Sunday, July 5, 2015

Permasalahn Agama, Sejarah Islam di Ambon, Modenisasi, Asimilasi dan enkulturasi (Bab 3)


Postingan ini adalah pendalaman dari Bab 1 yang ada pada Link :

http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/ambon-dalam-7-bab-dan-bab-1-nya-budaya.html

dan pendalaman dari Bab 2 yang ada pada link :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/07/busana-tradisional-dan-makanan.html



Selamat menyimak...!
_______________________________________________________________

BAB 3 : PERMASALAHAN, PEMBANGUNAN, 
DAN MODERNISASI DI AMBON
_______________________________________________________________

https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2011/09/18/sejarah-konflik-islam-dan-kristen-di-ambon-menurut-rustam-kastor/



















http://indonesia.ucanews.com/tag/konflik-ambon/



















* Permasalahan Agama

1. Peristiwa Kerusuhan Yang Terjadi Di Ambon

Sebelumnya mohon ma’af bagi yang sudah pernah membacanya dan karena artikel
ini agak panjang. Paling tidak informasi ini dapat memberikan sedikit
gambaran kepada kita atas runtutan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Ambon.

2. Sejarah Islam Di Ambon

Pembantaian, penghancuran, pembakaran, penjarahan dan pengusiran secara
besar-besaran di Ambon agaknya tak pernah terbayangkan masyarakat muslim
Ambon. Ambon yang dulunya sejuk dan damai, kini berubah menjadi daerah yang
paling mencekam dan menakutkan, khususnya bagi umat Islam Ambon.

Menilik bentuk kerusuhan, sasaran penghancuran dan korban yang teraniaya,
maka dapat dipastikan bahwa kerusuhan tersebut benar-benar karena masalah
SARA, khususnya agama, meskipun bukan ini faktor satu-satunya.

Bahkan, peristiwa yang memalukan itu bukan sekedar bernuansa SARA, tetapi
merupakan potret sebuah kebiadaban yang keji terhadap umat Islam.
Kejadian ini sekaligus menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia, bahwa
di mana Islam minoritas di situ Islam selalu ditindas.

3. Potensi Konflik

Sebenarnya dalam masyarakat Ambon tersimpan potensi konflik yang cukup
besar, meskipun katanya di sana ada budaya pela gandong. Potensi konflik
tersebut terlihat pada komposisi Islam-Kristen yang berimbang dan selama
ini terjadi musabaqah dalam ekonomi, politik dan agama. Potensi tersebut
semakin memanas ketika arus reformasi bergulir dan kepemimpinan politik
berada di tangan Habibie yang diisukan ingin lebih melancarkan Islamisasi,
termasuk politik.

Secara psikologis, keterancaman orang-orang Maluku semakin terasa, dengan
naiknya Habibie di panggung politik nasional yang dianggap sebagai
representasi kekuatan Islam Sulawesi.

4. Sasaran Penghancuran Dan Pembantaian

Fakta membuktikan bahwa sasaran penghancuran dan pembantaian adalah umat
Islam. Orang Islam diklaim sebagai pendatang dan Islam dipandang sebagai
agama asing, bukan agama penduduk asli. Padahal, kalau kita mau jujur
pada sejarah, ternyata Islamlah agama yang lebih awal datang ke Ambon
daripada Katholik atau Protestan yang dibawa penjajah Portugis dan Belanda.
Dan harus dicatat bahwa Islam telah berhasil meletakkan fondasi kebudayaan
Ambon dengan nuansa Islami.

Bangsa Eropa yang pertama sekali datang ke Maluku adalah Portugis (1511).
Selain mengeruk kekayaan alamnya, mereka juga memperkenalkan agama Kristen.
Pada tahun 1605 Belanda yang menganut Kristen Protestan merebut benteng
Portugis dan mengusirnya.

Ketika terjadi perang reformasi di Eropa, orang Belanda yang Protestan
memerangi dan membasmi orang-orang Portugis yang Khatolik. Karena itu,
sampai tahun 1950 agama Protestan menjadi dominan di Ambon.

Namun, sekali lagi harus dicatat, bahwa Islam jauh lebih dahulu berkembang
di Ambon. Islam mulai masuk ke daerah ini sejak abad ke 7. Sedangkan
Khatolik abad ke 16. Protestan abad 17. Jadi yang meletakkan budaya
kehidupan Maluku sebenarnya adalah Islam.

