#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Peringatan Hari Kartini di Tapsel
dalam hubungannya dengan Kartini asal Tanah Batak
Butet Manurung yang margurilla ke Suku Anak Dalam atau Suku
Kubu dalam pengenalkan pendidikan formal serta melihat posisi
butet-butet tanah batak dalam budaya batak)
___________________________________________________________
TAPSEL – Peran perempuan dalam pembangunan telah sejajar dengan kaum
laki-laki, dan program pembangunan tak lepas dari peran perempuan.
Hal ini menjadi topik pada arahan dan bimbingan Bupati Tapsel
H Syahrul M Pasaribu SH pada puncak peringatan Hari Kartini
ke 135 tahun 2014 di Kabupaten Tapsel, Senin (21/4).
Demikian sekilas kutipan berita dari Sipirok.net lewat alamat :
http://www.sipirok.net/baca/artikel-5875/berita-tapsel/peran-perempuan-dalam-pembangunan-tapsel-sudah-sejajar-pria.html
Terhadap berita ini penulis ingin bertanya : "Ma oji do rupa
Oppui Pane...?"
Pada kilasan kelanjutannya di dok :
"...perjuangan dan harapan Kartini saat ini telah tercermin di setiap
sektor pembangunan di lingkungan Kabupaten Tapsel. “Bila kita
berbicara jujur, wanita sekarang ini sudah mampu berperan sejajar
dengan kaum laki laki, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,”
tegasnya.
Amma ngale...! "Bila kita berbicara jujur" ninna. "Saleleng naon rupa
naso jujur do hitaon. Okela...okela...! Hidup kejujura Pane khususnya
kejujuran masyarakat Tapsel termasuk pinpinan utama dan uitamanai
pak Bupati Tapsel.
Para kawan...!
Sehubungan dengan berita di atas, angkolafacebook.blogspot.com akan
menyajikan suatu info yang mungkin sudah anda ketahui yaitu info
mengeai si Butet. Ya si Butet...! Butet Manurung tepatnya, seorang
kartini tanah batak kelahiran Jakarta. Belia dapat dikatakan salah satu
pelaksana emansipasi itu khsusnya untuk peningkatan dunia
pendidikan di wilayah "Suku Anak Dalam" atau yang lebih kita kenal
"Suku Kubu" atau Suku Rimba sangape Suku Harangan.
Bagaimana sepakterjangnya boru halak hita ini adalah isi dari postingan
ini dengan tujuan penulisan umum "Perluasan wawasan nusantara pun
penambahan rasa sayang atau holong pada butet-butet tanah batak
dimanapun berada". Madung...???
Selamat Menyimak...!
dengan instrumen pembuka, "Ibu Kita Kartini".
Musik...!
______________________________
Sekilas tentang Ibu Kita Kartini
______________________________
* Hal Otobiografi
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas
bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara.
Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.
Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya,
silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan
kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang
bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya
menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung
Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi
bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari
kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.
Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang
bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa
Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena
sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar
sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal
dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan
berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan
pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
* Hal Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir
pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904,
Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu,
Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh
Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta,
Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah
"Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van
Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
* Hal Peringatan Hari Kartini
Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,
tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Sumber :
http://arsipbudayanusantara.blogspot.nl/2013/05/kebudayaan-suku-anak-dalam.html
* Hal Mata Pencaharian
Pada awalnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya,
Suku Anak Dalam, melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap
ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun
dengan perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan
akibat adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini telah
mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan.
Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi,
Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan salah satu bentuk
mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara
bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah
Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang
buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.
Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu didalam
hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran
sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan
jenis yang diperoleh.
Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan,
seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya.
Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka
mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia.
Sumber
http://wahw33d.blogspot.com/2010/12/mengenal-kehidupan-primitif-suku-anak.html#ixzz2zijc273G
* Hal Budaya pada orang sakit dan meninggal (Budaya Melangun)
Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia
merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga
Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada
di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa
tersebut sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan
yang ada.
Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup
lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun.
Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional
Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun
menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun.
Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga
tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun.
Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.
Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak
Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka
menangis dan meraung-raung selama satu minggu.
Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon
besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata laa illa hail,
ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.
Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain
dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang
dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah
pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.
Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan
dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok
ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap
daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan
dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah
meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan
dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak
mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.
Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala dimana
orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama)
ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan,
dan kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan
sehat kembali serta pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang
mengilhami meraka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang
sudah meninggal.
Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut
diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan
jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu
pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia
karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan
yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi
orang yang sudah mati.
* Hal Aturan Main dalam adat (Seloko Dan Mantera)
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan
hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara
tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya
Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman
dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan
bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1.Bak emas dengan suasa
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat
salah disitu adat yang dipakai )
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita
berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan
keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak
kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak
bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka
adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang
usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.
* Hal Musyawarah Mupakat (Besale)
Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian
dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama
memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman
dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam
hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut
dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu
berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.
Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara
besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati
anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale
lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses
pengobatan.
Sumber :
http://melianasimanungkalit.blogspot.com/2013/01/karakteristik-dan-kultur-suku-kubu.html
_____________________
Sekilas Butet Manurung
_____________________
* Hal Lahir dan Keluarga
Saur Marlina Manurung (lahir di Jakarta, 21 Februari 1972; umur 42 tahun)
adalah perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing
dan terpencil di Indonesia. Sebagaimana gadis Batak lainnya, ia biasa
dipanggil "Butet" dan kini namanya lebih dikenal sebagai Butet Manurung.
Sekolah rintisan pertama kali ia terapkan bagi masyarakat Orang Rimba
(Suku Kubu) yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Metode
yang diterapkannya bersifat setengah antropologis. Pengajaran membaca,
menulis, dan berhitung dilakukan sambil tinggal bersama masyarakat didiknya
selama beberapa bulan. Sistem ini dikombinasi dengan mempertimbangkan
pola kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Setelah tersusun secara sistematis, ia mengembangkan sistem Sokola Rimba
(diambil dari bahasa yang digunakan orang Rimba, salah satu dialek bahasa
Melayu). Sistem Sokola Rimba kemudian diterapkan pula di berbagai tempat
terpencil lainnya di Indonesia, seperti di Halmahera dan Flores.
* Hal Buku yang telah diterbitkan
“Membaca tulisan Butet saya merasa menjadi Orang Rimba. Sungguh,
saya merasa tercerahkan. Selamat atas tulisan ini. Semoga Orang
Rimba dan lingkungannya menjadi lebih baik lagi. Amin”
(Iwan Fals, musisi)
Lebih lanjut di :
http://www.goodreads.com/book/show/1612385.Sokola_Rimba
* Hal pengalaman Butet Manurung yang di Film kan
Marlina atau akrab disapa Butet itu adalah sosok yang
diangkat kisahnya dalam film produksi Miles Films tersebut.
Karakternya diperankan dengan apik oleh aktris muda
Prisiana Nasution.
Lebih lanjut di :
http://www.tribunnews.com/seleb/2013/11/28/butet-manurung-takut-bukunya-tak-laku-karena-film-sokola-rimba
* Hal Sokola Rimba
Film ‘Sokola Rimba’ berkisah mengenai pengalaman Butet Manurung
(Prisia Nasution) ketika dirinya mengajar anak-anak masyarakat
suku anak dalam yang disebut sebagai Orang Rimba di hulu sungai
Makekal di hutan bukit Duabelas. Wanita berusia 41 tahun tersebut
mengajar membaca, menulis dan berhitung sambil tinggal bersama
masyarakat didiknya sekaligus mempelajari pola kehidupan
sehari-hari masyarakatnya.
* Hal Pernikahan
Mungkin kesibukan mewujudkan mimpi itulah yang membuat Butet baru bertemu
jodohnya belum lama ini. Gae lapai. Artinya gadis lapuk. Begitulah panggilan
khas orang rimba untuknya. “Mereka bilang aku tidak mungkin menikah. Sudah
terlalu tua…,” tutur anak pertama dari empat bersaudara ini. Tidak terlambat?
