namun dalam catatan
Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 Haru
bukanlah pusat perdagangan yang besar. [4].

Agaknya kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam
menarik minat pedagang yang pada masa sebelumnya aktif mengunjungi
Kota Cina. Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka ke
perompakan.[14]

Haru memakai adat Melayu, dan dalam Sulalatus Salatin para pembesarnya
menggunakan gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan" dan "Sri Indera".
Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak sepenuhnya,
dan unsur-unsur adat non-Melayu (Batak/Karo) masih ada.
Daftar raja-raja[sunting]

Sultan Husin (...-...)
Sultan Mansur Shah (1456-1477)
Sultan Ali Boncar (...-...)

Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran
lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum
pengaruh Aceh. Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal.

Urung XII Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-
masing berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo),
yakni Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo),
Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga Barus).
Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan
calon pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempakan Datuk
Sunggal sebagai Ulun Janji. [16]
Rujukan[sunting]


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Aru
_______________________

Lagu Jauh di sayang
_______________________

Rindukah hatimu pada diriku
yang kini jauh dari dirimu
kalau diriku ingat selalu
padamu kasih yang kini jauh

Musik...!






*Sekilas mengenai Kesultanan Melayu Deli memisahkan diri dari Aceh

Kesultanan Melayu Deli pertama kali didirikan oleh Muhammad Dalik pada 1653 M
(versi lain menyebut 1630 M), sebagai negeri bawahan Kesultanan Aceh.
Muhammad Dalik atau yang lazim dikenal sebagai Gocah Pahlawan adalah
seorang pemuka yang menjadi laksamana di Kesultanan Aceh dengan gelar,
Laksamana Khuja Bintan atau Laksamana Kuda Bintan.

Beliau adalah keturunan dari Amir Muhammad Badaruddin Khan, seorang
bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri
Sultan Samudra Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil
bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah Sungai
Lalang-Percut.

Dalik meninggal pada tahun 1653. Bila merunut sumber sejarah arusutama,
berarti ia wafat persis setelah mendeklarasikan Kesultanan Melayu Deli.
Suksesi kekuasaan pun dilanjutkan oleh putranya, Tuanku Panglima
Perunggit.

Pada 1669, Sultan Deli yang baru ini pun mengumumkan pemisahan
kerajaannya dari Aceh.

Kekacauan mulai terjadi setelah kekuasaan berpindah ke tangan
Sultan Deli ke-3, Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli.

Saat ia wafat, sempat terjadi perebutan kekuasaan antara putra-
putranya dan menjadi awal berdirinya Kesultanan Serdang.


Sumber :
http://squadpost.com/tag/kesultanan-melayu-deli/#sthash.gyIyLbhH.dpbs

___________________________

Lagu-lagu Melayu Tambahan
___________________________

1. Lagu Khayal Penyair

Kawanku yang setia
hanyalah bayangan
hidup di dunia khayal
di dalam angan-angan

Musik...!





2. Lagu Bunga Tanjung

Harum baumu hai bunga tanjung
harum semerbak di waktu pagi
tinggi pangkatmu bagai dianjung sayang
ingatlah-igat gugur ke bumi

Musik...!



Lagu Lancang Kuning

Lancang kuning
lancang kunning
berlayar malam
haluan menuju
haluan menju
ke laut lepas

Musik...!


_________

Penutup
_________

* Proses berkunjung ke Istana Maimun

Pada intinya siapapun boleh berkunjung ke istana tersebut. Tidak
ada pembatasan usia, jenis kelamin ataupun suku termasuk agama.

Peninggalan sejarah, baik dalam bentuk barang maupun photo
sebagian besar keberadaannya ada di lantai 2-nya (setelah lantai
dasar)

Demi terjaganya kebersihan, pihak penerima tamu Istana Maimun
meyarankan sangat agar sandal dan sepatu pada saat berkun jung
harus di buka.

Dan mungkin untuk perawatan, kebersihan, dll pihak penerima
tamu menyarakan pada pengunjungnya agar membayar Rp. 5000
(Lima ribu Rupiah) sekali masuk pada setiap orang.

Pihak pengelola Istana memberi izin pada setiap pengunjungnya
untuk memphoto / kodak pada setiap barang atau photo yang
dipertunjukkan

Lantai Istana atas sepertinya sebag aian telah diberi karamin,
sebagian lagi m asih menggun kan lantai papan.

Seperti halnya Melayu di wilayah manapun, Istana ini juga
didominasi warna kuning dan hijau.

Dilingkungan istana ini (Samping dan belakang) pada umumnya
didiami oleh keturan para Sultan Deli)

Dan dibelakanyapun cukup banyak terdapat pekuburan para
keluarga Sulatan Deli tersebut.

Macam makanan khas Medan juga tersedia dilingkungan
(Samping kiri kanan) istana tersebut. Juga tersedia di
sebelah janan istana tempat parkir untuk kendaraan roda
dua dan empat.

* Penilaian penulis (saran)

1. Tak dapat dipungkiri bahwa istana ini adalah bagian utama
dari pada apa yang disebut kota medan atau deli. Tanpa
sejarah istana ini bukan tidak mungkin kota Medan juga tidak
akan seperti sekarang ini.

2. Karena itu, jika sebelum pemerintah kota Medan hanya memberikan
perhatiannya ke istana ini sedikit sekali alangkah baiknya kedepan
lebih di tingkatkan hingga pertinggal sejarah ini dapat tetap
lestari ke masa-masa mndatang.


3. Dibelakang istana ini sepertinya terdapat pemakaman daripada
beberapa Sultan tersebut, termasuk para keturunannya. Alangkah
baiknya jika rumput-rumput yang tumbuh dikuburan tersebut
dibersihkan, karena besar kemungkinan para pengunjung juga
akan melihat kesana.

4. Penulis lihat di halam istana ada sejenis palang merk yang
di semen dan berisi 12 nama-nama Sultan Deli, tapi sayang
palang ini tidak terlalu terlihat pengunjung karena terhalang
oleh warung penjual makanan dan rokok. Tidakkah lebih penting
plang ini dari pada warung tersebut mengingat Istana Maimun
adalah objek parawisata juga.


5. Fakta berkata, "Hidup ini memang penuh persaingan" dan macam
sukupun bersaing untuk dapat bertahan di Kota Medan. Penulis
berharap kiranya para generasi penerus para Sultan Deli ini
dapat menjadi yang terbaik diantara yang terbaik dari semua
suku yang ada di kota medan.

"Sesayang-sayangnya suku lain pada sejarah Melayu Deli itu,
tentu harus lebih sayang suku Melayu Deli itu sendiri pada
sejarahnya pada istananya dan pada sultannya".

Semoga...!

Selamat malam para kawan dan horas Tanah Deli...!
________________________________________________________________
Cat :


PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork

No comments:

Post a Comment