Saturday, July 4, 2015

Ambon Dalam 7 Bab dan Bab 1-nya : Budaya, Kemasyarakatan, Mata Pencaharian, Adat, Agama dan Sistem Pernikahan

#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Ambon dalam 7 Bab dan Bab 1-3 adalah Postingan
hasil kutipandari Link : https://tiwipratiwi07.wordpress.com/2012/01/12/suku-ambon/
yang penulis sempurnakan atau dukung dengan macam gambar sehingga lebih
menarik perhatian pun lebih mudah terpahami. Kenapa rupanya...?
Mainkan...! Hidup Ambon Manis.........! e....)
___________________________________________________________________













___________________

Kata Pengantar
___________________

O... Ulate...
Tanjung o ... Ulate....
Tanjung Sibarane.... Tanjung o Ulate....

O... Ulate...
Tanjung o ... Ulate....
Tanjung Sibarane.... Tanjung o Ulate....

Adalah salah satu lagu Ambon yang sudah sedemikian terkenalnya di
Nusantara ini, mulai dari Tanah Batak sampai ke Tanah Ambon.
Iyakan....? Ya Iyalah...!

Para kawan dimanapun berada atau bertengger saat ini...!

Postingan ini adalah postingan Pertama dari 7 postingan yang ada
blog ini mengenai Ambon dengan segala macam seluk beluknya.

Hal ini sengaja penulis pisah guna menghindari panjangnnya suatu
postingan apalagi postingan ini akan penulis dukung dengan macam
gambar yang berhubungan dengan isi-nya.

Adapun tujuan penulisan adalah : Untuk memberikan informasi pada
macam suku di Nusantara, khsusnya Suku Batak yang salah satu sub
sukunya adalah Batak Angkola.

Dengan pengetahuan ini diharapkan, "Istilah yang mengatakan maka
kenal maka sayang" lebih mudah terpahami, tersikapi dan terlak
sanakan". mengingat Nusantara Tercinta kita ini memang terdiri dari
macam Suku dan Budaya dengan ciri khas masing-masing.

Horas...!
Untuk anda para pembaca angkolafaceboook.blogspot.com....dan....
Selamat menyimak lewat lagu pengiringya, "O Ulate".

Oya...!

Dalam penutup tulisan, penulis juga akan menyajikan pendapat pribadi
seputar perbandingan Sku Ambon dan Sku Batak. Tambahkan Clean
huruf "u" di kata "Sku" agar enak di baca.

Musik...!


_______________________________

BAB I : KEBUDAYAAN AMBON
_______________________________

 A. IDENTIFIKASI BUDAYA AMBON

Ambon adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang
terletak di Provinsi Maluku. Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari
bahasa Arab, yakni al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang membuat
peta daerah Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah
Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku.

Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih
berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang
tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang
kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab.

Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan bangsa-angsa kepulauan pasifik
seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat peralatan rumah tangga
dan alat musik.

Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal,
kerangka tulang besar dan kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis
dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktifitas
utama mereka merupakan aktifitas laut seperti berlayar dan bernenang.

Pendukung kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang
dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih
aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah
ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik
yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya
sebagai representasi kolektif.

Salah satunya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga
sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam
kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata
yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku.

















Ket :
Filosofi Siwalima

Pulau Ambon merupakan pulau yang terletak di Kepulauan Maluku, di
selatan Pulau Seram. Saat ini merupakan letak kota Ambon ibukota
dari provinsi Maluku.

 B. KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN

Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu
desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam
bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh
tanah pertanian.

Bentuk kelompok kecil rumahrumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon,
sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di
Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi.

Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam
sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa
”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan
dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu
yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari
dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri.

Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan,
rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang
berbagai hewan peliharaan.

Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas
agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis
 agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam.
Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos
yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan
terhadap kemungkinan konflik.

Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional
sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan
konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan
supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok
masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.

C. SISTEM KEMASYARAKATAN




















Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya,
hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab
dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain.

Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan
merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar
itu dinamakan dengan istilah “PELA”.

Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan
yang begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan
desa kristen dan juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa
Islam dengan desa Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta,
Jakarta: PSH, 1987, hlm 183).

Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi
hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan
yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau
seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan
yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak
dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada
akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama
sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon),
yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya.

Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan
kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena
kepentingan-kepentingan big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya
“Pela (Gandong)” bisa menjadi jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi
di Maluku (Ambon)? Inilah yang masih merupakan pergumulan.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang
kepala ”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu
urusan tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan
beberapa kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang
”raja” yang diangkat berdasarkan keturunan.

Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan keturunan, aturan adat suku
Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya dilakukan dengan cara
pemilihan dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah beberapa ”Sanitri”
atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :

~ Tuan tanah :
Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan

~ Kapitan :
Seseorang yang ahli dalam peperangan

~ Kewang :
Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan

~ Marinyo :
Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan
Suku Ambon, banyak dijumpai Organisasiorganisasi kemasyarakatan yang memiliki
berbagi macam visi dan misi.

Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan 
Suku Ambon :

~ Patalima :
Lima bagian, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun
dilihat dari sejarah di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan
Tidore, organisasi ini nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh
kerajaan Ternate dan Tidore, dan juga untuk membantu pertahanan dari
serangan musuh.

~ Jajaro :
Organisasi kewanitaan Suku Ambon

~ Ngungare
Organisasi kepemudaan

~ Pela Keras
Organisasi antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar
Soa, peperangan, dan lain-lain.

~ Pela Minum Darah
Hampir sama dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka
dengan cara meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.

~ Pela Makan Sirih
Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja,
dan sekolah

~ Muhabet
Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara kematian

~ Patasiwa
sembilan bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa
tinggal di sebelah baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah
selatan. Patasiwa dibagi menjadi dua kelompok yaitu patasiwa hitam dan
patasiwa putih. Patasiwa hitam wargawarganya di tato, sedangkan patasiwa
putih tidak.

~ Pengertian Pela

Pela berasal dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”.
Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya
adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga
ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling
membantu atau menolong.

Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah
suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih
dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan
saling merasakan senasib penderitaan.

Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama
(Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27).

Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah
yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal
maupun dengan cara memakan sirih pinang.

Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan
kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong
satu sama lain.

Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat
masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau
kekeluargaan itu.

Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara
sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya
(op.cit., Cooley, hlm 184).

Jenis-Jenis Pela

a) Pela Keras Atau Pela Minum Darah

Dikatakan demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin
leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari
mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas.

Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini
biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa
setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada
akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk
mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat
“persaudaraan darah” untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika
yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu.

Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan. Semua
warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan,
antara lain:

– tidak boleh menikah
– saling membantu dan memikul beban.

Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.

b) Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih

Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya
dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam
situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi
angin ribut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk
melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain.
Pela ini tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.

c) Pela Ade Kaka

Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara
adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk
kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung
yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama
Pela Gandong.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela
akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan
atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan
sumpah darah.

Panas Pela

Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa
yang telah sama-sama mengangkat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan
kembali peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya.

Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk
lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.

Hubungan Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi

Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena
dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat
dalam menjalin kedamaian atau kehidupan yang saling merasakan susah
dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi yang
terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan
agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama
sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan
bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan
antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh.
Inilah suatu pergumulan.

D. SISTEM KEKERABATAN

Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang
diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang
lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu
kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal.

Mata rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami
dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik
kerabat patrilineal. Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral
itu ada juga kesatuan lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu
famili atau kindred.

Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri
dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua
keturunan keempat nenek moyang.

 E. MATA PENCAHARIAN













Ket :
Sagu dan Tuman Ambon


Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang.
Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-
pohon dan membakar batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering.

Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit
dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka
tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu,
orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa.

Sagu adalah makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang
beras sudah biasa mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu
seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan
daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar
tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental (pepedu).

Disamping pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan,
rusa dan burung kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang
dilontarkan dengan jebakan. Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan.
Orang menangkap ikan dengan berbagai cara, yaitu dengan kail, kait,
harpun dan juga jaring.

Perahu-perahu mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan
cadik yang dinamakan perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu
yang dibuat orang-orang ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu
besar untuk berdagang di Amboina dinamakan jungku atau orambi.

F. AGAMA DAN ADAT

Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini
dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang
telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore
yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.

Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih
mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini.
Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan
moral, spiritual serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh melalui
pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya kesadaran masyarakat
bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada hakekatnya merupakan
anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa.








Ket :
Masjid dan Gereja di Ambon

Terkait dengan itu, maka peran para pemuka agama dan institusi-institusi
keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup
berdasarkan saling menghormati diantara sesama dan antar sesama umat
beragama.

G. UPACARA ADAT


”Antar Sontong”

Antar sontong yaitu para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan
lentera untuk mengundang cummi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya
lentera mereka menuju pantai di mana masyarakat sudah menunggu mereka
untuk menciduk mereka dari laut.

”Pukul Manyapu”

Pukul manyapu adalah acara adat tahunan yang dilakukan di Desa Mamala-
Morela yang biasanya dilakukan pada hari ke 7 setelah Hari Raya Idul Fitri.

 H. SISTEM PERKAWINAN









Ket :
Pakaian Adat / Pernikahan

Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitukawin lari, kawin minta
dan kawin masuk.

Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim.
Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh
jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara.

Kawin lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik
oleh kaum kerabat wanita namun disukai oleh pihak pemuda. Terutama
karena pemuda hendak menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan
menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana perkawinan
anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut keluarga
wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.

Bentuk perkawinan yang kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila
seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan
istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya.
Kemudian mereka mengumpulkan anggota famili untuk membicarakan
masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini diperbincangkan
pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan
perkawinan dan sebagainya.

Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati
terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan biaya
yang besar.

Bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua.
Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita.
Ada tiga sebab utama terjadinya perkawinan ini:

Karena kaum kerabat si pria tidak mampu membayar mas kawin secara adat.
Karena keluarga si gadis hanya memiliki anak tunggal dan tidak punya
anak laki-laki sehingga si gadis harus memasukkan suaminya ke dalam
klen ayahnya untuk menjamin kelangsungan klen.

3. Karena ayah si pemuda tidak bersedia menerima menantu perempuannya
yang disebabkan karena perbedaan status atau karena alasan lainnya.

Orang-orang yang beragama Islam pada umumnya menikah sesuai dengan
hukum Islam. Namun disini juga terjadi hal yang sama, yaitu apabila
sang suami belum mampu membayar mas kawin menurut adat maka wanita
itu tidak perlu ikut bersama suaminya.

Selain wajib membayar mahar (mas kawin menurut hukum Islam), pengantin
laki-laki juga harus membayar harta adat yang berupa sisir mas,
gong dan madanolam. Secara umum, poligini diijinkan, kecuali bagi
mereka yang beragama Nasrani.
__________

Penutup
__________

Demikian infonya para kawan sekalian...!

Semoga dapat memperluas wawasan kita dibidang ke-Ambonan. Dan jika
saja boleh penulis membanding dengan suku BaTak secara umum maka
penulis ingin berkata :

1. Memang benar...!
   Bolanda yang datang ke Indonesia pada tempoedoeloe bukan saja
   bermaksud mau menjajah tapi juga mau membikin rusuh. Jika dulu-nya
   Ambon sekarang ini disebut "Muluk atau Al Muluk" maka sekarang
   ini jadi disebut Maluku = Malu dia. Maksudnya ambon itu pemalu
   padahal bukan pemalu. Iyakan...?

   Begitupun isitilah Batak...!

   Jika dulunya disebut Bat'taken dengan arti Suku Penunggang Kuda,
   maka datang Bolanda di gantinya dengan isitilah "Batak" yang mungkin
   artinya "Keras Kepala atau Kepala Batu". Apa memang orang Batak
   Kepala Batu...?

2. Jika sekelompok kecil masyarakat berkumpul dan membangun sebuat
   tempat di Ambon di sebut "Soa" maka di Tanah Batak disebut "Huta".

3. Jika di Ambon menggolongkan masyarakatnya dari segi anutan agama
   dengan nama Sarani Ambon dan Ambon Salam atau Ambon Kristen dan
   Amon Islam.

   Maka di tanah Batak disebut :

   Batak Kristen dan Batak Islam atau Batak HKBP dan Batak Silom.

4. Jika diambon hubungan kekeluargaan ditinjau dari istilah "Pela"
   makadi Tanah Batak ditinjau dengan istilah "Dalihan Na Tolu"

5. Jika di ambon punya pilahan makanan pokok antara Sagu dan Nasi,
   maka di Tanah Batak hanya Nasi. Tanah Batak secara umum mutlak
   tanah dataran tinggi sedangkan Ambon sebagian dataran rendah
   sitirif pantai sangape laut. Udah...!

6. Jika di Ambon mengenal tiga jenis pernikahan dilihat dari caranya
   yaitu 1. Lari Bini atau Lari Kawin,  2. Kawin Minta dan 3. Lari Masuk
   atau Kawin manua, maka di Tanah Batak haya 2 cara yang populer
   yaitu 1. Marlojong = Mangalojongkon = Kawin Lari. 2. Mambuat Boru =
   Mangalap Boru = Marbagas = Pabagaskon.

  Adapun...!

  Mengenai tempat tinggal mereka setelah Marlojong atau Marbagas
  secara umum ditentukan pihak Laki-laki atau di lingkungan laki-laki
  atau Kahanggi.

Para kawan...!

O... Ulate...
Tanjung o ... Ulate....
Tanjung Sibarane.... Tanjung o Ulate....

Kalau ada sumur di ladang boleh beta menumpang mandi
Kalau ada umurlah panjang boleh beta lihat postingan Bab 2-nya nanti

Selamat malam...!



______________________________________________________________________
Cat. Sumber :
https://tiwipratiwi07.wordpress.com/2012/01/12/suku-ambon/
http://www.kidnesia.com/Kidnesia2014/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Maluku/Seni-Budaya/Baju-Cele-Khas-Ambon
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1092/pakaian-adat-maluku
http://evoucher.co.id/deal/Sagu-Ambon

Bab 2 :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/busana-tradisional-dan-makanan.html

Link setelah selesai semuanya :

Bab 1 :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/ambon-dalam-7-bab-dan-bab-1-nya-budaya.html

Bab 2 :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/busana-tradisional-dan-makanan.html

Bab 3 :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/permasalahn-agama-sejarah-islam-di.html

Bab 4 :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/macam-daftar-dan-lirik-lagu-ambon-bab-4.html

Bab 5 :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/download-lagu-lagu-ambon-lama-dan-baru.html

Bab 6 :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/marboru-ambon-jujur-beta-cinta-holong.html

Bab 7 :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/08/masjid-tua-wafauwe-ambon-maluku-dalam.html


Postingan ini di sponsori oleh :

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork


No comments:

Post a Comment