“Nggak tahu,” Butet menunduk dan tertawa kecil.
Lebih lanjut di :
http://www.ebahana.com/warta-2840-Harga-Sebuah-Mimpi.html
________________________________________________
Hubungan Butet Manurung dengan Suku Anak Dalam
________________________________________________
Jelas Butet Manurung adalah perintis pengenalan sekaligus peningkatan
pendidikan Suuku Anak Dalam. Beliau bukan saja hanya berslogan dalam
peningkatan pendidikan tersebut tapi terjun langsung kelapangan hinga
masalahnya lebih jelas terlihat.
Hasil pengalamannya selama tinggal dengan suku anak dalam tersebut
telah dibukukkannya dengan judul, "...."
____________________________________________________________
Butet Manurung atau butet-butet lainnya dalam tinjauan Budaya Batak
dalam hubungannya dengan Hari Kartini 2014/emansipasi
____________________________________________________________
* Hal Nama butet sebelum ada sekolah kartini di tanah batak
Dari segi nama, jelas "Butet" adalah sebutan umum bagi anak perempuan
tanah batak. Sebelum merdeka/sebelum lahir hari Kartini, posisi mereka
di tanah batak sungguh sangat lemah, tidak jauh beda dengan perempuan
perempuan Nusantara pada umumnya.
Mereka lebih banyak tinggal di rumah dan selalu lebih dekat pada ibunya
serta sangat terbatas haknya dalam kepemilikan harta benda di tanah
batak sesuai sistem pewarisan tanah batak masa lalu.
Berikut 2 video musik sebagai gambaran keterbatasan hak perempuan batak
masa lalu dengan judul, "Si Boru Tumbaga" dan satu lagi dengan judul
"Huabing Maho Butet".
Keduanya adalah Cipt. Tilhang Gultom, seorang maestro tanah batak masa
lalu yang keahliannya dalam mengolah seni musik tradisional batak tak
perlu diragukan lagi.
1. Si Boru Tumbaga dari Susan Ruth Pakpahan.
Musik...!
2. Huabingmaho butet dari Cristian Sinaga
Musik...!
(Menyimak info sekitar Peringatan Hari Kartini di Tapsel
dalam hubungannya dengan Kartini asal Tanah Batak
Butet Manurung yang margurilla ke Suku Anak Dalam atau Suku
Kubu dalam pengenalkan pendidikan formal serta melihat posisi
butet-butet tanah batak dalam budaya batak)
___________________________________________________________
TAPSEL – Peran perempuan dalam pembangunan telah sejajar dengan kaum
laki-laki, dan program pembangunan tak lepas dari peran perempuan.
Hal ini menjadi topik pada arahan dan bimbingan Bupati Tapsel
H Syahrul M Pasaribu SH pada puncak peringatan Hari Kartini
ke 135 tahun 2014 di Kabupaten Tapsel, Senin (21/4).
Demikian sekilas kutipan berita dari Sipirok.net lewat alamat :
http://www.sipirok.net/baca/artikel-5875/berita-tapsel/peran-perempuan-dalam-pembangunan-tapsel-sudah-sejajar-pria.html
Terhadap berita ini penulis ingin bertanya : "Ma oji do rupa
Oppui Pane...?"
Pada kilasan kelanjutannya di dok :
"...perjuangan dan harapan Kartini saat ini telah tercermin di setiap
sektor pembangunan di lingkungan Kabupaten Tapsel. “Bila kita
berbicara jujur, wanita sekarang ini sudah mampu berperan sejajar
dengan kaum laki laki, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,”
tegasnya.
Amma ngale...! "Bila kita berbicara jujur" ninna. "Saleleng naon rupa
naso jujur do hitaon. Okela...okela...! Hidup kejujura Pane khususnya
kejujuran masyarakat Tapsel termasuk pinpinan utama dan uitamanai
pak Bupati Tapsel.
Para kawan...!