Tapi, sangat disayangkan, buku sejarah yang ada, sengaja diselewengkan.
Dalam sejarah yang ditulis “Belanda” itu, hubungan Arab-Indonesia pada
abad-abad awal itu dihilangkan. Seolah-olah Hindu dan China lebih dahulu
yang datang ke Maluku. Padahal Thomas Arnold dalam buku The Preaching of
Islam, menjelaskan, yang masuk lebih awal adalah bangsa Arab.

Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni almuluk.
Penamaan yang bernuansa Arab itu dikarenakan yang membuat peta daerah
Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk,
kata tersebut dirubah menjadi Maluku.

Di Maluku, sebelum kedatangan bangsa Eropa, Islam berkembang pesat, kerajaan
Islam berdiri tegar, seperti Ternate, Tidore. Jadi Islam sebenarnya bukan
agama baru di Maluku. Sejak abad 7-11 Maluku sangat ramai dikunjungi
saudagar-saudagar Arab, Persia dan Gujarat. Selain berdagang mereka juga
menyebarkan Islam sampai kepada raja-raja Maluku. Pada abad XV di bawah
pengaruh Sultan Ternate, Tidore dan Hitu, Islam berkembang dengan pesat
pada hampir seluruh pulau-pulau Maluku. Islam masuk dengan jalan damai,
dan penuh kesejukan, tanpa kekerasan.

Dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa selama menjajah, Belanda
juga menyebarkan agama Kristen, sebagaimana pedagang Arab menyebarkan
Islam. Penduduk Ambon yang mau memeluk Kristen mendapat perlakuan
istimewa dari Kolonial Belanda. Mereka lebih berkesempatan dalam pendidikan
dan lowongan kerja sebagai tentara dan pegawai Belanda.

Berdasarkan sejarah di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat Maluku
sudah lama terintegrasi dalam sistem politik Belanda. Sejak itu beribu-ribu
orang Ambon Nasrani meninggalkan kampung halaman untuk bekerja pada dinas
militer maupun sipil di seluruh nusantara.

Mereka digunakan sebagai Serdadu Kolonial dalam menguasai wilayah-wilayah
Nusantara yang belum ditaklukkan. Pengalaman penyerbuan Belanda ke Aceh
pada 1873 adalah bagian dari pengalaman orang-orang Ambon yang terkooptasi
oleh penjajah.

Pengalaman ini mengubah suasana keterjajahan Ambon Kristen dari orang-orang
yang dieksploitasi habis-habisan di bawah monopoli rempah-rempah menjadi
orang yang bersekutu dengan Belanda.

Secara ideologis, akibat kedudukan istimewa ini, banyak orang Nasrani
merasa mempunyai hubungan khusus dengan Belanda, karena mempunyai
kesamaan agama maupun tugas, teristimewa kemiliteran (Richard Chauvel,
dalam Audrey Kahin, 1985: 244).

Bila orang-orang Ambon Nashara ikut dalam usaha-usaha kolonial, maka
umat Islam Ambon tak mau ikut serta dalam usaha tersebut. Selain karena
Belanda tidak merekrut mereka, umat Islam juga memang tidak mau bersekongkol
dengan penjajah zalim. Karena itu umat Islam tidak mau memasuki pendidikan
dinas militer Belanda.

Maka tak aneh, sampai tahun 1920-an di desa-desa Islam tidak ada fasilitas
pendidikan sekuler. Maka wajar, jika hasil sensus 1950 menunjukkan
bahwa 90% umat Islam masih buta huruf. Jadi, pengalaman orang Ambon
Nashara berbeda sekali dengan pengalaman Ambon muslim.

Orang-orang Nashara dengan bantuan pendidikan Belanda mendominasi masyarakat
Ambon sedemikian rupa, sehingga banyak orang menyangka bahwa Ambon adalah
daerah Kristen semata. Maka wajar, jika masyarakat Ambon kemudian menganggap
Belanda bukan sebagai penjajah. Hal inilah menurut Chauvel, yang mengakibatkan
proklamasi Kemerdekaan RI 1945, tak banyak mendapat sambutan di sana.

Pada tanggal 24 April 1950 Dr. Soumokil memproklamirkan Republik Maluku
Selatan (RMS) yang melakukan aksi politiknya secara kekerasan. Hubungan
Islam-Nasrani yang demikian tegang, diperkuat oleh kenyataan bahwa para
pemimpin sipil RMS berikut serdadunya

yang semua terdiri dari orang-orang Nashara. Sementara korban para
serdadu itu banyak orang Islam. Ketakutan ini beralasan, karena menurut
catatan Coorly (1968: 267) jumlah umat Islam terus meningkat yang sebelumnya
sekitar 35% menjadi 49% di awal Orde Baru.

