#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Sutan Pangurabaan dalam proses penerbitan
buku sekaligus menjawab pertanyaan Sahat P. Siburian sehubungan
dengan penerbitan buku-buku Angkola)
________________________________________________________
________________
Kata Pengantar
________________
Postingan ini adalah kelengkapan dari link :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2013/11/buku-batak-
menunggu-buku-buku-batak.html
Para dongan...! Sebelum tulisan ini dilanjut, ada baiknya penulis
terlebih dahulu mengucapkan "Terimaksih pada Sahat P. Siburian,
anggota Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK), Medan.
Angkolafacebook.blogspot.com mengucapkan terimakasih pada Sahat
P. Siburian atas sajian informasinya mengenai Sutan Pangurabaan.
Sungguh suatu informasi yang memberi manfaat tentang pengetahuan
masalalu pun cukup memotivasi untuk masa yang akan datang,
"Majulah penerbitan buku-buku Angkola Tapanuli Selatan".
Berikut info tentang Sutan Pangurabaan dalam proses penerbitan
buku-buku dalam hubungannya dengan kemajuan pendidkan di Angkola.
Info dari Sahat P. Siburian ini akan penulis tanggapi pada sub
judul penutup tulisan. Selamat menyimak...!
_____________________________________________
Sutan Panguraban Oleh: Sahat P. Siburian
_____________________________________________
Menulis dan menerbitkan buku bukan sekadar membangun budaya
komunikasi tulisan (literasi) dan intelektualitas. Tapi juga
sebagai strategi atau taktik untuk merawat budaya sendiri agar
tidak tergerus digempur modernitas.
Fenomena inilah yang tercermin dalam kiprah seorang penulis
dan penerbit buku dari Sipirok, yaitu Sutan Pangurabaan Pane.
Ia lahir tahun 1885 (?) di Sipirok, Tapanuli Selatan. Sempat
jadi guru dan kepala sekolah di Hollandsch-Inlandsche Scholen
(HIS) di Padangsidempuan. Lalu, sekitar tahun 1910-an, ia keluar
dari jajaran birokrat pendidikan Hindia Belanda.
Beralih menjadi jurnalis, penulis dan penerbit buku di
Padangsidempuan, Sibolga, dan di Sipirok. Hingga tahun 1937,
Sutan Pangurabaan Pane berhasil menulis dan menerbitkan 17 judul
buku. Semua ditulis dan diterbitkan secara mandiri. Pencetak
dan penerbit adalah “Partopan Tapanoeli” di Padangsidempuan,
“Partopan Sibolga”, dan “Peroesahaan Indonesia” di Sipirok.
Kedua usaha yang disebut terakhir dikelola oleh Sutan Pangurabaan
Pane.
Penulis Independen Sutan Pangurabaan Pane memproduksi buku
tanpa sponsor dana dari pihak pemerintah kolonial Belanda.
Hampir semua buku karyanya tidak memperoleh legitimasi formal
dari birokrasi pendidikan. Ia menetapkan sikap tidak berafiliasi
dengan rezim penguasa. Tapi menggalang potensi kaum pribumi.
Fakta ini membuatnya pantas disebut sebagai penulis dan penerbit
independen.
Aktivitas penulisan dan penerbitan buku di kawasan selatan
Tapanuli dieksplorasi antropolog Prof. Dr. Susan Rodgers dalam
“Sutan Pangurabaan Rewrites Sumatran Language Landscapes:
The Political Possibilities of Commercial Print in the Late
Colonial Indies”.
Esai ini dipublikasikan tahun 2012 dan dapat ditemukan pada
laman www.kitlv-journals.nl.
Rodgers mencatat, kiprah Sutan Pangurabaan Pane dalam memproduksi
buku berbeda dengan beberapa penulis lain. Sebutlah misalnya
Sutan Martua Raja Siregar di Sipirok dan Willem Iskander Nasution
di Mandailing. Kedua nama ini mendapat penugasan resmi dari
pemerintah kolonial untuk menulis buku-buku teks berbahasa Batak.