Sehubungan dengan berita di atas, angkolafacebook.blogspot.com akan
menyajikan suatu info yang mungkin sudah anda ketahui yaitu info
mengeai si Butet. Ya si Butet...! Butet Manurung tepatnya, seorang
kartini tanah batak kelahiran Jakarta. Belia dapat dikatakan salah satu
pelaksana emansipasi itu khsusnya untuk peningkatan dunia
pendidikan di wilayah "Suku Anak Dalam" atau yang lebih kita kenal
"Suku Kubu" atau Suku Rimba sangape Suku Harangan.
Bagaimana sepakterjangnya boru halak hita ini adalah isi dari postingan
ini dengan tujuan penulisan umum "Perluasan wawasan nusantara pun
penambahan rasa sayang atau holong pada butet-butet tanah batak
dimanapun berada". Madung...???
Selamat Menyimak...!
dengan instrumen pembuka, "Ibu Kita Kartini".
Musik...!
Sekilas tentang Ibu Kita Kartini
______________________________
* Hal Otobiografi
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas
bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara.
Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.
Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya,
silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan
kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang
bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya
menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung
Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi
bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari
kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.
Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang
bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa
Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena
sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar
sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal
dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan
berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan
pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
* Hal Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir
pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904,
Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu,
Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh
Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta,
Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah
"Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van
Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
* Hal Peringatan Hari Kartini
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,
tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
____________________________________
Sekilas Suku Anak Dalam (Suku Kubu)
____________________________________
* Hal Umum
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang
Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di
Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.
Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah
populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat,
yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit
Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang
mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam
punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti
sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis
yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi
(sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12,
dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas
Sumatra).
Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu
dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki
lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya
sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan
proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan
suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan
Sumatera Selatan.
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada
juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam
Sumber :
* Hal alasan disebut Suku Kubu/anak dalam dan anak rimba
Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih
dahulu, karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung
makna yang berbeda, yaitu :
Pertama KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh
terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam
bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh,
kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer
terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada
awal abad ini.
Kedua SUKU ANAK DALAM, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui
Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang
tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka
harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan
dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing
(PKMT).
Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini
untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati
diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang
tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling
proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang
Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya.
* Hal Kepercayaan
Suku Anak Dalam masih berpaham animisme. Mereka percaya bahwa
alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia.
Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak
merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi.
* Hal Budaya terhadap Alam
Kekayaan alam bisa dijadikan sumber mata pencarian untuk sekadar
menyambung hidup dan tidak berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam
masih mempertahankan beberapa etika khusus.
Sumber :
http://arsipbudayanusantara.blogspot.nl/2013/05/kebudayaan-suku-anak-dalam.html
* Hal Mata Pencaharian
Pada awalnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya,
Suku Anak Dalam, melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap
ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun
dengan perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan
akibat adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini telah
mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan.
Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi,
Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan salah satu bentuk
mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara
bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah
Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang
buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.
Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu didalam
hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran
sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan
jenis yang diperoleh.
Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan,
seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya.
Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka
mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia.
Sumber
http://wahw33d.blogspot.com/2010/12/mengenal-kehidupan-primitif-suku-anak.html#ixzz2zijc273G
* Hal Budaya pada orang sakit dan meninggal (Budaya Melangun)
Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia
merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga
Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada
di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa
tersebut sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan
yang ada.
Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup
lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun.
Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional
Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun
menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun.
Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga
tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun.
Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya.
Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak
Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka
menangis dan meraung-raung selama satu minggu.
Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon
besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata laa illa hail,
ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.
Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain
dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang
dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah
pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.
Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan
dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok
ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap
daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan
dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah
meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan
dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak
mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.
Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala dimana
orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama)
ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan,
dan kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan
sehat kembali serta pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang
mengilhami meraka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang
sudah meninggal.
Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut
diletakan, mereke menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan
jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu
pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia
karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan
yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi
orang yang sudah mati.
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan
hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara
tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya
Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman
dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan
bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1.Bak emas dengan suasa
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat
salah disitu adat yang dipakai )
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita
berada, disitu adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan
keluarga sangat menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak
kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak
bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka
adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang
usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.