Perkembangan ini dianggap sebagai ancaman bagi Kristen di sana. Karena
itu, ketika kerusuhan terjadi tidak mengherankan jika bendera RMS dinaikkan
di berbagai tempat.

Kembali kepada persoalan nasib ketertinggalan umat Islam di zaman
penjajahan Belanda. Bahwa, era kemerdekaan RI 1945 merupakan angin segar
dan nafas baru bagi umat Islam Ambon untuk mulai berkembang. Secara perlahan
ekonomi Islam membaik dan pendidikan semakin meningkat. Pada awal Orde Baru
beberapa sarjana muslim mulai menduduki posisi posisi penting di Ambon,
meskipun belum dominan.

Baru pasca 1970, banyak putra daerah (penduduk asli) yang muslim, menduduki
jabatan-jabatan strategis mulai dari tingkat propinsi Maluku hingga kecamatan
secara adil bukan dominatif. Perkembangan Islam yang pesat dalam politik,
pendidikan dan ekonomi ini, dianggap sebagai ancaman. Ketika era reformasi
semakin mengarah kepada penguatan pengaruh muslim. Maka kerusuhan dan
pembersihan etnispun tak terelakkan.

Solusi yang ampuh untuk mengatasinya adalah saling menghormati sesama pemeluk
agama, dapat menahan diri , tidak memperturutkan kebencian secara emosional
dan kembali kepada nilai ajaran agama masing-masing. Sebab tidak ada satu
agamapun yang mengajarkan agar pemeluknya membenci dan memerangi pemeluk
agama lain.

* Pembangunan Dan Modernisasi

1. Portugal Akan Bantu Desa Bersejarahnya di Ambon

Ambon (ANTARA News) – Pemerintah Portugal menjanjikan akan memberikan bantuan
kepada sejumlah desa di Kota Ambon yang memiliki sejarah dan nilai historis
dengan bangsa dan negaranya, kata Dubes Portugal, Jose Imanuel Santos Braga.
“Bantuan untuk desa-desa yang memiliki hubungan sejarah dengan Portugal ini
akan segera dibantu guna memberdayakan masyarakatnya,” kata Duta Besar
Portugal untuk RI itu kepada ANTARA News, seusai melakukan pertemuan
dengan Wakil Walikota Ambon, Dra. Olivia Latuconsina, Selasa.

Sejumlah desa yang akan dibantu, menurut dia, adalah Desa Tawiri, Hative
Besar, Rumah Tiga dan Galala di Kecamatan Baguala, Desa Batu Merah, Galala,
Soya, serta Hatalae di Kecamatan Sirimau. Ia mengemukakan, masyarakat
Portugal selama ini sudah mengenal secara baik tentang Kota Ambon, namun
hanya sebatas dari bukubuku maupun siaran televisi. “Diharapkan bantuan
dan kerja sama dengan desa-desa di Ambon ini akan lebih mempererat hubungan
emosional, serta menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Portugal
untuk berkunjung ke Ambon di masa mendatang,” kata Braga.

Bantuan bagi desa-desa tersebut, dikatakannya, merupakan proyek jangka
pendek bernilai sekira Rp150 juta hingga Rp300 juta, khususnya untuk
pengembangan di bidang kesehatan, pendidikan dan kebersihan.

Pemerintah Portugal pun menaruh perhatian besar terhadap kepedulian
Pemerintah Kota Ambon dan Pemerintah Provinsi Maluku yang merawat
secara baik kondisi benteng “Victoria” yang merupakan salah satu
peninggalan bangsa Portugis di jantung Kota Ambon, bahkan menjadikannya
sebagai salah satu cagar budaya, demikian Jose Braga.

Sementara itu, Olivia Latuconsina menyambut baik niat Pemerintah Portugal
membantu desa-desa di Kota Ambon yang memiliki keterikatan historis
dengan bangsa tersebut. Ia menilai, kerja sama itu akan terus ditingkatkan
hingga menjadi “kota bersaudara kembar” (sister city), namun hal yang
diprioritaskan baru bersifat jangka pendek sebagai pintu masuk untuk
memperoleh bantuan dari negara-negara Eropa. “Kita fokuskan dulu untuk
merealisir program jangka pendek yang telah disepakati, sehingga benar-
benar berdampak untuk pemberdayaan masyarakat yang terpuruk akibat konflik
sejak 1999, terutama pada desa-desa yang memiliki hubungan historis
dengan Portugal. Setelah itu barulah dijajaki kerja sama jangka
panjang termasuk kota bersaudara,” demikian Olivia Latuconsina.