Tulisan-tulisan Siregar dan Nasution diarahkan untuk mendukung
tujuan kolonial. Yakni menentukan arah intelektualitas dan
membentuk karakter murid-murid sekolah. Konstruksi tulisan
mereka diorientasikan untuk memotivasi murid sekolah agar
berperilaku baik, bersih, sadar kesehatan, jadi pekerja keras,
hormat dan tunduk kepada penguasa (Rodgers, 2012: 26-27).
Pemahaman tersebut urgen disosialisasikan, karena pihak kolonial
Belanda memformulasikan stereotip orang Batak sebagai terbelakang
dan kurang patuh pada pemangku otoritas Hindia Belanda
(Rodgers, 2012: 30).
Kegiatan menulis buku juga berlangsung di daerah bagian utara
Tapanuli. Tercatat dua nama yang terbilang aktif menulis buku,
yaitu Arsenius Lumbantobing dan Lukas Hutapea. Mereka memproduksi
buku bacaan untuk anak-anak sekolah.
Tapi hampir semua buku karya mereka mengikuti standar misionaris
Eropa. Pihak misionaris Rheinsiche Missionsgesellschaft (RMG),
Jerman, memang giat mengontrol buku bacaan murid-murid sekolah.
Kriterianya didasarkan pada apakah suatu buku selaras dan
mendukung tujuan-tujuan sending. Selama masa misionaris RMG
bekerja di bagian utara Tapanuli (1864-1940), tidak ada seorang
penulis buku yang independen seperti Sutan Pangurabaan Pane.
Pewarisan Nilai
Meskipun Sutan Pangurabaan Pane fasih berbahasa Belanda dan
Melayu (Indonesia kini), tapi ia lebih banyak menulis buku
dalam bahasa Batak Angkola. Karena baginya, bahasa Batak
Angkola adalah “saro hita” atau ‘bahasa kita’
(Rodgers, 2012: 30).
Ia merayakan saro hita melalui publikasi tertulis. Dengan saro
hita, ia menggarap tema tentang agama Islam, budaya dan tradisi
Batak, modernitas, sastra, dan buku bacaan khusus untuk anak
sekolah.
Merujuk catatan Rodgers (2012: 35, 53-54), Sutan Pangurabaan
Pane menulis empat buku bertema agama Islam: “Roekoen Bersoetji,
Roekoen Soembajang sanga Roekoen Toloe Bolas na ni Boeat sian
Kitab Islam” (1933); “Roekoen Iman dohot Roekoen Islam” (1933);
“Hata Soembajang” (1933); “Kehidoepan bagi Djasmani dan Rohani”
(1937).
Lima buku tentang budaya dan tradisi Batak: “Hata ni Pangoepa
dohot Hobar di Kandoeri di Hordja dohot na Asing” (1934); “Parpa
danan: Hata Sipadage-dageon taringot toe Hata Batak” (1935);
“Woordenboek Bataksch-Maleisch” (1935); “Adat” (1937); “Parhalaan:
Tondoeng, Hatiha dohot Hadatoeon” (1937). Dua buku menampilkan
tema modernitas: “Mentjapai Doenia Baroe: Djendjang Kemadjoean
bagi Diri, Bangsa, dan Tanah Air” (1934), dan “Anggota” (1935).
Selain itu, Sutan Pangurabaan Pane menulis empat buku berdimensi
karya sastra: “Tolbok Haleon: Siriaon di na Tobang, Sipaingot
toe Naposo Boeloeng” (1916); “Ampang Limo Bapole, Toeri-toerian”
(1930); “Na Mongkol” (1931); “Nai Marlangga” (1933).
Terdapat pula dua jilid buku bacaan khusus untuk anak sekolah,
yaitu: “Singgorit I, II: Boekoe Basaon” (1930).
Kategorisasi buku-buku tersebut pada dasarnya bersifat fleksibel.
Karena semua juga ditujukan untuk murid-murid sekolah dan kaum
terdidik. Melalui karyanya, Sutan Pangurabaan Pane menegaskan
suatu komitmen pada agama Islam dan budaya Batak.