Asal kata besale sampai saat ini belum diketahui, namun demikian
dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk bersama-sama
memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman
dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam
hari yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut
dukun. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih dan mampu
berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.
Sesajian disediakan untuk melengkapi upacara. Pada intinya upacara
besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan untuk mengobati
anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale
lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses
pengobatan.
Sumber :
http://melianasimanungkalit.blogspot.com/2013/01/karakteristik-dan-kultur-suku-kubu.html
_____________________
Sekilas Butet Manurung
_____________________
* Hal Lahir dan Keluarga
Saur Marlina Manurung (lahir di Jakarta, 21 Februari 1972; umur 42 tahun)
adalah perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing
dan terpencil di Indonesia. Sebagaimana gadis Batak lainnya, ia biasa
dipanggil "Butet" dan kini namanya lebih dikenal sebagai Butet Manurung.
Sekolah rintisan pertama kali ia terapkan bagi masyarakat Orang Rimba
(Suku Kubu) yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Metode
yang diterapkannya bersifat setengah antropologis. Pengajaran membaca,
menulis, dan berhitung dilakukan sambil tinggal bersama masyarakat didiknya
selama beberapa bulan. Sistem ini dikombinasi dengan mempertimbangkan
pola kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Setelah tersusun secara sistematis, ia mengembangkan sistem Sokola Rimba
(diambil dari bahasa yang digunakan orang Rimba, salah satu dialek bahasa
Melayu). Sistem Sokola Rimba kemudian diterapkan pula di berbagai tempat
terpencil lainnya di Indonesia, seperti di Halmahera dan Flores.
* Hal Buku yang telah diterbitkan
“Membaca tulisan Butet saya merasa menjadi Orang Rimba. Sungguh,
saya merasa tercerahkan. Selamat atas tulisan ini. Semoga Orang
Rimba dan lingkungannya menjadi lebih baik lagi. Amin”
(Iwan Fals, musisi)
Lebih lanjut di :
http://www.goodreads.com/book/show/1612385.Sokola_Rimba
* Hal pengalaman Butet Manurung yang di Film kan
RIBUNNEWS.COM -- Kesuksesan film "Sokola Rimba" rupanya
menimbulkan ketakutan tersendiri buat Marlina Manurung.Marlina atau akrab disapa Butet itu adalah sosok yang
diangkat kisahnya dalam film produksi Miles Films tersebut.
Karakternya diperankan dengan apik oleh aktris muda
Prisiana Nasution.
Lebih lanjut di :
http://www.tribunnews.com/seleb/2013/11/28/butet-manurung-takut-bukunya-tak-laku-karena-film-sokola-rimba
* Hal Sokola Rimba
Film ‘Sokola Rimba’ berkisah mengenai pengalaman Butet Manurung
(Prisia Nasution) ketika dirinya mengajar anak-anak masyarakat
suku anak dalam yang disebut sebagai Orang Rimba di hulu sungai
Makekal di hutan bukit Duabelas. Wanita berusia 41 tahun tersebut
mengajar membaca, menulis dan berhitung sambil tinggal bersama
masyarakat didiknya sekaligus mempelajari pola kehidupan
sehari-hari masyarakatnya.
* Hal Pernikahan
Mungkin kesibukan mewujudkan mimpi itulah yang membuat Butet baru bertemu
jodohnya belum lama ini. Gae lapai. Artinya gadis lapuk. Begitulah panggilan
khas orang rimba untuknya. “Mereka bilang aku tidak mungkin menikah. Sudah
terlalu tua…,” tutur anak pertama dari empat bersaudara ini. Tidak terlambat?
“Nggak tahu,” Butet menunduk dan tertawa kecil.
Lebih lanjut di :
http://www.ebahana.com/warta-2840-Harga-Sebuah-Mimpi.html
________________________________________________
Hubungan Butet Manurung dengan Suku Anak Dalam
________________________________________________
Jelas Butet Manurung adalah perintis pengenalan sekaligus peningkatan
pendidikan Suuku Anak Dalam. Beliau bukan saja hanya berslogan dalam
peningkatan pendidikan tersebut tapi terjun langsung kelapangan hinga
masalahnya lebih jelas terlihat.