2. Kependudukan

Suku bangsa Maluku merupakan punduduk asli Pulau Ambon, penduduknya
banyak beragama Islam dan Kristen, selain penduduk asli ada juga suku-
suku lain di Indonesia yang puluhan tahun menetap di Maluku seperti
suku Buton dari Sulawesi Tenggara dan suku Bugis dari Sulawesi Selatan
kehidupan mereka banyak yang bercocok dan pedagang.

Sebagian besar penduduk yang beragama Islam mendiami Pulau Ambon
bagian Utara (Lei Hitu) dan sebagian besar penduduk yang beragama
Kristen mendiami pulau Ambon bagian selatan (Lei Timur).

3. Sejarah

Kota Ambon mulai berkembang semenjak kedatangan Portugis di tahun 1513,
kemudian sekitar tahun 1575, penguasa Portugis mengerahkan penduduk di
sekitarnya untuk membangun benteng Kota Laha atau Ferangi yang diberi
nama waktu itu Nossa Senhora de Anuneiada di dataran Honipopu.

















Ket :
Benteng Kota laha

Dalam perkembangannya sekelompok masyarakat pekerja yang membangun
benteng tersebut mendirikan perkampungan yang disebut Soa, kelompok
masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon
kemudian (Citade Amboina) karena di dalam perkembangan selanjutnya
masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat geneologis territorial
yang teratur.

Selanjutnya, setelah Belanda berhasil menguasai kepulauan Maluku dan
Ambon khususnya dari kekuasaan Portugis, benteng tersebut lantas
menjadi pusat pemerintahan beberapa Gubernur Jenderal Belanda dan
diberi nama Nieuw Victoria (terletak di depan Lapangan Merdeka,
bekas Markas Yonif Linud 733/Masariku kini markas Detasemen Kavaleri).

* Proses Asimilasi dan Enkulturasi Pada Suku Ambon

1. Asimilasi Pada Suku Ambon

Asimilasi dari dua kebudayaan ini melahirkan budaya Moloku Kie Raha.
Sedangkan corak kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh kondisi
wilayah Maluku Utara yang terdiri dari laut dan kepulauan, perbukitan
dan hutan-hutan tropis.

Desa-desa di Maluku Utara umumnya (kurang lebih 85 %) terletak di
pesisir pantai dan sebagian besar lainnya berada di pulau-pulau kecil.
Oleh sebab itu, pola kehidupan seperti menangkap ikan, berburu,
bercocok tanaman dan berdagang masih sangat mewarnai dinamika
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Maluku Utara (sekitar 79%).

Sementara itu, ikatan kekerabatan dan integrasi sosial masyarakat
secara umum sangat kuat sebelum terjadi konflik horizontal bernuansa
SARA. Ikatan pertalian darah dan keturunan sesama anggota keluarga
didalam satu komunitas di daerah tertentu sangat erat dan familiar,
walaupun keyakinan keagamaan berbeda seperti masyarakat di kawasan
Halmahera bagian utara dan timur. Hubungan ini telah menumbuhkan
harmonisasi dan integrasi sosial yang sangat kuat.

Dalam konteks hubungan Islam dan Kristen, nuansa interaksi sosial
tersebut lebih didasarkan bukan pada pertimbangan kultural dan
hubungan kekeluargaan.

Di kalangan masyarakat Maluku Utara, semboyan yang sekarang yang menjadi
motto pemerintah Provinsi Maluku Utara, yakni Marimoi Ngone Futura
Masidika Ngone Foruru (Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh),
adalah ajakan ke arah solidaritas dan partisipasi. Potensi kultural
ini merupakan modal pembangunan yang paling berharga untuk dikembangkan.

2. Enkulturasi Pada Suku Ambon

Proses enkulturasi pada masyarakat Ambon yaitu Tarian yang merupakan
penggambaran pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji dimainkan
secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi
yang enerjik dan menarik.

Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena
Katreji juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis
dan Belanda) dengan budaya Maluku. Hal ini lebih nampak pada setiap
aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang masih menggunakan
bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme.

Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas,
guitar, tifa dan bas gitar, dengan pola rithm musik barat (Eropa)
yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari
oleh masyarakat Maluku sampai sekarang.

3. Kaitan Antara Psikologi Lintas Budaya dari segi moral dan kepribadian

Para masyarakat suku Ambon percaya bahwa dengan melakukan ritual
adat maka akan menumbuhkan keharmonisasian dan integrasi sosial
yang sangat kuat. Dalam konteks hubungan Islam dan Kristen, nuansa
interaksi sosial tersebut lebih didasarkan bukan pada pertimbangan
kultural dan hubungan kekeluargaan. Potensi kultural ini merupakan
modal pembangunan yang paling berharga untuk dikembangkan.
___________

Penutup
___________

Demikian infonya para kawan sekalian...!