Ia dengan jelas memperlihatkan identitas sebagai penganut agama
Islam dan pengampu budaya Batak. Komitmen Sutan Pangurabaan Pane
pada budaya leluhur tidak hanya tercermin dalam penggunaan bahasa
Batak saja. Tapi tampak pula dari pemakaian istilah-istilah
tertentu. Misalnya kosakata “singgorit” diangkat jadi judul
buku bacaan: “Singgorit I, II: Boekoe Basaon”.
Dalam tradisi Batak Angkola, menurut seorang pendeta GKPA, Pdt.
Laurensius Pasaribu, STh., kata “singgorit” menunjuk pada seutas
tali yang dirajut dari kulit kayu dan lazim dipakai sebagai
pijakan kaki saat memanjat pohon.
Berarti dengan menampilkan istilah “singgorit” jadi judul buku,
Sutan Pangurabaan Pane hendak mengasosiasikan buku-buku bacaan
bagaikan “singgorit”. Yakni sebagai pijakan menuju puncak atau
tahapan untuk meraih tujuan.
Ilustrasi itu mengabstraksikan makna buku dalam perspektif
Sutan Pangurabaan Pane. Melalui buku, ia niscaya berpretensi
pula untuk mewariskan nilai-nilai agama dan budaya. Pewarisan
nilai-nilai dimaksud tidak sekadar imitasi dan reproduksi.
Tapi terlebih untuk melecut revitalisasi agama dan budaya di
tengah gempuran modernitas atau “jaman hamadjoean” (zaman
kemajuan) dalam konteks kolonial.
*Taktik Cerdas
Sutan Pangurabaan Pane mengoordinasi distribusi dan pemasaran
buku-buku karyanya. Ia memanfaatkan hubungan kekerabatan dan
pertemanan sebagai jaringan atau agen lokal. Upaya ini ditempuh
agar buku-bukunya dapat tersebar kepada murid sekolah dan khalayak.
Memang menurut Rodgers (2012: 29), Sutan Pangurabaan Pane merancang
buku untuk bahan belajar di rumah. Juga dimaksudkan untuk melengkapi
buku pelajaran resmi terbitan birokrasi pendidikan Belanda. Ia ingin
agar anak-anak sekolah menggunakan waktu luang dengan membaca dan
belajar sendiri.
Disebut melengkapi, karena banyak publikasi Sutan Pangurabaan
Pane menginspirasi pembaca agar bangga hidup dalam dunia sosial
Batak dan kritis memandang negara kolonial Belanda. Ia menulis
cerita-cerita, dikemas dengan cerdik untuk mendorong murid
mempertanyakan otoritas dan dominasi kolonial Belanda.
untuk mengembangkan sikap kritis terhadap pelajaran para
murid di sekolah-sekolah pemerintah (Rodgers, 2012: 26-29).
Dalam kaitan itulah, Rodgers (2012: 26-54) menduga bahwa Sutan
Pangurabaan Pane telah menggunakan media cetak komersial
sebagai wahana politik pada masa kolonial Belanda. Media cetak
dimaksud mencakup semua produk percetakan, terutama surat kabar
dan buku.
Begitulah Sutan Pangurabaan Pane tidak pasrah mengikuti arus utama
hasil konstruksi kolonial Belanda. Tapi ia coba menerapkan suatu
taktik yang cerdas. Yakni dengan menulis dan menerbitkan buku
secara mandiri, yang diniatkan untuk mencerahkan publik dalam
komunitasnya sendiri.
Boleh jadi, Sutan Pangurabaan Pane melakukan semua itu berlandaskan
keyakinan dan keinsyafan. Bahwa arus utama kekuasaan sering mengalir
dengan mengorbankan kearifan lokal dan bahkan membiarkan etnis
tertentu tercerabut dari akar budayanya sendiri. Maka belajar
dari Sutan Pangurabaan Pane, kita patut melakukan suatu taktik
cerdik mengkritisi misi-misi penguasa. Gerakan semacam itu,
terutama dengan menulis buku, mungkin hingga kini tidak ada lagi
di kalangan warga Tapanuli. Entah sampai kapan.***
_________________________________
Penutup (Tanggapan dan Saran )
_________________________________
* Hal info secara umum
1. Jika memang demikian halnya, penulis berasumsi sungguh luar
biasa rasa cinta dari Sutan Pangurabaan ini pada tanah kelahirannya,
2. Beliau rela menulis dan menerbitkan sendiri buku-buku batak,
khsusnya Angkola demi kemajuan pendidikan itu sendiri.