Hasil pengalamannya selama tinggal dengan suku anak dalam tersebut
telah dibukukkannya dengan judul, "...."
____________________________________________________________
Butet Manurung atau butet-butet lainnya dalam tinjauan Budaya Batak
dalam hubungannya dengan Hari Kartini 2014/emansipasi
____________________________________________________________
* Hal Nama butet sebelum ada sekolah kartini di tanah batak
Dari segi nama, jelas "Butet" adalah sebutan umum bagi anak perempuan
tanah batak. Sebelum merdeka/sebelum lahir hari Kartini, posisi mereka
di tanah batak sungguh sangat lemah, tidak jauh beda dengan perempuan
perempuan Nusantara pada umumnya.
Mereka lebih banyak tinggal di rumah dan selalu lebih dekat pada ibunya
serta sangat terbatas haknya dalam kepemilikan harta benda di tanah
batak sesuai sistem pewarisan tanah batak masa lalu.
Berikut 2 video musik sebagai gambaran keterbatasan hak perempuan batak
masa lalu dengan judul, "Si Boru Tumbaga" dan satu lagi dengan judul
"Huabing Maho Butet".
Keduanya adalah Cipt. Tilhang Gultom, seorang maestro tanah batak masa
lalu yang keahliannya dalam mengolah seni musik tradisional batak tak
perlu diragukan lagi.
1. Si Boru Tumbaga dari Susan Ruth Pakpahan.
Musik...!
2. Huabingmaho butet dari Cristian Sinaga
Musik...!
* Hal nama Butet setelah lahir hari kartini (belum merdeka/
sekolah Kartini sudah ada)
Setelah lahir hari kartini, status nama Butetpun mulai terangkat
kepermukaan, keterlibatan mereka dalam macam aktivitas sosial dan budayapun
mulai meningkat hinga dalam melawan penjajahpun (Belanda) mereka terlibat.
Khsus untuk wilayah Tapsel Najolo maka kitapun mengenal yang namanya
"Mawar Selatan" seorang boru halak hita yang keberadaannya sangat
diperhitungkan oleh pihak Belanda karena beliau adalah seorang pejuang.
Berikut video musik pendukung yang memberi gambaran bahwa, "Butet
tanah batak" telah mulai menuju emansipasi setelah ditetapkan hari
ibu Kartini.
Butet dari Romyana Sihotang
Musik...!
* Hal nama Butet sesaat setelah merdeka
Menurut hemat penulis, setelah Indonesia merdeka butet-butet tanah
batakpun semakin maju kedepan untuk mencapai emasipasi. Kesempatan
kesempatan diberikan oleh masyarakat dan para orang tua tanah batakpun
kesempatan diberikan oleh masyarakat dan para orang tua tanah batakpun
berjuang keras untuk menyekolahkan borunya ini, hingga posisinya nyaris
sama dengan putra batak pada umumnya.
Hanya sanya...!
Yang namanya marjalang atau merantau demi peningkatan pengetahuan
masih sangat dibatasi. Jarang sekali ada putri batak yang masih gadis
masih sangat dibatasi. Jarang sekali ada putri batak yang masih gadis
di ijinkan orang tuanya untuk merantau. Kecuali mereka-mereka yang
ikut suaminya ke tano parjalangan.
Video musik "Tinggal Maho Butet" untuk anda sebagai gambaran telah
dibukanya peluang bagi butet-butet batak untuk maju.
Tinggal maho butet dari Trio Ambisi
Musik...!
* Hal Nama Butet tahun 2000-an
Hahaha...tahapan emansipasi sungguh nyata sudah terlihat. Para butet-
butet batak tidaklagi sejar dalam urusan profesi menjadi kepala seksi
atau kepala bagian dalam suatu perkantoran, tapi juga sejajar dalam
pengambilan resikonya, "Jika putra batak masuk penjara, maka butet-butet
batakpun ada juga yang masuk penjara".