Semoga dapat memperluas wawasan kita dibidang ke-Ambonan. Dan jika
saja boleh penulis membanding dengan suku BaTak secara umum maka
penulis ingin berkata :

* Dalam Hubungannya dengan Konflik Islam Kristen

Penulis setuju dengan pernyataan di atas yang mengatakan :

Bahkan, peristiwa yang memalukan itu bukan sekedar bernuansa SARA, tetapi
merupakan potret sebuah kebiadaban yang keji terhadap umat Islam.
Kejadian ini sekaligus menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia, bahwa
di mana Islam minoritas di situ Islam selalu ditindas.

Dalam hubungannya dengan "suku Batak" maka dapat penulis katakan ummat
Islam minoritas diwilayah mayoritas Ummat Kristen Tanah Batak yang
kami sebut dengan istilah Umum Tapanuli Utara atau Batak Toba juga
cukup tertindas. Dan ini telah penulis tulis lewat beberapa postingan al :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2014/07/melahirkan-sumpah-kerukunan-antar-ummat.html


* Dalam hubungannya dengan Sejarah Islam

Penulis juga setuju dengan pernyataan diatas yang mengatakan :

Fakta membuktikan bahwa sasaran penghancuran dan pembantaian adalah umat
Islam. Orang Islam diklaim sebagai pendatang dan Islam dipandang sebagai
agama asing, bukan agama penduduk asli. Padahal, kalau kita mau jujur
pada sejarah, ternyata Islamlah agama yang lebih awal datang ke Ambon
daripada Katholik atau Protestan yang dibawa penjajah Portugis dan Belanda.
Dan harus dicatat bahwa Islam telah berhasil meletakkan fondasi kebudayaan
Ambon dengan nuansa Islami.

Dalam hubungannya dengan Tanah Batak, maka pernyataan tersebutpun tak
perlu dirobah lagi. Dengan kata lain perkataan tersebut berlaku bagi
orang Batak. Dan bahkan "Bukan hanya Islam yang duluan masuk ke Tanah
Batak dari pada Kristen, Islam ke tanah Batak malah duluan masuk dari
pada Islam ke tanah manapun yang ada di Nusantara ini. Dan ini dapat
di ketahui lewat Sejarah Islam dari Barus - Sumatra Utara.

* Dalam hubungannya dengan wilayah keagamaan

Jika di Ambon yang beragama Islam mayoritasnya di wilayah Utara
maka di Tanah Batak mayoritasnya ada di wilayah Batak Selatan
(Berbalik wilayah-pen)

* Dalam hubungannya dengan Bulan Ramdhan 1436 H

Sehubungan dengan pada saat di postingnnya postingan ini ada di bulan
Ramdhan 1436 h, maka penulis ingin berkata pada ummat muslim Ambon
dan Batak : "Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan 1436 H"

* Dalam hubungannya dengan Asimilasi

Jika di Ambon proses asimilasi dapat melahirkan "Moloku Kie Raha"
maka ditanah batak melahirkan yang namanya, "Marjambar" yaitu suatu
cara yang mana pada saat Agama Kristen lebaran maka mereka akan
memberikan kue atau yang sejenis pada ummat Islam. Pun sebaliknya.
Juga ada namanya "Marsiurupan" dimana agama tidak menjadi titik
tolaknya tapi kesadaran pada kekerabatan-nya.

* Dalam hubungannya dengan Enkulturasi

Jika di Ambon budayanya lebih ber-Enkulturasi karena pengaruh Portugis
dan Belanda, maka enkulturasi di Tanah Batak lebih dipengaruhi oleh
Agama Islam dan Agama Kristen itu sendiri.

Dengan kata lain...!
Hal-hal yang berbau-bau animisme akan ditinggalkan oleh agama Kristen
dan Islam sesuai dengan ajaran agama itu sendiri. Begitu-pun masih
ada sekelompok masyarakat di Tanah Batak yang tak bisa di Enkulturasi
dan kami menyebutnya, "Ugamo Malim atau Parmalim" dan ini dapat anda
ketahui lewat link :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2015/05/ugamo-malim-parmalim-dan-seluk-beluknya.html

Para pembaca angkolafacebook.blogspot.com dimanapun berada...!

Selamat malam...!



___________________________________________________________
Cat. Sumber :
https://tiwipratiwi07.wordpress.com/2012/01/12/suku-ambon/

Postingan ini disponsori oleh :

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork

No comments:

Post a Comment