3. Ragam bukunya memberi gambaran bahwa Sutan Pangurabaan bukan
saja cinta pada dunia mendidikan demi kemajuan putra Angkola,
juga sangat mencinta budaya dan tradisi Batak, pun pengetahuan
agama Islam.
4. Kesadarannya akan terbatasnya hak seorang warga negara di
bahwah pmerintahan Hindia Belanda, juga ketidak sediaannya atas
campurtangan pihak Belanda memaksanya untuk berstrategi yang
mungkin dalam istilah medan disebut "Cantik Main" dalam
memajukan dunia pendidikan yang sekaligus sebagai gambaran
"telah dilakukannya perlawanan secara tidak langsung pada
pihak Belanda.
* Hal info penulisan buku
1. Pada uraian tu lisan Sahan P. Siburian mengatakan :
Boleh jadi, Sutan Pangurabaan Pane melakukan semua itu berlandaskan
keyakinan dan keinsyafan. Bahwa arus utama kekuasaan sering mengalir
dengan mengorbankan kearifan lokal dan bahkan membiarkan etnis
tertentu tercerabut dari akar budayanya sendiri. Maka belajar
dari Sutan Pangurabaan Pane, kita patut melakukan suatu taktik
cerdik mengkritisi misi-misi penguasa. Gerakan semacam itu,
terutama dengan menulis buku, mungkin hingga kini tidak ada lagi
di kalangan warga Tapanuli. Entah sampai kapan.***
Terhadap hal ini penulis ingin berkata, "Memang benar arus utama
kekuasaan sering mengorbankan earifan lokal, apalagi dimasa
sekarang ini, masa dimana adat dan budaya sepertinya mulai
terkikis oleh kemajuan jaman dan ketakutan para halak hita
untuk disebut "ketinggalan jaman".
2. Mengacu pada keadaan sekarang, memang benar Sahat P Siburian,
sungguh sangat jarang, atau mungkin tidak ada buku -buku khsusus
yang diterbitkan halak hita yang inti pesannya, "Sebagai bentuk
protes pada kealiman penguasa apalagi buku tersebut dengan
menggunakan "Saro Hita".
3. Begitupun dalam bentuk tulisan lain sebagai gambaran protes
pada kesewenang-wenangan pemerintah, tentu sangat banyak di
tulis halak hitai khsusnya mereka yang terjun dalam dunia
kesusastraan atau dunia kewartawanan
4. Memang para halak hita sannari bedala pula dengan halak di
Masa Sutan Pangurabaan, "Ada kecendurungan halak hitai sannari
menulis lebih dipengaruhi jumlah pencairannya dari pada rasa
sukanya pada suatu topik yang ditulis".
5. Artinya bagi penulis, penulis setuju pada pernyataan Sahat
P Siburian yang mengatakan "Gerakan semacam itu, terutama dengan
menulis buku, mungkin hingga kini tidak ada lagi"
*Hal Saran
Meski tidak ada yang seperti Sutan Pangurabaan Pane, tentu
tetap tak salah kita berharap agar suatu saat "Tetap ada yang
seperti beliau". Rela berkorban demi kemajuan pendidkan budaya
dan sastra Angkola itu.
Dan yang namanya berharap tentu tak salah harap pula, jika
kita berharap agar parmarga harahap pula yang paling kita
harap untuk menulis buku-bku Angkola masa depan itu.
Semoga...! Dan kami menunggu Harahap.