Emasipasi sampai pada garis batas tertentu memang bagus, tapi jika
telah melewati garis siapa pula bisa bilang bagus, "Haskasan kadang
telinga para putra batak itu jika mendengar ibotonya masuk penjara
atau menjadi stres hanya karena emansipasi yang tak terkendali sitirif
tak terarah.
"Masa laki-laki bisa perempuan tidak bisa" adalah motiv umum emansipasi
itu yang bisa saja menjadi motiv yang baik pun menjadi motiv yang tidak
baik. Ada hal-hal tertentu yang hanya pantas dilakukan pria, tapi
wanita memaksaka juga untuk hal tersebut haya karena emasipasi.
"Seleksi emansipasi demi terciptanyakeharmonisan kerjasama antara
perempuan dan laki-laki perlu juga diperhatikan". Tiada larangan
bagi poerempuan atau butet-butet untuk memanjat tiang listrik, tapi
kalau bisa laki-laki ajalah. Tiada larangan bagi wanita untuk menjadi
Presiden, tapi kalu bisa laki-laki sajalah, dll sesuai kepantasan,
etika dan estetika masyarakat Nusantara tentunya.
Alkisah...!
Emansipasipun mencapai puncaknya, "Yang sebelumnya ditanah batak
hanya menjunjung tinggi anak panggoaran laki-laki (Sistem Patrileneal)
sekarang ini anak perempuanpun menjadi, "Menjadi boru Panggoaran/bukan
berarti tidak ada anak laki-lakinya/bukan pula anak laki-laki tersebut
yang paling kecil, bahkan yang paling besar, tapi sang ayah/ibu mungkin,
mungkin doba, lebih suka dipanggil atas sama borunya"
Hahaha....
tano batak...tano batak...!
Butet...butet...!
gara-gara emansipasi putra batak jadi banyak yang mundur mereka buat,
bahkan ada yang atrek tu lombangan, mandele dan lepe gara-gara orang
tua yang terlalu memajukan borunya.
Boru Panggoaran untuk anda...!
Musik...!
_______________________________________________
Keseruan emansipasi tanah batak dalam hubungannya
dengan pemilihan pasangan hidup
_______________________________________________
Keseruan emansipasi tanah batak dalam hubungannya
dengan pemilihan pasangan hidup
_______________________________________________
Para kawan...!
Tiada anjuran ataupun saran agar lelaki sejajajar dengan wanita,
tapi jika lelaki semakin mundur statusnya di Nusantara ini, maka
bukan tidak mungkin anjuran itu suatu saat akan dibutuhkan.
Tidakkah kita sadari bahwa "Status pimpinan sekarang ini telah
banyak yang diambil alih oleh perempuan...???
_________
Penutup
_________
Demikian infonya para kawan...!
Kalian aturlah bagaimana sebagusnya emansipasi dilaksanakan, tapi
kalau bisa jangan pula kalian buat anak laki-laki kalian jadi
":Si tal-tal", sementara boru kalian, kalian perjuangkamn pula
jadi direksi, jadi menteri dan jadi artis.
Jika itu tak dapat kalian kendalikan, maka jangan heran kelak
anak laki-laki itu berhasil dengan kemampuannya sendiri, anda
menjadi tidak diperdulikannya dan dia bisa jadi akan membenci
ibotonya sendiri, sementara boru anda akan marbagas pula pada
halak na lain. Iya kalau dapat bere yang penuh perhatian,
bagaimana kalau sebaliknya.
Bagaimana...?
Bagaimana nikku muse dope atong...!
Bagaimana...?
Jawab hamu mattong...!
Bagaimana...?
melebihi batas...!
Musik...!
_______________________________________________________________
Cat :
Pada ito Boru Manurung, penulis mohon ijin photonya dan
cedritanya di posting di blog ini. Begitupun pada photo
peringatan Hari Kartini di Tapsel.
Link lainnya diblog ini yang berhubungan dengan
kartini-kartini tanah Batak :
No comments:
Post a Comment