Para dongan...! Selamat malam
____________________________________________________________
Cat :
http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/32258/taktik-seorang-penulis-buku-di-tapanuli
(Menyimak info sekitar Sutan Pangurabaan dalam proses penerbitan
buku sekaligus menjawab pertanyaan Sahat P. Siburian sehubungan
dengan penerbitan buku-buku Angkola)
________________________________________________________
________________
Kata Pengantar
________________
Postingan ini adalah kelengkapan dari link :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2013/11/buku-batak-
menunggu-buku-buku-batak.html
Para dongan...! Sebelum tulisan ini dilanjut, ada baiknya penulis
terlebih dahulu mengucapkan "Terimaksih pada Sahat P. Siburian,
anggota Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK), Medan.
Angkolafacebook.blogspot.com mengucapkan terimakasih pada Sahat
P. Siburian atas sajian informasinya mengenai Sutan Pangurabaan.
Sungguh suatu informasi yang memberi manfaat tentang pengetahuan
masalalu pun cukup memotivasi untuk masa yang akan datang,
"Majulah penerbitan buku-buku Angkola Tapanuli Selatan".
Berikut info tentang Sutan Pangurabaan dalam proses penerbitan
buku-buku dalam hubungannya dengan kemajuan pendidkan di Angkola.
Info dari Sahat P. Siburian ini akan penulis tanggapi pada sub
judul penutup tulisan. Selamat menyimak...!
_____________________________________________
Sutan Panguraban Oleh: Sahat P. Siburian
_____________________________________________
Menulis dan menerbitkan buku bukan sekadar membangun budaya
komunikasi tulisan (literasi) dan intelektualitas. Tapi juga
sebagai strategi atau taktik untuk merawat budaya sendiri agar
tidak tergerus digempur modernitas.
Fenomena inilah yang tercermin dalam kiprah seorang penulis
dan penerbit buku dari Sipirok, yaitu Sutan Pangurabaan Pane.
Ia lahir tahun 1885 (?) di Sipirok, Tapanuli Selatan. Sempat
jadi guru dan kepala sekolah di Hollandsch-Inlandsche Scholen
(HIS) di Padangsidempuan. Lalu, sekitar tahun 1910-an, ia keluar
dari jajaran birokrat pendidikan Hindia Belanda.
Beralih menjadi jurnalis, penulis dan penerbit buku di
Padangsidempuan, Sibolga, dan di Sipirok. Hingga tahun 1937,
Sutan Pangurabaan Pane berhasil menulis dan menerbitkan 17 judul
buku. Semua ditulis dan diterbitkan secara mandiri. Pencetak
dan penerbit adalah “Partopan Tapanoeli” di Padangsidempuan,
“Partopan Sibolga”, dan “Peroesahaan Indonesia” di Sipirok.
Kedua usaha yang disebut terakhir dikelola oleh Sutan Pangurabaan
Pane.
Penulis Independen Sutan Pangurabaan Pane memproduksi buku
tanpa sponsor dana dari pihak pemerintah kolonial Belanda.
Hampir semua buku karyanya tidak memperoleh legitimasi formal
dari birokrasi pendidikan. Ia menetapkan sikap tidak berafiliasi
dengan rezim penguasa. Tapi menggalang potensi kaum pribumi.
Fakta ini membuatnya pantas disebut sebagai penulis dan penerbit
independen.
Aktivitas penulisan dan penerbitan buku di kawasan selatan
Tapanuli dieksplorasi antropolog Prof. Dr. Susan Rodgers dalam
“Sutan Pangurabaan Rewrites Sumatran Language Landscapes:
The Political Possibilities of Commercial Print in the Late
Colonial Indies”.
Esai ini dipublikasikan tahun 2012 dan dapat ditemukan pada
laman www.kitlv-journals.nl.
Rodgers mencatat, kiprah Sutan Pangurabaan Pane dalam memproduksi
buku berbeda dengan beberapa penulis lain. Sebutlah misalnya
Sutan Martua Raja Siregar di Sipirok dan Willem Iskander Nasution
di Mandailing. Kedua nama ini mendapat penugasan resmi dari
pemerintah kolonial untuk menulis buku-buku teks berbahasa Batak.
Tulisan-tulisan Siregar dan Nasution diarahkan untuk mendukung
tujuan kolonial. Yakni menentukan arah intelektualitas dan
membentuk karakter murid-murid sekolah. Konstruksi tulisan
mereka diorientasikan untuk memotivasi murid sekolah agar
berperilaku baik, bersih, sadar kesehatan, jadi pekerja keras,
hormat dan tunduk kepada penguasa (Rodgers, 2012: 26-27).
Pemahaman tersebut urgen disosialisasikan, karena pihak kolonial
Belanda memformulasikan stereotip orang Batak sebagai terbelakang
dan kurang patuh pada pemangku otoritas Hindia Belanda
(Rodgers, 2012: 30).
Kegiatan menulis buku juga berlangsung di daerah bagian utara
Tapanuli. Tercatat dua nama yang terbilang aktif menulis buku,
yaitu Arsenius Lumbantobing dan Lukas Hutapea. Mereka memproduksi
buku bacaan untuk anak-anak sekolah.
Tapi hampir semua buku karya mereka mengikuti standar misionaris
Eropa. Pihak misionaris Rheinsiche Missionsgesellschaft (RMG),
Jerman, memang giat mengontrol buku bacaan murid-murid sekolah.
Kriterianya didasarkan pada apakah suatu buku selaras dan
mendukung tujuan-tujuan sending. Selama masa misionaris RMG
bekerja di bagian utara Tapanuli (1864-1940), tidak ada seorang
penulis buku yang independen seperti Sutan Pangurabaan Pane.
Pewarisan Nilai
Meskipun Sutan Pangurabaan Pane fasih berbahasa Belanda dan
Melayu (Indonesia kini), tapi ia lebih banyak menulis buku
dalam bahasa Batak Angkola. Karena baginya, bahasa Batak
Angkola adalah “saro hita” atau ‘bahasa kita’
(Rodgers, 2012: 30).
Ia merayakan saro hita melalui publikasi tertulis. Dengan saro
hita, ia menggarap tema tentang agama Islam, budaya dan tradisi
Batak, modernitas, sastra, dan buku bacaan khusus untuk anak
sekolah.
Merujuk catatan Rodgers (2012: 35, 53-54), Sutan Pangurabaan
Pane menulis empat buku bertema agama Islam: “Roekoen Bersoetji,
Roekoen Soembajang sanga Roekoen Toloe Bolas na ni Boeat sian
Kitab Islam” (1933); “Roekoen Iman dohot Roekoen Islam” (1933);
“Hata Soembajang” (1933); “Kehidoepan bagi Djasmani dan Rohani”
(1937).
Lima buku tentang budaya dan tradisi Batak: “Hata ni Pangoepa
dohot Hobar di Kandoeri di Hordja dohot na Asing” (1934); “Parpa
danan: Hata Sipadage-dageon taringot toe Hata Batak” (1935);
“Woordenboek Bataksch-Maleisch” (1935); “Adat” (1937); “Parhalaan:
Tondoeng, Hatiha dohot Hadatoeon” (1937). Dua buku menampilkan
tema modernitas: “Mentjapai Doenia Baroe: Djendjang Kemadjoean
bagi Diri, Bangsa, dan Tanah Air” (1934), dan “Anggota” (1935).
Selain itu, Sutan Pangurabaan Pane menulis empat buku berdimensi
karya sastra: “Tolbok Haleon: Siriaon di na Tobang, Sipaingot
toe Naposo Boeloeng” (1916); “Ampang Limo Bapole, Toeri-toerian”
(1930); “Na Mongkol” (1931); “Nai Marlangga” (1933).
Terdapat pula dua jilid buku bacaan khusus untuk anak sekolah,
yaitu: “Singgorit I, II: Boekoe Basaon” (1930).
Kategorisasi buku-buku tersebut pada dasarnya bersifat fleksibel.
Karena semua juga ditujukan untuk murid-murid sekolah dan kaum
terdidik. Melalui karyanya, Sutan Pangurabaan Pane menegaskan
suatu komitmen pada agama Islam dan budaya Batak.
Ia dengan jelas memperlihatkan identitas sebagai penganut agama
Islam dan pengampu budaya Batak. Komitmen Sutan Pangurabaan Pane
pada budaya leluhur tidak hanya tercermin dalam penggunaan bahasa
Batak saja. Tapi tampak pula dari pemakaian istilah-istilah
tertentu. Misalnya kosakata “singgorit” diangkat jadi judul
buku bacaan: “Singgorit I, II: Boekoe Basaon”.
Dalam tradisi Batak Angkola, menurut seorang pendeta GKPA, Pdt.
Laurensius Pasaribu, STh., kata “singgorit” menunjuk pada seutas
tali yang dirajut dari kulit kayu dan lazim dipakai sebagai
pijakan kaki saat memanjat pohon.
Berarti dengan menampilkan istilah “singgorit” jadi judul buku,
Sutan Pangurabaan Pane hendak mengasosiasikan buku-buku bacaan
bagaikan “singgorit”. Yakni sebagai pijakan menuju puncak atau
tahapan untuk meraih tujuan.
Ilustrasi itu mengabstraksikan makna buku dalam perspektif
Sutan Pangurabaan Pane. Melalui buku, ia niscaya berpretensi
pula untuk mewariskan nilai-nilai agama dan budaya. Pewarisan
nilai-nilai dimaksud tidak sekadar imitasi dan reproduksi.
Tapi terlebih untuk melecut revitalisasi agama dan budaya di
tengah gempuran modernitas atau “jaman hamadjoean” (zaman
kemajuan) dalam konteks kolonial.
*Taktik Cerdas
Sutan Pangurabaan Pane mengoordinasi distribusi dan pemasaran
buku-buku karyanya. Ia memanfaatkan hubungan kekerabatan dan
pertemanan sebagai jaringan atau agen lokal. Upaya ini ditempuh
agar buku-bukunya dapat tersebar kepada murid sekolah dan khalayak.
Memang menurut Rodgers (2012: 29), Sutan Pangurabaan Pane merancang
buku untuk bahan belajar di rumah. Juga dimaksudkan untuk melengkapi
buku pelajaran resmi terbitan birokrasi pendidikan Belanda. Ia ingin
agar anak-anak sekolah menggunakan waktu luang dengan membaca dan
belajar sendiri.
Disebut melengkapi, karena banyak publikasi Sutan Pangurabaan
Pane menginspirasi pembaca agar bangga hidup dalam dunia sosial
Batak dan kritis memandang negara kolonial Belanda. Ia menulis
cerita-cerita, dikemas dengan cerdik untuk mendorong murid
mempertanyakan otoritas dan dominasi kolonial Belanda.
untuk mengembangkan sikap kritis terhadap pelajaran para
murid di sekolah-sekolah pemerintah (Rodgers, 2012: 26-29).
Dalam kaitan itulah, Rodgers (2012: 26-54) menduga bahwa Sutan
Pangurabaan Pane telah menggunakan media cetak komersial
sebagai wahana politik pada masa kolonial Belanda. Media cetak
dimaksud mencakup semua produk percetakan, terutama surat kabar
dan buku.
Begitulah Sutan Pangurabaan Pane tidak pasrah mengikuti arus utama
hasil konstruksi kolonial Belanda. Tapi ia coba menerapkan suatu
taktik yang cerdas. Yakni dengan menulis dan menerbitkan buku
secara mandiri, yang diniatkan untuk mencerahkan publik dalam
komunitasnya sendiri.
Boleh jadi, Sutan Pangurabaan Pane melakukan semua itu berlandaskan
keyakinan dan keinsyafan. Bahwa arus utama kekuasaan sering mengalir
dengan mengorbankan kearifan lokal dan bahkan membiarkan etnis
tertentu tercerabut dari akar budayanya sendiri. Maka belajar
dari Sutan Pangurabaan Pane, kita patut melakukan suatu taktik
cerdik mengkritisi misi-misi penguasa. Gerakan semacam itu,
terutama dengan menulis buku, mungkin hingga kini tidak ada lagi
di kalangan warga Tapanuli. Entah sampai kapan.***
_________________________________
Penutup (Tanggapan dan Saran )
_________________________________
* Hal info secara umum
1. Jika memang demikian halnya, penulis berasumsi sungguh luar
biasa rasa cinta dari Sutan Pangurabaan ini pada tanah kelahirannya,
2. Beliau rela menulis dan menerbitkan sendiri buku-buku batak,
khsusnya Angkola demi kemajuan pendidikan itu sendiri.
3. Ragam bukunya memberi gambaran bahwa Sutan Pangurabaan bukan
saja cinta pada dunia mendidikan demi kemajuan putra Angkola,
juga sangat mencinta budaya dan tradisi Batak, pun pengetahuan
agama Islam.
4. Kesadarannya akan terbatasnya hak seorang warga negara di
bahwah pmerintahan Hindia Belanda, juga ketidak sediaannya atas
campurtangan pihak Belanda memaksanya untuk berstrategi yang
mungkin dalam istilah medan disebut "Cantik Main" dalam
memajukan dunia pendidikan yang sekaligus sebagai gambaran
"telah dilakukannya perlawanan secara tidak langsung pada
pihak Belanda.
* Hal info penulisan buku
1. Pada uraian tu lisan Sahan P. Siburian mengatakan :
Boleh jadi, Sutan Pangurabaan Pane melakukan semua itu berlandaskan
keyakinan dan keinsyafan. Bahwa arus utama kekuasaan sering mengalir
dengan mengorbankan kearifan lokal dan bahkan membiarkan etnis
tertentu tercerabut dari akar budayanya sendiri. Maka belajar
dari Sutan Pangurabaan Pane, kita patut melakukan suatu taktik
cerdik mengkritisi misi-misi penguasa. Gerakan semacam itu,
terutama dengan menulis buku, mungkin hingga kini tidak ada lagi
di kalangan warga Tapanuli. Entah sampai kapan.***
Terhadap hal ini penulis ingin berkata, "Memang benar arus utama
kekuasaan sering mengorbankan earifan lokal, apalagi dimasa
sekarang ini, masa dimana adat dan budaya sepertinya mulai
terkikis oleh kemajuan jaman dan ketakutan para halak hita
untuk disebut "ketinggalan jaman".
2. Mengacu pada keadaan sekarang, memang benar Sahat P Siburian,
sungguh sangat jarang, atau mungkin tidak ada buku -buku khsusus
yang diterbitkan halak hita yang inti pesannya, "Sebagai bentuk
protes pada kealiman penguasa apalagi buku tersebut dengan
menggunakan "Saro Hita".
3. Begitupun dalam bentuk tulisan lain sebagai gambaran protes
pada kesewenang-wenangan pemerintah, tentu sangat banyak di
tulis halak hitai khsusnya mereka yang terjun dalam dunia
kesusastraan atau dunia kewartawanan
4. Memang para halak hita sannari bedala pula dengan halak di
Masa Sutan Pangurabaan, "Ada kecendurungan halak hitai sannari
menulis lebih dipengaruhi jumlah pencairannya dari pada rasa
sukanya pada suatu topik yang ditulis".
5. Artinya bagi penulis, penulis setuju pada pernyataan Sahat
P Siburian yang mengatakan "Gerakan semacam itu, terutama dengan
menulis buku, mungkin hingga kini tidak ada lagi"
*Hal Saran
Meski tidak ada yang seperti Sutan Pangurabaan Pane, tentu
tetap tak salah kita berharap agar suatu saat "Tetap ada yang
seperti beliau". Rela berkorban demi kemajuan pendidkan budaya
dan sastra Angkola itu.
Dan yang namanya berharap tentu tak salah harap pula, jika
kita berharap agar parmarga harahap pula yang paling kita
harap untuk menulis buku-bku Angkola masa depan itu.
Semoga...! Dan kami menunggu Harahap.
Para dongan...! Selamat malam
____________________________________________________________
Cat :
http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/32258/taktik-seorang-penulis-buku-di-tapanuli
No comments:
Post a Comment